Rilis Tekad Garuda
Pada 17 Juli 2023, pengadilan negeri Banyuwangi menggelar sidang ke-8 atas trio petani Pakel yang dikriminalisasi. Agenda sidang hari ini adalah pemeriksaan saksi-saksi, namun diskors sampai digelar kembali pada 24 Juli 2023 dengan agenda yang sama yakni pemeriksaan saksi. Sidang ke depan akan dilakukan secara offline, setelah sebelumnya diselenggarakan secara hybrid atau mekanisme sidang campuran online-offline.
Sidang ini dihadiri oleh keluarga dan warga, mereka dengan khidmat menyimak serta memperhatikan persidangan. Tentu di balik semua itu, mereka berharap tiga warga yang dikriminalisasi dengan dituduh menyebarkan berita bohong dapat segera bebas, berkumpul lagi bersama keluarga dan segenap anggota Rukun Tani Sumberejo Pakel.
Tuduhan penyebaran berita bohong dengan menggunakan Pasal 14 dan atau 15 Undang-undang nomor 1 Tahun 1946, sangat tidak relevan dan mengada-ada. Di mana peraturan tersebut dibuat untuk dalam situasi darurat yang berkaitan dengan keberlanjutan sebuah negara, misal kondisi yang tak terkendali. Sementara ini adalah kasus di mana tiga orang warga dituduh menyiarkan berita bohong hingga mengakibatkan keonaran di tengah konflik agraria.
Cukup mencengangkan jika dalam penjabaran pihak berwajib dari polisi hingga jaksa jika mengatakan keonaran dan chaos adalah aksi-aksi warga dalam memperoleh hak atas tanahnya, seperti aksi demonstrasi hingga mempertahankan lahan yang dicaplok semena-mena oleh HGU. Tentu, hal tersebut bukan termasuk kategori membahayakan NKRI, justru masuk kategori membahayakan perkebunan karena mencaplok wilayah desa di mana banyak warganya yang tak bertanah, jelas bertentangan dengan konstitusi. Sehingga pasal yang dituduhkan kepada warga, lebih ke membahayakan perkebunan bukan NKRI, lantas hukum dan aparatnya dibelokkan untuk membela siapa?
Kriminalisasi dan konflik agraria di Pakel adalah wujud pelanggaran HAM. Merujuk pada catatan ELSAM yang mengatakan bahwa pemidanaan terhadap Trio Pakel merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sebagai panduan bagi pengemban kewajiban dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi manusia yang berkaitan dengan konflik tanah dan sumber daya alam, Komnas HAM secara khusus telah menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 7. Berkaitan dengan perkara ini, SNP No. 7
Paragraf 216 menegaskan bahwa pemidanaan secara tidak sah atau tidak proporsional dan perlu terhadap masyarakat setempat ataupun pihak luar yang menyampaikan penolakan terhadap praktik pemberian Hak Guna Usaha dll merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Karena itu kriminalisasi terhadap Trio Pakel (Mulyadi, Suwarno dan Untung) dalam perkara ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara. Bahkan ini bukan pertama kali terjadi, praktik pembungkaman berupa kriminalisasi terhadap masyarakat telah terjadi sebelumnya yang menyebabkan setidaknya 13 warga anggota Rukun Tani Sumberejo Pakel dikriminalisasi dalam kurun waktu tahun 2020-2021.
Jelas warga Pakel dalam memperjuangkan hak atas tanahnya dilindungi UUD NRI 1945 pasal 33 dan 28 serta UUPA No 5 Tahun 1960 dan UU HAM No. 39 1999 dan sesuai mandat The Universal Declaration of Human Right, bahwa setiap orang berhak untuk bersuara, menyampaikan protes, hidup yang layak, dan tidak diganggu dalam menjalani kehidupan. Semua pemenuhan hak tidak akan pernah terpenuhi kala konflik agraria masih eksis. Ini juga yang harus menjadi perhatian Majelis Hakim PN Banyuwangi yang memimpin sidang kasus Trio Pakel.
Apalagi eskalasinya terus naik akibat adanya kriminalisasi warga serta ketidakberpihakan institusi negara dalam penyelesaian konflik agraria. Hal ini pun menimbulkan pertanyaan mendasar, kapan mata rantai kriminalisasi ini terputus? Jika konflik agraria tak kunjung menjadi prioritas penyelesaian oleh Negara melalui ATR/BPN khususnya untuk kasus Pakel.