Press Release
Kronologi Singkat
Heri Budiawan alias Budi Pego adalah pejuang lingkungan yang berasal dari Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Dalam upayanya menyelamatkan kampungnya dari ancaman ekspansi tambang emas, ia bersuara lantang menolak keberadaan tambang yang dimiliki oleh Merdeka Cooper Gold. Tbk yang meliputi PT. Bumi Suksesindo dan PT. Damai Suksesindo. Selama perjalanan menyuarakan dan memperjuangkan kampungnya dari ancaman pertambangan, Budi Pego dan warga lainnya mengalami aneka intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi.
Sejak 2017 Budi Pego bersama belasan warga lainnya mengalami ancaman dan teror akibat aksi-aksinya menyuarakan penolakan tambang emas Tumpang Pitu. Pada tahun itu pula ia bersama 3 orang warga dijerat tuduhan menyebarkan logo palu arit atau paham komunisme dalam sebuah sepanduk aksi tolak tambang. Budi Pego kemudian divonis bersalah pada selasa, 23 Januari 2018 dengan penjara 10 bulan oleh hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi, meskipun Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak pernah mampu menghadirkan bukti fisik spanduk yang dituduhkan dalam setiap persidangan.
Lalu, Budi Pego bersama dengan kuasa hukum dari LBH Surabaya mengajukan banding atas putusan tersebut ke Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur. Kemudian pada tanggal 14 Maret 2018, Majelis hakim PT Jawa Timur yang diketuai oleh Edi Widodo memutuskan menerima permohonan banding JPU Kajari Banyuwangi. Lalu memutuskan pidana penjara selama 10 bulan terhadap Heri Budiawan.
Tidak berhenti di situ, Budi Pego bersama tim kuasa hukum lalu mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan tersebut. Tepat pada tanggal 16 Oktober 2018: MA melalui amar putusannya, memutuskan menolak permohonan kasasi Heri Budiawan. Bahkan hakim MA mengubah putusan PN Banyuwangi dan PT Jawa Timur, mengenai pidana penjara Heri Budiawan menjadi 4 (empat tahun). Adapun tim hakim MA yang memutus perkara tersebut adalah: H. Margono, SH., MH., MM, Maruap Dohmatiga Pasaribu, SH., M.Hum, dan Prof. DR. Surya Jaya, SH., M.Hum.
Pada tanggal 7 Desember 2018 sebagai hasil dari putusan MA, Budi Pego mendapatkan sepucuk surat dari Kajari Banyuwangi (Surat Panggilan Terpidana), yang bertujuan untuk pelaksanaan putusan MA tersebut (eksekusi tahap I). Namun anehnya, pasca terbitnya surat eksekusi I tersebut, tim kuasa hukum dan Pudi Pego belum menerima salinan putusan Kasasi. Lalu tanggal 21 Desember 2018, Heri Budiawan kembali mendapatkan surat panggilan eksekusi tahap II, yang akan jatuh pada Kamis, 27 Desember 2018. Dan sekali lagi hingga hari ini, tim kuasa hukum dan Heri Budiawan tetap belum menerima salinan putusan Kasasi.
Lalu berselang 4 tahun kemudian, tepatnya pada Jumat 24 Maret 2023, Budi Pego tiba-tiba ditangkap tanpa penjelasan, sekitar pukul 17.00 WIB. Belasan anggota Polresta Banyuwangi dan Kejaksaan Negeri Banyuwangi dengan mengendarai 4 Mobil mendatangi rumah Budi Pego. Budi Pego yang baru pulang berkebun dan mencari rumput, langsung ditahan.
Dalam penangkapan itu, Budi Pego berusaha mempertanyakan dasar penangkapan dirinya, dan meminta surat penangkapannya. Namun, surat penangkapan hanya ditunjukkan dengan waktu yang sangat singkat, tanpa memberi kesempatan kepada Budi Pego maupun menantunya untuk membaca surat tersebut. Saat ini Budi Pego sedang berada di Lapas Banyuwangi dengan penahanan dari Kejaksaan RI Banyuwangi. Penahanan atas Budi Pego didasarkan pada putusan kasasi Mahkamah Agung yang menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara terhadap dirinya.
Sebelumnya, sekitar tanggal 16 Maret 2023, tim Bumi Suksesindo (BSI) dengan kawalan Polresta, Kodim Banyuwangi, dan Satpol PP melakukan survey pemetaan geologis di Gunung Salakan – tak jauh dari Gunung Tumpang Pitu. Pasca itu sekitar tanggal 21 Maret 2023, diperkirakan pada pukul 22.00 WIB, ada 9 orang melakukan teror dalam bentuk merusak banner penolakan tambang emas yang terpasang di rumah Budi Pego. Banner ini sudah bertahun-tahun terpasang di rumah Budi Pego. 9 orang perusak banner ini datang ke rumah Budi Pego dengan berkendara 3 sepeda motor. Para perusak banner ini melarikan diri setelah aksinya diketahui oleh Budi Pego.
