Kado untuk Ulang Tahun Kota Surabaya Ke – 730 Tahun

Source: Punawarta.com

Ulang tahun sebuah kota menjadi sebuah perayaan yang kerap kali diselenggarakan secara meriah. Biasanya dengan embel – embel “pesta rakyat”. Yakin pestanya buat rakyat? Nah ada baiknya momen ulang tahun juga dirayakan sembari merefleksi bagaimana kondisi saat ini di wilayahnya. Pada bulan ini Kota Surabaya menjadi kota yang sedang merayakan ulang tahun ke – 730. Ada beragam kegiatan yang dihadirkan dalam satu bulan ini.  sayangnya tidak ada satupun kegiatan untuk merefleksikan permasalahan yang terjadi di Kota Surabaya Jangan – jangan pemerintah kota Surabaya lupa ada beragam krisis sosial dan ekologi yang terjadi di Surabaya yang harus direfleksikan dan segera membuat tindakan. Ini kami bantu ingatkan ya

  1.       Sampah di Pantai Ria Kenjeran

Pantai Ria Kenjeran merupakan salah satu icon dari Kota Surabaya yang dulu menjadi tujuan utama wisatawan. Bayangan pantai yang indah dengan pasir dan karang kini tidak lagi bisa kita temui di sana. Pada bulan maret, WALHI JATIM bersama jaringan solidaritas melakukan kegiatan Brand Audit di pantai tersebut. Namun alih – alih menemukan pasir dan karang kami justru menemukan tumpukan sampah dimana – mana hingga sebutan pantai seperti tidak lagi pantas diberikan. Tumpukan sampah manusia yang setiap tahun bertambah memenuhi setiap ruangnya. Belum juga cairan-cairan residu aktivitas rumah tangga dan industri yang merubah laut yang biru jernih, menjadi keruh kehitaman serta berbau busuk.

Kami menemukan hampir semua jenis sampah ada di Pantai Ria Kenjeran. Mulai dari sampah plastik sekali pakai hingga logam, kaca dan sampah B3. Setelah proses coding terdapat 137 Brand dari 108 perusahaan yang kami temukan. Inilah potret pantai di Surabaya yang kian hari kian megah namun meninggalkan aneka sampah. Pantai ria kenjeran juga menjadi saksi bisu kenaikan  air laut yang terus melahap daratan menjadi salah satu ciri dari terjadinya krisis iklim.

  1.       Kawasan pesisir yang semakin rusak

Kawasan pesisir yang rusak di wilayah Surabaya tentu juga berpengaruh pada kehidupan para nelayan. Salah satunya nelayan di wilayah Cupat, Nambangan, dekat dengan Pantai Kenjeran. Kerusakan ini bukan hanya karena sampah yang menumpuk di Pantai Kenjeran namun juga penambangan pasir di tengah Selat Madura. Sejak 2006 PT. Gora Gahana telah melakukan penambangan pasir di wilayah Selat Madura. Penambangan ini mengakibatkan penurunan pendapatan nelayan dan juga kerusakan ekosistem laut. Beberapa rumah dipinggir laut pun juga roboh akibat abrasi yang semakin meningkat.  Nelayan Nambangan harus mencari ikan lebih jauh akibat dari penambangan ini. Kian tahun kerusakan di kawasan pesisir ini juga turut memperparah krisis iklim. Dari hasil investigasi lapangan WALHI JATIM, nelayan Cupat Nambangan semakin sulit untuk melaut karna cuaca yang tidak bisa diprediksi lagi. Bahkan cuaca ekstrim membuat kapal – kapal mereka rusak terhantam ombak. Mereka memprediksi keadaan ini disebabkan oleh kerusakan di wilayah pesisir salah satunya penambangan pasir.

  1. 3.       Ruang terbuka hijau yang semakin sedikit (hilangnya Waduk dan hutan kota)

Kota Surabaya memiliki beragam ruang hijau yang berupa taman – taman namun apakah hal tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan ruang hijau di Kota Surabaya? Mengingat industri dan pemukiman terus dibangun di kota ini. Dalam temuan – temuan kami, Beberapa area hijau yang lebih besar dan memiliki fungsi lebih baik dari taman justru dihilangkan. Sebut saja hutan kota dan juga waduk, salah satunya Waduk Sepat. Waduk Sepat menjadi bukti nyata bahwa pemerintah mengutamakan kawasan pemukiman elite daripada area hijau yang berfungsi menjadi kestabilan ekosistem. Warga yang berjuang menyelamatkan Waduk Sepat justru harus merasakan kriminalisasi dan intimidasi. Selain itu salah satu hutan kota Surabaya  yang berada di Dukuh Pakis juga kabarnya hendak dialih fungsikan. Hutan ini juga tidak lagi di dicantumkan dalam rencana tata ruang dan wilayah Kota Surabaya

Hilangnya kawasan – kawasan hijau ini pun akhirnya menimbulkan bencana banjir yang tiap tahun titiknya bertambah banyak. Dikutip pada liputan Jawa Pos tahun 2018  ada 118 titik banjir di Kota Surabaya dengan ketinggian 40 – 50 cm. Titik – titik banjir terjadi karena hilangnya kawasan resapan dan tangkapan air.  Hingga hari ini titik – titik tersebut terus bertambah. Oleh sebab itu kawasan hijau menjadi kawasan yang urgen, bukan hanya diukur dari luasnya saja, namun apakah kawasan hijau yang ada terdapat tegakan – tegakan yang berguna sebagai kawasan resapan dan tangkapan air, juga sebagai penghasil udara bersih.

