Angin Timur: Sebuah Dokumenter Tentang Rentannya Kehidupan Nelayan

Oleh: Abdur Rahmad (Mahasiswa Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton, juga bagian dari PMII Komisariat UNUJA), Jony & Miftakhul (Jejaring Student Movement WALHI Jatim)

Dokumentasi (Abdur Rachman) Suasana Nobar Angin Timur

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Universitas Nurul Jadid bekerja sama dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Alfikr serta Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur mengadakan nobar dan diskusi film dokumenter garapan Tim Ekspedisi Indonesia Baru berjudul Angin Timur yang bertempat di Cafe Bams, Paiton, Probolinggo pada 3 Oktober 2022.

Film Angin Timur merupakan film dokumenter kedua dalam rangkaian film seri Ekspedisi Indonesia Baru. Sebelumnya film pertama yang berjudul Silat Tani telah dirilis terlebih dahulu. Angin Timur film yang baru dirilis ini mencoba menceritakan tentang nelayan yang sedang tertekan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), serta terancamnya nelayan akibat rusaknya ekosistem serta potensi kerusakan yang diresahkan oleh nelayan. Di lain sisi, permasalahan yang juga membuat nelayan terpukul adalah biaya produksi yang semakin tinggi dan penghasilan yang kian tidak pasti.

Dalam pelaksanaan nobar tersebut, peserta disajikan film yang berdurasi 1 jam 41 menit untuk bersama-sama memahami terkait masalah kerusakan alam dan bagaimana hawa nafsu oligarki yang sedang dihadapi nelayan. Adapun yang hadir sebagai pemantik adalah Moh Hendrik, Warga Kalibuntu Kraksaan, Abdul Haq, Pemred Majalah Alfikr, Moh Zia Ulhaq, Ketua Umum PC PMII Probolinggo, dan Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif WALHI Jatim.

Diana Inayatul Fatwa, Koordinator Biro Kaderisasi Kopri PK PMII Unuja yang bertugas sebagai moderator memulai diskusi dengan menyampaikan bahwa banyak hal yang bisa dipetik dari adanya film tersebut. Menurutnya, film Angin Timur tidak sekadar hiburan saja, lebih serius adalah untuk bahan refleksi dalam memahami implikasi manusia dengan lingkungan hidupnya.

Angin Timur Hadir untuk Membuka Mata

Film Angin Timur ini berhasil dirampungkan dalam waktu yang cukup singkat, sekira 1.5 bulan. Kecepatan waktu itu karena digarap (editing videonya) sembari menempuh Ekspedisi Indonesia Baru selama satu tahun. Tim Ekspedisi Indonesia Baru memulai penggarapan pada 1 Juli 2022, sedangkan screening film dengan skema pendaftara mulai dibuka sejak 18 September 2022 melalui akun instagram @idbaru. Adapun inisiator Ekspedisi Indonesia Baru adalah Farid Gaban dan Dhandy Dwi Laksono beserta tim lainnya seperti Yusuf Priambodo dan Benaya Ryamizard Harobu.

Sebelum membahas lebih jauh terhadap masalah konflik yang dihadapi nelayan, film ini dibuka dengan pesona alam yang masih indah di beberapa tempat salah satunya Trenggalek yang belum terjamah oleh terutama perusahaan tambang. Kesejukan juga diperkuat dengan pemandangan kekompakan para masyarakat nelayan yang mengajarkan pentingnya gotong royong, meskipun sekadar saling membantu untuk memarkir perahu.

Tetapi tempat tersebut terancam, di Trenggalek ada sekitar 12.813,41 Ha konsesi atas nama PT. Sumber Mineral Nusantara melalui Izin Operasi Produksi dari Provinsi Jawa Timur, sebelum semua izin ditarik ke pemerintah pusat. Konsesi tersebut meliputi wilayah Kecamatan Kampak, Watulimo, Dongko, Munjungan, Gandusari, Karangan, Pule, Suruh dan Tugu. Di Kecamatan yang termasuk dalam konsesi, terutama pada wilayah Watulimo dan Munjungan terdapat komunitas nelayan. Aktivitas pertambangan tersebut akan berdampak kepada nelayan, karena tambang berada di wilayah atas yang otomatis dampaknya akan mengalir ke aliran sungai, sementara muara untuk wilayah tersebut adalah pantai selatan, terutama di sepanjang pesisir Prigi yang berada dalam administrasi Kecamatan Watulimo.

Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Walhi Jatim, menyampaikan pandangannya bahan film ini berusaha memberikan pelajaran penting terhadap seluruh elemen masyarakat, terutama persoalan yang dihadapi oleh para nelayan yang berhadapan dengan konflik tambang dan tambak. Apalagi dengan adanya oligarki yang semakin merajalela. Menurutnya, oligarki merupakan sekelompok orang kaya yang yang berusaha memperluas kekayaannya dengan cara apapun.

