Tata Ruang Jawa Timur Memfasilitasi Tambang: Kiamat Ekologis Segera Bertamu

Rilis Hari Anti Tambang (HATAM) WALHI Jawa Timur

Surabaya 29 Mei 2023

Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu wilayah yang banyak terdapat industri ekstraktif, terutama pertambangan. Konsesi pertambangan di Jawa Timur hampir tersebar di setiap titik wilayah baik kawasan Pesisir Utara Jawa, kawasan hutan dan Pesisir Selatan Jawa. Pada Catatan Akhir Tahun WALHI Jawa Timur tahun 2018 kami melihat berdasarkan data dari ESDM Jawa Timur, bahwa jumlah IUP di Jawa Timur pada tahun 2012 ada sekitar dari 378 IUP lalu menjadi 347 IUP di tahun 2016. Kemudian pada tahun 2017 meningkat menjadi 379 IUP, lalu menurun menjadi 376 IUP pada tahun 2018.

Jumlah ini akan bertambah jika merujuk pada data WIUP sejak tahun 2018 yang tercatat sebesar 268 izin. Sehingga dapat dipastikan jika izin tambang semakin naik dan luasannya semakin bertambah. Luasan pertambangan di Jawa Timur kurang lebih mencapai 500 ribu-600 ribu hektar baik sifatnya sudah IUP operasi produksi, eksplorasi maupun proses penetapan wilayah pertambangan.

Melihat hal ini tentu kami menilai penting untuk menyoroti dan menyuarakan persoalan semakin meningkat dan meluasnya industri ekstraktif di Jawa Timur, baik yang legal maupun ilegal. Apalagi jika melihat Rancangan PERDA Tata Ruang dan Tata Wilayah Provinsi Jawa Timur sangat mengkhawatirkan, sebab kami menemukan potensi peningkatan jumlah tambang terutama di kawasan hutan yang tentunya difasilitasi melalui perencanaan tata ruang.

Hal ini dapat dilihat pada pasal 12 PERDA RTRW Provinsi Jawa Timur, di mana pertambangan dikategorikan sebagai kawasan budidaya, hal ini tentu berbahaya, sebab tambang adalah kegiatan ekstraksi yang mengeruk saripati bumi, sementara budidaya secara definisi adalah sebuah upaya yang terencana untuk memelihara dan mengembangbiakan tanaman atau hewan supaya tetap lestari sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan. Parahnya tidak hanya tambang, perumahan, infrastruktur dan pertahanan keamanan dimasukkan dalam kategori ini.

Selanjutnya, pada pasal 76 menunjukkan hampir semua wilayah di Jawa Timur adalah kawasan pertambangan mineral, logam, minyak, gas dan panas bumi. Perencanaan ruang ini juga tumpang tindih dengan pasal 71 tentang pangan dan pasal 72 tentang pengembangan holtikultura. Selain itu penetapan ruang pertambangan juga tumpang tindih dengan pasal 54 tentang rencana kawasan lindung, pasal 55 tentang kawasan lindung, pasal 56 tentang kawasan perlindungan setempat dan pasal 57 tentang konservasi.

Sebagai contoh di Trenggalek, pemerintah mengeluarkan IUP tambang untuk PT. SMN, tetapi lokasinya berada dalam kawasan hutan lindung, hutan produksi, hutan rakyat dan kawasan lindung karst. Selain itu juga beririsan dengan kawasan mata air, permukiman dan pesisir. Membaca dalam pola ruang di Jawa Timur yang terbaru IUP PT. SMN tumpang tindih dengan kawasan budidaya perikanan, kawasan wisata, kawasan lindung dan konservasi. Hal ini sama halnya dengan keberadaan IUP PT. Bumi Sukseindo dan PT. Damai Suksesindo di Banyuwangi yang terdapat tumpang tindih, serta parahnya berbatasan langsung dengan Taman Nasional Meru Betiri.

Kami juga menemukan kecacatan tata ruang di Jawa Timur, pada pasal 121 dan 122 PERDA tersebut memfasilitasi kegiatan pertambangan di kawasan hutan, termasuk hutan lindung. Lalu dipertegas dalam pasal 132 dalam arahan zonasi pertambangan dan energi terutama pada poin ke 4 dan 5, diizinkan pengembangan kawasan pertambangan bersama penelitian dan pengembangan infratruktur. Tentu ini rancu dan bias, sehingga membuka kran eksploitasi ekstraktif di semua tempat, tidak terkecuali kawasan lindung.