  1. 4.       Krisis iklim, polusi udara dan krisis air bersih

Sampah yang menumpuk, kawasan hijau yang dialihfungsikan, lalu industri dan pemukiman elit beserta fasilitas pendukungnya yang semakin banyak. Hal – hal itu berujung pada suhu udara yang semakin panas, polusi semakin meningkat, juga air yang tercemar. Padahal air dan udara menjadi kebutuhan utama dari manusia. Sudah mulai bisa bayangin belum Surabaya 10 tahun kedepan akan seperti apa? Ketika kawasan hijau sudah benar – benar habis dan digantikan industri, gedung – gedung bertingkat dan jalan – jalan tol.

Pada Indeks kualitas udara di Surabaya untuk bulan-bulan ini dalam keadaan baik namun berada di sekitar 2x 2.5PM artinya melebihi batas ambang WHO. wilayah industri seperti Rungkut, lalu Banyu urip hingga Wilangun memiliki kualitas udara semakin buruk, selain itu ada bau-bau aneh di sekitar industri dan ini yang bisa kita rasakan pada jam-jam tertentu seperti malam dan pagi hari, juga debu yang semakin menghitam. Hingga umur 730 tahun, Kota Surabaya belum menyediakan keterbukaan informasi mengenai kualitas udara, seperti menyajikannya secara real time pada website.

Selain kualitas udara, kualitas air juga tidak jauh berbeda. Daerah industri terutama Rungkut, Banyuurip, Wilangun, Perak memiliki  kualitas air  yang tercemar pada level sedang hingga berat. Sungai Kalimas juga memiliki kualitas kelas III yang artinya tidak layak untuk diminum. Berdasar Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Wali Kota 2021, indeks kualitas air permukaan Surabaya sebesar 58,18 atau tercemar ringan, namun melihat dari pemantauan sumber air tanah di Surabaya kualitasnya bukan lagi tercemar ringan namun ke sedang dan buruk di beberapa permukiman padat. Pada beberapa kasus ditemukan bau seperti besi, warna kecoklatan dan pada titik tertentu berwarna agak kekuningan. Ini menjadi bukti nyata bahwa kualitas air di Surabaya sudah sangat tercemar.

Hal tersebut berujung pada kekurangan air bersih dan menuai protes dari warga surabaya. Sayangnya solusi yang dipilih pemerintah justru dengan membuat proyek strategis nasional bernama SPAM Umbulan, dimana spam ini menyedot sumber umbulan dari Pasuruan dengan jumlah 750 liter per detik nya untuk dialihkan ke Kota Surabaya. Alih – alih memperbaiki kualitas air di Surabaya, Pemerintah justru mengambil air dari wilayah lain. Lebih parahnya 75 juta liter air per bulan atau setara  30 liter per detik dari SPAM Umbulan ini dipasok untuk perumahan elit CitraLand. Sehingga air bersih ini hanya dinikmati oleh kelompok tertentu saja

  1.       PLTSa sebagai solusi palsu

Ini yang terakhir, ada proyek yang belum banyak orang tahu, namanya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah. Proyek ini digadang – gadang sebagai proyek transisi energi atau bisa dibilang menjadi proyek pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Yakin ramah lingkungan? Pembangkit listrik ini menjadi dalih solusi atas pengelolaan sampah yang menumpuk di di kawasan Benowo. Namun alih – alih mengurangi sampah proyek ini justru menimbulkan masalah baru yaitu menghasilkan emisi yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Seperti, kerusakan pada tanaman dan organ tubuh manusia. Emisi ini timbul dari teknologi Insinerasi yang digunakan pada pembangkit ini. Insinerator selain menghasilkan gas yang bahaya untuk efek rumah kaca, juga menghasilkan dioksin, lalu juga ada debu yang apabila terkena manusia akan menyebabkan kerusakan pada paru-paru, terakhir ada juga fly ash (debu dengan partikel lebih kecil) yang apabila terkena tanaman akan menyebabkan kematian. Sehingga rasanya memilih solusi ini justru menimbulkan masalah baru yang memperparah kerusakan lingkungan.

Itulah kado yang dapat kami berikan di ulang tahun Kota Surabaya ini. Semoga apa yang kami sampaikan menjadi sebuah catatan penting bagi Kota ini. Memikirkan solusi dari permasalahan sepertinya jauh lebih penting daripada perayaan – perayaan yang hanya bisa dinikmati sebagian warga Surabaya. Kami justru memberikan apresiasi kepada warga Surabaya yang masih berjuang menyelamatkan lingkungannya hingga hari ini, seperti warga Sepat yang berjuang mempertahankan waduknya dan nelayan cupat nambangan yang berjuang mempertahankan wilayah pesisirnya. Sayangnya mereka justru jauh dari apresiasi atau dukungan pemerintah kota Surabaya.

Narahubung:

Lila Puspitaningrum (Manajer Kampanye dan Jaringan WALHI Jawa Timur)

+62 858-0873-9095