
“Menonton film Angin Timur seperti melihat kemalangan nasib sendiri yang telah jatuh akibat kerusakan lingkungan, perubahan iklim, kenaikan BBM, dan pengesahan undang-undang yang terkesan serampangan.”
Masyarakat Salakan Menolak Tambang (MASLAMET) mengadakan nonton bareng dan diskusi film Angin Timur pada Rabu (12/10) di Dusun Tembakur Desa Sumbermulyo.
Film yang di buat oleh Tim Ekspedisi Indonesia Baru ini menyoroti bagaimana kehidupan kelompok nelayan yang dibombandir baik di rumah (darat) maupun di laut sebagai kawasan tangkap dan penghidupan. Seperti yang terjadi pada Masyarakat Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kabupaten Banyuwangi.
Pak Ahmad salah seorang nelayan Pancer, menceritakan pada tahun 2016 telah terjadi banjir lumpur akibat aktivitas pertambangan di gunung tumpang pitu yang menyebabkan adanya penumpukan (sendimentasi) lumpur di bawah laut, sehingga mencemari ekosistem laut. Akibatnya tidak ada ikan di pinggiran dan nelayan terpaksa mencari ikan lebih jauh, kondisi ini juga di barengi dengan adanya BBM yang melambung (mahal).
“Sehingga ingin nangis rasanya jika mengingat hal ini, hidup nelayan tambah susah,” ungkap Pak Ahmad dalam diskusi selekas nonton bareng.
Hal demikian juga dialami oleh ibu-ibu nelayan seperti Ibu Rika yang cukup senang dengan adanya film Angin Timur. Menurut Ibu Rika problem terbesar warga Pancer sebagai masyarakat yang menolak tambang adalah ingin mengutarakan aspirasi namun kesulitan, dan sangat dibutuhkan tontonan yang seperti ini agar masyarakat luas menjadi tahu.
“Soal pendapatan ikan masyarakat nelayan biasanya memakai ilmu titen (pengingat) yang biasanya bisa di prediksi masa panen, tapi ilmu titen saya dalam tahun-tahun ini tidak pernah terjadi,” tutur Ibu Rika.

Sama halnya yang disampaikan oleh Ibu Rika, peserta diskusi lainnya yang merupakan ibu-ibu nelayan di Dusun Pancer, yakni Ibu Pon dan Ibu Ti juga mengungkapkan keluhan terkait pendapatan keluarga mereka yang kini sangat menurun drastis dibandingkan sebelumnya. Selain itu mereka menceritakan jika di kampung mereka kini ada persoalan konflik sosial.
“Kini terjadi pro-kontra di kampung (Pancer), bahkan antara ibu dan anak terjadi konflik lantaran ada pro dan kontra. Kami berharap agar semua itu kembali seperti semula dan tambang segera pergi dari kampungnya,” terang Ibu Pon dan Ibu Ti dalam diskusi bersama pejuang yang lainnya.
Acara nonton bareng dan diskusi film Angin Timur berlangsung pada pukul 19.25 WIB ini tidak hanya di hadiri oleh warga Desa Sumberagung dan Sumbermulyo sebagai penyelenggara acara, namun juga dihadiri oleh mahasiswa dan komunitas warga dari Rukun Tani Sumberejo Pakel, Desa Pakel serta pemuda asal Desa Barurejo yang berdekatan dengan Gunung Tumpang Pitu.
Dalam diskusi yang berlangsung pemuda dari Barurejo juga turut mengutarakan suaranya. Fathan sebagai pemuda Desa Barurejo yang berdekatan dengan Tambang Emas Tumpang Pitu menyatakan bahwa penolakannya terhadap tambang, serta dorongan untuk melawan pertambangan, lantaran ia bercerita memberikan perbandingan bagaimana di daerahnya telah marak praktek pertambangan pasir (galian c).
“Secara pribadi saya menolak adanya tambang karena merusak ekosistem hutan dan sumber mata air seperti masalah tambang galian c di desa kami yang banyak meninggalkan lubang dan juga telah merenggut nyawa manusia,” papar Fathan.
Diskusi ini pun diakhiri dengan membentangkan spanduk bertuliskan tolak tambang emas gunung salakan Banyuwangi. Sebagai informasi Gunung Salakan adalah salah satu gunung yang akan ditambang oleh PT. Bumi Sukesindo yang memperoleh konsesi Izin Operasi Produksi seluas seluas 4.998 hektare berdasarkan Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/547/KEP/429.011/2012 tanggal 9 Juli 2012.
Jadi tidak hanya di Gunung Tumpang Pitu yang masuk ke konsesi, termasuk juga Salakan. Selain PT. Bumi Suksesindo ancaman lain di wilayah tersebut juga masih adanya konsesi atas nama PT. Damai Suksesindo seluas 6.558 hektare yang semuanya di bawah panji-panji Merdeka Cooper Gold Tbk (MCG).
Belajar dari kerusakan Tumpang Pitu warga yang tergabung dalam MASLAMET tidak ingin Salakan dirusak seperti Tumpang Pitu. Sekaligus pertemuan ini menunjukkan jika penolakan tambang di Sumberagung dan Sumbermulyo belum padam.