Darurat Bencana Iklim Jawa Timur

Rilis Media WALHI Jawa Timur

Dalam sepekan ini hampir seluruh wilayah Jawa Timur mengalami banjir dan tanah longsor, kejadian ini paling banyak di wilayah selatan Jawa Timur. Daerah-daerah tersebut yakni Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Kabupaten Malang, Kota Batu Lumajang dan Banyuwangi.

Banjir yang terjadi pada wilayah tersebut didorong oleh tingginya intensitas curah hujan, serta rusaknya daya dukung dan daya tampung kawasan, terutama kawasan resapan dan tangkapan air yang berada di area hulu. Rusaknya kawasan hulu diakibatkan oleh perubahan peruntukan ruang dan alih fungsi kawasan lindung untuk peruntukan lain.

Banjir di wilayah Selatan Jawa telah mengakibatkan banyak korban, serta menyebabkan banyak masyarakat yang mengalami kerugian secara langsung maupun tidak langsung. Seperti kejadian banjir di Malang berdampak pada kurang lebih 600 kepala keluarga di wilayah Malang Selatan yang meliputi 8 Desa di 5 kecamatan antara lain Desa Lebakharjo, Kecamatan Ampelgading, Desa Purwodadi dan Desa Pujiharjo Kecamatan Tirtoyudo. Kemudian, Desa Sitiarjo, Desa Sidoasri dan Desa Tambakrejo di Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Desa Sumbermanjing Kulon Kecamatan Pagak dan Desa Sumberoto di Kecamatan Donomulyo.

Sementara di Blitar banjir melanda 13 titik di 5 kecamatan di antaranya Kecamatan Binangun dengan desa yang terdampak yakni Desa Salamrejo, Dusun Kedungjati di Desa Rejoso dan Desa Binangun. Lalu Kecamatan Panggungrejo, banjir terjadi di Desa Kalitengah dan Desa Serang. Kecamatan Sutojayan, banjir melanda Desa Sumberjo, Desa Bacem, Desa Kalipang dan Kelurahan Sutojayan. Kecamatan Wonotirto, banjir terjadi di Desa Ngeni, terakhir di Kecamatan Wates, banjir melanda di Desa Tugurejo. Menurut keterangan BPBD setempat ada sekitar 1.094 KK dan kurang
lebih 465 orang terpaksa mengungsi.

Di Trenggalek banjir dan longsor menerjang hampir di 11 Kecamatan antara lain Kecamatan Kampak, Kecamatan Dongko, Kecamatan Gandusari, Kecamatan Tugu, Kecamatan Pule, Kecamatan Suruh, Kecamatan Bendungan, Kecamatan Trenggalek, Kecamatan Pogalan, Kecamatan Karangan dan Kecamatan Durenan. Total warga yang terdampak kurang lebih 2.640 KK dan mengakibatkan 1 orang meninggal serta hampir 2.475 rumah terendam.

Banjir di Trenggalek juga lari ke Tulungagung, setidaknya melanda 7 desa yakni Desa Bulus, Gandong, Kesambi dan Suruhan Kidul. Selain itu Desa Soko, Sukoharjo dan Mergayu yang masuk wilayah Kecamatan Bandung dan berdekatan dengan Trenggalek. Selain itu Tulungagung juga terancam gagal panen akibat banjir, pasalnya hampir 5.200 hektare sawah terancam gagal panen karena banjir jika
merujuk data dari Dinas Pertanian.

Banjir juga melanda wilayah Banyuwangi, baik di wilayah kota maupun selatan seperti Kecamatan Pesanggrahan, hampir lebih dari 200 KK warga yang menjadi korban dari banjir ini. Lalu di Kota Batu banjir juga sempat melanda di wilayah Bumiaji dan mengakibatkan jalanan tertutup lumpur
pada beberapa waktu lalu. Terakhir di Lumajang, beberapa titik juga mengalami banjir salah satunya wilayah Ranupani yang notabene kawasan hulu dan wilayah lindung karena berada di sekitar area Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

BMKG pun juga memprediksi bahwa potensi cuaca ekstrem akan berlangsung sepanjang bulan Oktober ini. Kemungkinan banjir akan terjadi pada beberapa titik dan akan meluas. Curah hujan yang tinggi hampir di rentang 200mm-500mm menjadi salah satu faktor pemicu bencana, selain persoalan tata ruang yakni hilangnya kawasan resapan dan tangkapan air, karena alih fungsi kawasan hutan dan semakin menyusutnya ruang terbuka hijau.

Merujuk pada himpunan data dari Global Forest Watch menyebutkan dari 2001 hingga 2019, Jawa Timur juga telah kehilangan 84.500 hektar tutupan pohon, setara dengan penurunan 4,4% tutupan pohon sejak 2000, dan 36,3 juta ton emisi CO₂. Beberapa wilayah yang kehilangan tutupan hutan besar adalah Banyuwangi 15.800 hektar, Jember
12.200 hektar, Malang 8.780 hektar, Bondowoso 4.740 hektar dan Tulungagung 3.860 hektar.

Hal ini patut menjadi perhatian, bahwa urusan banjir bukan sekedar normalisasi sungai atau pembangunan infrastruktur penunjang. Tetapi melihat pada kesesuaian ruang dan daya tahan ruang.

Selama ini persoalan banjir hanya dilihat pada pasca kejadian, tidak pernah ada kebijakan yang sensitif dan membahas pada level bagaimana pencegahan dilakukan, salah satunya yakni revitalisasi kawasan hulu.

Melihat kondisi darurat bencana di Jawa Timur, WALHI Jawa Timur dalam rilis ini melihat bahwa persoalan banjir dan longsor adalah imbas dari rusaknya ekosistem, kerusakan ini beragam salah satunya diakibatkan tata ruang yang hanya mengedepankan ekonomi linier, tetapi tidak mempertimbangkan dampak dari aktivitas tersebut.

Selain itu, kami juga mendorong kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten/Kota untuk melihat persoalan banjir bukan semata normalisasi sungai, sampai mitigasi dan adaptasi.

Persoalan cara pandang, terutama kebijakan tata ruang yang tidak sensitif ruang, maka perlu mengubah cara pandang dengan menekankan pada peningkatan daya tahan kawasan, melalui kebijakan tata ruang yang sesuai dengan kondisi yang terjadi.

Sehingga fokus ke depan bukan pasca kejadian, tetapi lebih ke pengurangan risiko bencana melalui pemulihan kawasan khususnya kawasan hulu. Mengingat banjir dan longsor adalah bagian dari perubahan iklim, sehingga menyelamatkan kawasan hulu bukan sekedar mengurangi dampak bencana tetapi juga turut terlibat aktif dalam melawan perubahan iklim.

Narahubung:
Lila Puspitaningrum (lilawalhijatim@walhi.or.id / 085648877594)
Manajer Kampanye WALHI Jawa Timur