“Maldevelopment is the violation of the integrity of organic, interconnected and interdependent systems, that sets in motion a process of exploitation, inequality, injustice and violence. It is blind to the fact that a recognition of nature’s harmony and action to maintain it are preconditions for distributive justice.”
― Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development
Degradasi ekosistem dan mulai menipisnya sumber-sumber alam telah menyebabkan konflik panjang sejak era kolonialisme. Akibat dari adanya eksploitasi berupa ekstraksi sumber-sumber alam baik melalui perkebunan skala besar hingga pertambangan telah mendorong penurunan ekosistem. Masyarakat yang tinggal di sekitar situs-situs ekstraksi menjadi lebih rentan, tak terkecuali perempuan. Sebagai contoh adalah peningkatan kekerasan berbasis gender di situs-situs tersebut, karena perempuan seringkali berada pada risiko kekerasan yang lebih tinggi selama masa konflik.
Indonesia saat ini seringkali terkena dampak degradasi ekosistem secara tidak proporsional, terutama di daerah pedesaan di mana mereka bergantung pada sumber-sumber alam untuk penghidupan mereka. Ketika sumber-sumber alam semakin langka, perempuan mungkin terpaksa melakukan perjalanan lebih jauh untuk mengumpulkan air atau kayu bakar atau bekerja lebih ekstra, yang dapat menempatkan mereka pada risiko kekerasan berbasis gender yang lebih tinggi.
Di banyak komunitas di Indonesia, perempuan bertanggung jawab untuk mengurusi rumah seperti mengumpulkan air, kayu bakar, pangan dan sumber-sumber alam lainnya. Akibat ekstraksi ekonomi kapitalistik yang meluas melampaui ruang geografis, banyak perempuan di komunitas-komunitas terpaksa menghabiskan lebih banyak waktu dan usaha untuk mengumpulkan sumber penghidupan. Hal tersebut dapat membatasi kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan perubahan lain, seperti perubahan pola cuaca atau gagal panen. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan stres dan ketegangan dalam rumah tangga, yang dapat berkontribusi pada kekerasan berbasis gender.
Sebagai contoh yang dialami oleh perempuan korban Lapindo, mereka harus berjibaku untuk memenuhi kebutuhan rumah, di saat bencana meletus dan melahap kampung mereka, otomatis sumber penghidupan juga turut tercerabut. Selain berjibaku memenuhi urusan perut, mereka juga menerima beban menjadi pengurus rumah, sebagaimana watak keluarga tradisional. Lalu, mereka juga harus mengalami aneka keterancaman seperti kesehatan, karena tinggal di tempat yang hingga saat ini racun-racun semburan lumpur masih menyembur. Tidak hanya itu rekognisi pada hak mereka pun masih belum sepenuhnya pulih, masih banyak aneka diskriminasi dan stereotipe. Beban fisik dan psikologis bercampur baur semakin membuat rentan mereka, semua itu diakibatkan oleh bencana industri ekstraktif.
Masih ingat tragedi Salim Kancil? Karena berupaya mempertahankan ruang hidupnya dari perampasan tambang pasir besi. Pak Salim harus merenggangkan nyawanya, akibat dianiaya dan dibunuh secara keji. Dampaknya tidak hanya pada Pak Salim, tetapi juga pada istri dan anaknya. Karena selama Pak Salim berjuang, mereka juga turut menjadi korban kekerasan, baik berupa ancaman, rasa tidak aman dan intimidasi. Selain itu, sepeninggal Pak Salim, mereka harus rentan secara ekonomi dan psikologis.
Bahkan ke depan dengan semakin masifnya krisis iklim, tentu akan berdampak signifikan terhadap Indonesia, termasuk bencana yang lebih sering dan parah, kenaikan permukaan air laut, serta peningkatan kekeringan dan banjir. Dampak ini dapat mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional, yang mungkin lebih rentan terhadap pemindahan dan konsekuensi lain dari krisis iklim. Ketika komunitas menjadi lebih rentan terhadap tekanan lingkungan, perempuan mungkin berisiko lebih tinggi mengalami kekerasan berbasis gender.
Melihat secuil kisah pilu bagaimana wujud eksklusi komunitas, terutama beban paling besar pada perempuan dikikis, lalu dihilangkan. Berpegang teguh pada prinsip Vandana Shiva, bahwa rekognisi atas hak-hak perempuan dan perlindungan sumber-sumber alam merupakan hal yang sangat penting. Menghentikan aneka eksploitasi, mengubah cara memperlakukan ekosistem, menerapkan prinsip demokratis adalah bagian penting dalam menjamin hak perempuan dan akses ke sumber-sumber alam, seperti tanah dan air, tentu akan meningkatkan peran perempuan dalam pengambilan keputusan atas ruang hidupnya dan mendorong resiliensi komunitas, beranjak pulih dari kerusakan secara bertahap. Sebab upaya tersebut adalah ikhtiar dalam mengikis dominasi patriarki yang tak lain adalah wujud dari kapitalisme.
Oleh karena itu, pada International Women’s Day 2023, merupakan kesempatan untuk meningkatkan kesadaran akan hubungan antara gender dan ekologi serta untuk mempromosikan keadilan gender dalam pengambilan keputusan atas sumber-sumber alam yang menunjang kehidupan yang resilien. Tak bisa dipungkiri dan harus diakui, dalam catatan sejarah sejak era primitif hingga saat ini inisiatif yang dipimpin perempuan telah menunjukkan keberhasilan dalam menjaga keberlanjutan sumber-sumber alam. Sebagai contoh komunitas-komunitas yang dipimpin oleh perempuan baik dalam pertanian, perikanan, dan kehutanan terbukti lebih berkelanjutan serta berdaya pulih.
Contact Person
Koordinator Kampanye WALHI Jatim
Lila Puspita- lilawalhijatim@walhi.or.id