SERUAN 28 EKSEKUTIF DAERAH WALHI SE-INDONESIA KEPADA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Tak puas dengan menerbitkan UU No. 3 Tahun 2020 tentang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, serta UU 26 Tahun 2023 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kini telah menerbitkan aturan yang akan melanggengkan krisis ekologis, terutama di Kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.
Pada Pertengahan Mei 2023 lalu, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. PP ini menggambarkan wajah asli Pemerintah Indonesia yang gemar berburu keuntungan ekonomi jangka pendek tetapi mengorbankan kelestarian pesisir, laut, dan pulau kecil dalam jangka panjang.
PP ini juga membuka topeng pemerintah Indonesia yang selalu menyampaikan komitmen di berbagai forum internasional untuk menjaga kesehatan dan keselamatan laut Indonesia. Dengan demikian, komitmen Jokowi di forum internasional itu hanya narasi indah di atas podium semata.
Dalam catatan WALHI, penerbitan PP ini merupakan langkah mundur jauh ke belakang dalam konteks perlindungan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut Indonesia, termasuk perlindungan wilayah tangkap nelayan yang merupakan produsen pangan laut utama di Indonesia.
Hari ini, masyarakat pesisir di Indonesia sedang berhadapan dengan ancaman dampak buruk krisis iklim berupa tenggelamnya desa-desa pesisir, termasuk tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia akibat kenaikan air laut. Tren global kenaikan air laut adalah 0,8 – 1 meter.
Dalam berbagai kesempatan, WALHI telah menyampaikan informasi kepada masyarakat luas bahwa pada masa yang akan datang, sebanyak 115 pulau kecil di perairan dalam Indonesia, dan 83 pulau kecil terluar (terdepan) akan tenggelam akibat kenaikan air laut. Artinya, dengan adanya PP ini ancaman tenggelamnya desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia akan semakin cepat.
Pengalaman di berbagai tempat yang didampingi oleh WALHI menunjukkan dampak buruk tambang pasir laut. Di Kepulauan Seribu, telah ada 6 pulau kecil tenggelam akibat ditambang untuk kepentingan reklamasi di Teluk Jakarta. Di Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan, tambang pasir laut telah mengakibatkan telah membuat air laut menjadi keruh. Banyak Nelayan di Indonesia telah menjual perahu milik mereka untuk menyambung hidup. Tak hanya itu, ombak semakin meninggi. Sebelum adanya aktivitas tambang pasir laut, ketinggian ombak hanya mencapai sekitar satu meter tetapi saat ini sudah mencapai tiga meter. Selain ombak yang tinggi, Nelayan juga kesulitan menghadapi arus ombak yang datang tanpa jeda, sehingga menyulitkan mereka untuk mencari ikan di perairan tersebut. Perubahan arus ombak di sekitaran perairan yang telah ditambang telah menimbulkan kecelakaan sesama nelayan dan juga menenggelamkan perahu milik nelayan yang sedang melaut. Bahkan, beberapa nelayan telah meninggalkan kampung halaman beserta istri dan anak untuk menyambung hidup.
Di Pulau Rupat Riau, tambang pasir laut telah mempercepat abrasi kawasan pesisirnya serta membuat nelayan semakin sulit menangkap ikan. Di Lombok Timur, nelayan-nelayan yang terdampak tambang pasir laut untuk reklamasi Teluk Benoa, Bali, harus melaut sampai ke perairan Sumba.
Sementara itu, tambang pasir laut mengancam keberadaan ekosistem pulau-pulau kecil di Jawa Timur. Sebagai temuan bahwa di sekitar perairan Pulau Bawean, Jawa Timur terdapat IUP eksplorasi dan WIUP pencadangan tambang pasir laut, lalu di perairan dekat selat Madura juga terdapat IUP eksplorasi tambang pasir laut.
Berdasarkan hal tersebut, penerbitan PP 26 tahun 2023 akan menciptakan kerusakan ekosistem, merusak rumah dan sumber pangan ikan, lalu menambah beban kawasan dan tentunya memperburuk kehidupan masyarakat pesisir, terutama nelayan dan perempuan nelayan, serta semakin memiskinkan mereka.
Sangat Bias kepentingan bisnis
Jika dibaca lebih substansi PP PP 26 tahun 2023, akan sangat tampak sekali bias kepentingan bisnis. Di dalam pasal 9 ayat 2, disebutkan bahwa “Pemanfaatan Hasil Sedimentasi di Laut berupa pasir laut digunakan untuk: a. reklamasi di dalam negeri; b. pembangunan infrastruktur pemerintah; c. pembangunan prasarana oleh Pelaku Usaha; dan/atau d. ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Lalu di pasal 10 disebutkan bahwa “Pelaku Usaha yang akan melakukan Pembersihan Hasil Sedimentasi di Laut dan Pemanfaatan Hasil Sedimentasi di Laut wajib memiliki Izin Pemanfaatan Pasir Laut.” Lebih jauh, di dalam banyak pasal, di antaranya pasal 20, disebutkan bahwa PP penambangan pasir laut ditujukan untuk mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di bidang kelautan dan perikanan.
Pasal-pasal tersebut menjelaskan bahwa PP ini dikeluarkan untuk melayani kepentingan pengembangan proyek reklamasi di seluruh Indonesia, yang ditujukan untuk pembangunan kawasan-kawasan bisnis baru. Sampai dengan tahun 2040, pemerintah merencanakan proyek reklamasi seluas 3,5 – 4 juta hektar.