Ketidakadilan Pada Budi Pego
Sejak awal apa yang dialami oleh Heri Budiawan alias Budi Pego adalah kriminalisasi, sebab tidak adanya bukti yang dihadirkan di setiap persidangan. Bahwa dalam kasus Budi Pego diwarnai sejumlah keanehan, seperti tidak jelasnya barang bukti, Serta secara dasar Budi Pego tidak memahami apa itu komunisme. Tuduhan yang dilayangkan kepada Budi Pego penuh dengan rekayasa, tidak mungkin seorang Budi Pego seorang lulus Madrasah Tsanawiyah yang semasa hidupnya dihabiskan menjadi Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi, lalu pulang dan melanjutkan hidup sebagai petani buah naga tiba-tiba menyebarkan ajaran komunisme, sebab ia tidak ada waktu untuk membaca buku-buku yang mahal harganya dan aksi-aksi yang bahkan baru bergerak saja sudah diintai oleh intel.
Hakim yang memutus kasus Budi Pego sangat formalisitik, tidak melihat konteks bahwa itu adalah perbuatan memperjuangankan lingkungan hidup. Dalam perkara ini telah gegabah bahwa putusan terhadap Budi Pego sarat rekayasa, selain soal spanduk berlogo palu arit dasar yang dipakai oleh hakim tingkat PN untuk memutuskan putusan terhadap kasus Budi Pego adalah unsur melawan hukumnya hanyalah aksi yang tidak memiliki izin. Padahal instrumen untuk aksi adalah pemberitahuan bukan izin.
Pun melihat konteks yang dituduhkan pada Budi Pego yakni menyebarkan komunisme dan membahayakan negara atau ada tujuan menggulingkan pemerintah yang sah. maka unsur penggulingan pemerintahan yang sah sebagaimana tertuang dalam UURI No. 27 Tahun 1999 yang dituduhkan terhadap Heri Budiawan sangat tidak terpenuhi atau tidak ada. Ia dituduh untuk hal yang ia tidak perbuat dan hal yang tidak ada, putusan PN Banyuwangi dan MA sangat gegabah dan merampas hak seseorang yang menyuarakan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Terbukti, saat ini dirampas kembali kemerdekaannya melalui penangkapan yang tiba-tiba dengan dalih putusan MA. Anehnya eksekusi dilakukan setelah 4 tahun putusan “dipeti-es-kan” atau “menggantung” hak-hak Budi Pego. Bahkan sampai hari ini tim kuasa hukum belum menerima salinan putusan hingga hari ini. Tetapi dengan semena-mena Budi Pego ditahan kembali oleh Kejaksaan RI, apalagi penahanan juga berbarengan dengan ramainya penolakan protes tolak tambang. Tentu apa yang menimpa Budi Pego adalah bagian dari upaya membungkam suara publik dalam menyuarakan hak-haknya termasuk protes penolakan tambang, karena SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) bukan membungkam yang dibungkam saja, tetapi efeknya juga membungkam suara-suara lainnya.
Budi Pego adalah potret dari banyak “Budi Pego” yang lain. Ia dikalahkan oleh peradilan atas nama keadilan hukum, bukan keadilan untuk manusia. Padahal ia memperjuangkan sejengkal tanahnya, ruang hidupnya bersama komunitasnya. Kasus ini menunjukkan bahwa hukum memang lebih berpihak kepada pihak yang punya kuasa dan modal besar daripada warga masyarakat pencari keadilan.
Catatan ini sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia belum serius berkomitmen dalam melindungi hak-hak warga negaranya terutama pada sektor lingkungan hidup, karena masih banyak kriminalisasi pada warga yang menyuarakan hak atas lingkungan hidup termasuk Budi Pego.
Bebaskan Pejuang Lingkungan Budi Pego
Rilisan panjang yang sedikit memuat kisah Budi Pego ini mengantarkan kita pada kisah pilu nasib pejuang lingkungan dan HAM di Indonesia. Sekaligus merobek-robek nilai dan semangat yang telah tertuang dalam pasal 66 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Sebagaimana diketahui bunyi pasal 66 tersebut adalah “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”
Sebagai Penutup, kami masyarakat sipil menyampaikan kepada Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo, Kejaksaan RI dan segenap pihak terkait untuk membebaskan saudara Heri Budiawan alias Budi Pego dan meninjau ulang kasusnya, karena penuh rekayasa. Budi Pego hanyalah warga negara biasa yang ingin menyuarakan tentang lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Kami juga menyerukan kepada pemerintah Republik Indonesia khususnya KLHK untuk segera menerbitkan Peraturan Menteri ANTI-SLAPP sebagai implementasi dari pasal 66 UU PPLH yang sampai saat ini belum terbukti melindungi warga negara yang menyuarakan tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Budi Pego adalah contoh tumpulnya pasal 66.
Narahubung:
Wahyu Eka Styawan (Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur)
Abdul Wachid Habibullah (Direktur LBH Surabaya)