Sekelumit Pengetahuan WALHI Jatim Soal Dunia Persampahan Surabaya

Surabaya merupakan salah satu kota dengan timbunan sampah terbesar di Indonesia.   Mengutip dari berbagai sumber, total produksi sampah di kota ini sebesar 1.600 ton per hari, jika bersandar pada fakta yang ada di TPA Benowo. Hal ini menjadi persoalan serius bagi pemerintah Kota Surabaya, karena sistem “open dumping” tak mungkin lagi diterapkan, mengingat tidak ada lagi lahan yang cukup luas untuk digunakan sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk telah mendorong peningkatan timbunan sampah di Kota Surabaya, jumlah populasi di Surabaya sendiri telah mencapai 39 juta jiwa penduduk. Keadaan tentang banyaknya timbunan sampah, juga tidak bisa lepas dari adanya pola hidup masyarakat yang konsumtif. Di era modern hasil produk dari produsen yang dilempar luas ke pasar, telah menjadi penyumbang tingginya timbunan sampah di Surabaya.

Hal ini dapat dilihat dari banyaknya perusahan yang membuat kemasan produk yang tidak ramah lingkungan, sementara itu pemerintah tidak menjalankan peraturan yang mereka buat dengan baik, seperti menekan perusahaan untuk mengelola sampahnya sendiri, meski sudah ada regulasi yang mengatur hal tersebut. Kewajiban ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 18, pasal 15 Tahun 2008 yang di dalamnya menyebutkan, bahwa  produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.

Pemerintah sendiri telah mengeluarkan PP (Peraturan Pemerintah) No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Jakstranas). Kebijakan ini fokus pada dua sektor yaitu pengurangan dan penanganan sampah rumah tangga, lalu sejenis sampah rumah tangga. Peraturan ini diharapkan mampu menekan timbunan sampah yang masuk ke TPA Benowo.

Anggaran biaya pengelolaan dan pengangkutan sampah di Surabaya hampir sebesar 120 Miliar pertahunnya. Biaya ini hanya untuk pengangkutan yang dilakukan dari seluruh TPS di Surabaya ke TPA Benowo. Salah satu solusi yang ditawarkan dalam persolaan sampah ini yakni dengan adanya PLTSa atau waste to energy yang difasilitasi oleh regulasi Perpres No. 35/2018  tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

Sistem pengolahan sampah menjadi energi, salah satunya energi listrik (PLTSa) biasa disebut sebagai Waste to Energy (WtE). Terdapat dua tipe WtE yang digunakan, yakni yang menggunakan proses thermal dan non thermal. Pada konteks Surabaya yang menjadi salah proyek energi tenaga sampah ini dan telah diresmikan pada bulan Mei 2021 oleh presiden. Melihat solusi energi ini sangat berpotensi besar terhadap pencemaran serta secara teknis tidak menyelesaikan persoalan sampah. Maka penting untuk melihat persoalan sampah serta kebijakan PLTSa di Surabaya.

Sepanjang 2020-2022 kami telah melakukan serangkaian riset yang tertuang dalam satu buku dan laporan assessment, sehigga penting untuk dibaca dan menjadi pertimbangan mengapa kita perlu menyuarakan bahwa PLTSa bukanlah solusi penyelesaian problem sampah. Berikut publikasi WALHI Jawa Timur:

 

  1. MELIHAT TATA KELOLA SAMPAH DI SURABAYA DAN DISKURSUS ZERO WASTE

Pada tahun 2020 WALHI Jatim menyusun sebuah riset kecil mengenai persoalan sampah di Surabaya, hasil riset ini kemudian dibukukan. Buku ini mencoba menggali problem sampah di Surabaya. Secara permukaan bahwa problem sampah memang sangat kompleks. Di sini disebutkan jika problem utama penumpukan sampah di Surabaya adalah persoalan klasik yakni konsumsi, serta adanya komoditas yang tidak ramah lingkungan. Persoalan produksi dan konsumsi menjadi salah satu faktor utama dalam melihat persoalan sampah. Maka tidak mengherankan sebenarnya kebijakan pembatasan penggunaan kantung plastik, hingga mendesain ulang industri manufaktur ke arah lebih ramah lingkungan menjadi solusi dalam penanganan sampah. Namun kondisi tersebut tidak bisa serta merta dilakukan, harus ada fase per fase guna mendudukan kebijakan tersebut. Tetapi ada jalan tengah di antara persoalan tersebut, yakni zero waste sebagai salah satu bentuk upaya pengurangan sampah, khususnya langsung dari sumber, menjalan prinsip recycle, reuse dan reduce. Selain itu, kunci dari keberhasilan skema ini terletak pada paradigma soal pengelolaan sampah, yakni pemilahan, di mana kondisi ini akan memudahkan dalam pengolahan dan paling tidak dapat meminimalisir tertumpuknya sampah di TPA.

Link Download: https://bit.ly/DiskursusZeroWaste

 

  1. Laporan Assessment PLTSa Surabaya: Melihat Operasi PLTSa Benowo Dari Dekat

Surabaya memiliki megaproject Pembangkit Listrik Tenaga Sampah atau dikenal dengan PLTSa yang merupakan bagian dari Waste to Energy. Tapak rencana PLTSA akan ditempatkan di TPA Benowo sebuah tempat pembuangan yang dikelola oleh Pemerintah Kota Surabaya guna menampung total sampah harian warga kota Surabaya. Secara teknis sistem pembangkit listrik ini terintegrasi dalam sistem pengelolaan sampah dan dapat diharapkan dapat menghasilkan nilai tambah terkait solusi permasalahan persampahan PLTSa ini akan menggunakan metode Landfill Gas Collection System dan metode gasifikasi dengan memakai insenerator. Hasil assessment yang didapatkan paling tidak menggambarkan bahwa praktik PLTSa belum diketahui secara detail, hanya insenerasi yang bekerja, sementara pasca disahkan PLTSa ini belum terlihat seperti apa mekanisme kerjanya. Sementara bagaimana warga sekitar tidak tahu menahu soal informasi serta keterbukaan mengenai keberadaan proyek PLTSa, baik bicara soal dampak dan teknologi apa yang akan dipakai. Serta jika terjadi pencemaran bagaimana regulasi mengaturnya, terutama untuk langkah preventif dan mitigatif. Perlu dilihat bahwa mayoritas warga juga belum mengetahui uji klinis terkait dampak serta racun apa saja yang akan terpapar jika PLTSa dibangun.

Link Download: https://bit.ly/OperasiPLTSASBY