Berdasarkan hitungan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2021, dibutukan sebanyak 1.870.831.201 Meter kubik untuk proyek reklamasi di sembilan wilayah, di antaranya reklamasi di Tuban, Jawa Timur dan reklamasi di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.
Membuka karpet merah untuk negara lain
Terkait dengan ekspor pasir laut ke negara lain, membuka gerbang eksploitasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Di tengah upaya untuk melindungi planet, terutama menjalankan komitmen dalam melawan perubahan iklim, ternyata kebijakan yang hanya berorientasi pada keuntungan lebih diutamakan daripada menjamin keberlanjutan dan pemulihan ekosistem.
Kebijakan ini adalah wujud dari ekonomi neoliberal yang bertumpu pada ekstraktivisme. Menekankan pada eksploitasi besar-besaran terhadap ekosistem, sebagai dalih dari peningkatan pertumbuhan ekonomi sebagai jurus mengatasi krisis. Sehingga memunculkan pertanyaan siapa yang diuntungkan dengan adanya kebijakan ekspor pasir laut?
Sebagai gambaran, tentunya yang diuntungkan dari kebijakan ini adalah oligarki, terutama pemodal besar dan penguasa politik. Jika melihat bukti yang sudah terjadi, beberapa negara adalah konsumen dari gurita ekstraktivisme. Salah satunya Singapura yang dikenal sebagai konsumen utama tambang pasir laut, karena mereka membutuhkan hasil tambang pasir laut akan memperluas wilayah daratannya. Sejak kemerdekaannya di tahun 1965 Singapura telah memperluas daratannya lebih dari 20 persen pada tahun 2017.
Berdasarkan catatan Reuters, data badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2019 menyebut Singapura telah mengimpor 517 juta ton pasir dari negara-negara tetangga, Indonesia dan Malaysia. Volume tersebut merupakan akumulasi impor pasir laut selama dua dekade. Dalam konteks ekspor pasir laut ke Singapura, Indonesia merupakan pemasok utama pasir laut untuk perluasan lahan, dengan pengiriman rata-rata lebih dari 53 juta ton per tahun, antara tahun 1997 hingga 2002.
Saat ini, Pemerintah Singapura tengah merencanakan dan merancang fase ketiga dari mega proyek Pelabuhan Tuas, dengan pekerjaan reklamasi diharapkan akan selesai pada pertengahan 2030-an.
Tak hanya hanya Singapura, China juga akan sangat diuntungkan oleh ekspor pasir dari Indonesia. Pasalnya, negara ini sedang terus membangun pulau-pulau buatan di Laut Cina Selatan untuk kepentingan militernya. Bahkan berdasarkan sejumlah laporan internasional, China kini tengah China berencana membuat kapal pengeruk pasir super besar. Kapal ini bisa mengeruk pasir dari dasar laut untuk dipindahkan dan dibuat pulau. Kapal itu dapat menyedot pasir dan batu, kemudian memompanya ke lokasi lain melalui pipa panjang.
Desakan kepada Presiden Republik Indonesia
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, WALHI Nasional dan 28 WALHI Daerah di-Indonesia menyatakan desakannya kepada Presiden sebagai berikut:
- Segera mencabut PP No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut karena akan mempercepat, memperluas dan melanggengkan kerusakan di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. PP tersebut akan memperburuk kehidupan masyarakat pesisir yang tinggal di hampir 13 ribu desa pesisir di Indonesia.
- Melakukan moratorium permanen terhadap seluruh proyek reklamasi pantai di Indonesia serta seluruh proyek tambang pasir laut yang menjadi bagian dari proyek reklamasi pantai yang merusak ekosistem laut Indonesia.
- Mengevaluasi dan menghentikan beban industri besar di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang memperparah kerusakan, di antara pertambangan timah dan nikel yang kini terus dikembangkan oleh pemerintah.
- Menyusun segera skema penyelamatan desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil yang tengah dan akan tenggelam.
- Segera menetapkan darurat iklim dan segera menyusun undang-undang keadilan iklim untuk melindungi masyarakat pesisir dari ancaman dampak buruk krisis iklim.
- Segera menetapkan aturan perlindungan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai kawasan ekosistem esensial. Serta segera menetapkan kawasan tangkap nelayan tradisional di perairan pulau-pulau kecil.
Indonesia, 31 Mei 2023
- WALHI Nasional
- WALHI Lampung
- WALHI Sulawesi Selatan
- WALHI Riau
- WALHI Maluku Utara
- WALHI Jakarta
- WALHI Bengkulu
- WALHI Jawa Timur
- WALHI Kalimantan Tengah
- WALHI Aceh
- WALHI Jawa Tengah
- Walhi NTB
- WALHI Papua
- WALHI Yogyakarta
- WALHI Sumatera Utara
- WALHI Jawa Barat
- WALHI Sulawesi Barat
- WALHI Bali
- WALHI Sulawesi Tenggara
- WALHI Kepulauan Babel
- WALHI NTT
- WALHI Kalimantan Selatan
- WALHI Jambi
- WALHI Kalimantan Barat
- WALHI Sumatera Barat
- WALHI Kalimantan Timur
- WALHI Sulawesi Utara
- WALHI Sumatera Selatan
- WALHI Sulawesi Tengah