Membaca bagaimana tata ruang Jawa Timur memfasilitas industri ekstraktif adalah sama saja dengan mengundang kiamat ekologis. Karena semua ruang dikeruk, dihancurkan tanpa melihat keberlanjutan kawasan dan generasi yang akan datang. Selain itu perluasan industri ektraktif tidak berkaca pada krisis ekologis yang disebabkan oleh tambang, sebagaimana yang terjadi di Porong, Sidorajo. Di mana semburan lumpur akibat tambang migas sampai saat ini masih menyembur, meninggalkan jejak luka dan trauma pada warga. Karena mereka harus terusir dari kampung tercintanya dan hidup dalam penuh kerentanan.

Sampai saat ini industri ekstraktif terutama pertambangan adalah yang paling brutal dan telah banyak memicu konflik sosial. Di Banyuwangi, warga bernama Budi Pego yang menyuarakan tolak tambang emas Tumpang Pitu mengalami kriminalisasi dengan dituduh seorang komunis, parahnya yang melaporkan kasus tersebut adalah orang tambang. Saat ini Budi Pego mendekam di penjara setelah sempat digantung nasibnya selama 3 tahun lebih, terutama pasca putusan kasasi MA yang cacat dengan memberatkan hukuman Budi Pego. Perlu diketahui Budi Pego divonis bersalah tanpa bukti, sebab spanduk yang dituduhkan secara misterius hilang.

Masih di Banyuwangi, 3 orang warga Alasbuluh melakukan protes karena kampungnya rusak akibat dilewati kendaraan tambang Galian C, bukannya didengar oleh pemerintah Banyuwangi. Tiba-tiba mereka dilaporkan perusahaan, lalu ditahan dan diadili. Mereka divonis bersalah dan dijatuhi hukum 3 bulan penjara. Namun pada tahun 2023 ini mereka bisa bernafas lega sebab MA mengabulkan kasasi 3 warga ini dan diputus tidak bersalah. Situasi serupa juga terjadi di Bojonegoro, bahkan proses hukum masih berlanjut ada beberapa warga yang dikriminalisasi perusahaan ketika protes penolakan tambang.

Catatan-catatan ini melengkapi betapa industri ekstraktif memiliki banyak dampak dan turut meningkatkan ancaman kerusakan lingkungan hingga konflik sosial. Selain itu indutri ekstraktif adalah salah satu penyumbang emisi yang besar, karena mengeruk tanah yang merupakan carbon storage (penyimpan) dan membabat hutan serta lahan hijau yang menjadi carbon sequestration (pengikat). Profit ekonomi yang didapatkan tidak seberapa, itupun larinya ke segelintir orang, tetapi dampaknya luas dan bersifar jangka panjang.

Pada Hari Anti Tambang (HATAM) 2023 ini kami tidak bosan mengingatkan betapa bahayanya industri ekstraktif, serta menunjukkan bagaimana political will dari pemerintah melalui kebijakan dan regulasi yang semakin beringas dengan memperluas kawasan pertambangan bahkan di kawasan esensial seperti hutan lindung. Tentu lambat laun proyek ekonomi ekstraktif ini akan mengundang bencana dan parahnya membuka gerbang kiamat ekologis di Jawa Timur. Lalu bagimana nasib generasi yang akan datang jika semua tempat dikeruk?

Sehingga melalui rilis ini kami juga mengajak segenap elemen masyarakat Jawa Timur untuk turut menyuarakan penolakan terhadap PERDA RTRW Provinsi Jawa Timur serta mendorong pencabutan UU Minerba dan UU Cipta Kerja, sekaligus mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan semua kegilaan yang mengancam kehidupan warga Indonesia dan khususnya Jawa Timur di masa yang akan datang dengan menghentikan pemberian izin baru serta melakukan evaluasi izin tambang, sekaligus menagih janji komitmen pemerintah dalam upaya melawan perubahan iklim.

 

Salam Adil dan Lestari!!!!

 

Narahubung:

Wahyu Eka Styawan

Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur

Wahyuwalhijatim@walhi.or.id / 085808739095