“Film ini mengajak kita untuk peka terhadap persoalan lingkungan, tahu bahwa persoalan lingkungan bukan hanya perilaku individu, tetapi ada sistem ada aktornya. Siapa yang membuat rencana tata ruang? Siapa yang memberikan izin? Siapa yang akan dapat kekayaan melimpah? Dan siapa yang harus menderita ketika terjadi bencana? Semua itu tengah dialami nelayan, baik di Paiton yang dihajar PLTU, Banyuwangi yang dikoyak-koyak tambang emas dan sekarang Trenggalek mau dihancurkan juga,” tegasnya.

Nelayan Dengan Aneka Kerentanannya

Film Angin Timur sedikit banyak mengungkap persoalan nelayan. Salah satunya memotret permasalahan nelayan seperti yang tergambar di daerah Karimun Jawa, salah satunya keberadaan tambak udang dan tongkang batu bara. Di Karimun Jawa sebagai kawasan konservasi dan taman nasional, setidaknya sudah ada 20 tambak udang dan diperkirakan akan semakin bertambah yang akan memadati wilayah tersebut.

Tambak-tambak tersebut telah mengambil air bersih laut dan membuang limbahnya ke laut tanpa ada proses pengolahan terlebih dahulu. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimun Jawa menyebutkan jika limbah tambak akan mempengaruhi kadar oksigen terlarut (BOD) di dalam air dan merusak kebutuhan oksigen hewan laut. Ironisnya, hampir keseluruhan tambak di Karimun Jawa belum mengantongi ijin, namun tetap beroperasi.

Selain tambak juga terdapat tongkang batu bara yang merusak keberadaan terumbu karang. Perlu diketahui terumbu karang merupakan rumah ikan. Kini mulai banyak ikan yang menghilang, karena terumbu karang rusak oleh aktivitas kapal tongkang batu bara. Aktivitas seperti menurunkan jangkar, melewati perairan yang banyak terumbu karang membuat dampak bagi masa depan terumbu karang di sana. Sudah banyak yang rusak, tutur salah seorang nelayan.

“Resah meresahkan,” kata salah satu warga dalam film tersebut sebagaimana terucap dalam menit ke 45.

Persoalan yang terjadi di Karimun Jawa, coba dikontekstualisasikan oleh Abdul Haq selaku Pemred Majalah Alfikr. Ia mencoba menarik dengan persoalan yang ada di Kabupaten Probolinggo terutama di bagian pesisir. Menurutnya, di Karanganyar, Paiton, sudah ada setidaknya 63 petak tambak yang aktif beroperasi. Di daerah pesisir Bentar, Gending, terdapat 53 ha dan 23 ha telah membabat mangrove.

“Di sisi selatan, bukit bentar yang dulunya sering kali dijadikan spot foto, sekarang sudah ditambang untuk kepentingan tambak udang,” jelasnya.

Selain itu kerusakan terumbu karang juga terjadi karena aktivitas tongkang dan PLTU. Menurutnya pada tahun 2020 lalu di sepanjang perairan Bhinor pernah terjadi kapal pengangkut batu bara yang menumpahkan materialnya. Dampaknya tentu ke perairan sekitar, terumbu karang, ikan yang sudah jarang jadi semakin hilang. Itu bukan aktivitas pertama, karena sebelumnya pernah terjadi.

Bahkan aktivitas PLTU juga meresahkan, menurut beberapa penelitian aktivitas produksi listrik menciptakan pemanasan di sekitar perairan Bhinor, hasilnya banyak ikan yang mulai hilang. Nelayan pun tidak bisa berbuat apa-apa, mereka mulai pelan-pelan kehilangan mata pencaharian utama.

“Menyedihkan, nelayan kehilangan ruang hidupnya akibat aktivitas energi kotor yang merusak,” tutup Haq

Hal senada disampaikan oleh Moh Zia Ulhaq, Ketua Umum PC PMII Probolinggo. Yaya panggilan akrabnya, menyampaikan bahwa Kabupaten Probolinggo sudah termasuk daerah yang digadang-gadang menjadi kota industri. Alasan utamanya yang ia dengar dari pejabat pemerintah adalah untuk membuka lapangan pekerjaan. Namun, menurut ia, alasan tersebut masih terlalu janggal, karena jika ingin membuka lapangan pekerjaan kenapa mesti menghancurkan lapangan pekerjaan orang lain, seperti nelayan yang mengalami dampaknya secara langsung.

“Hampir seluruh pesisir Kabupaten Probolinggo sudah terkapling menjadi tambak udang,” paparnya.

Keluh Kesah Nelayan di Angin Timur

Menyambung dengan persoalan di atas, nelayan memang semakin rentan kehidupannya khususnya dalam ekonomi lokal. Budidaya rumput laut yang berada di Karimun Jawa juga mengalami permasalahan, sulit berkembang dan terjangkit penyakit (beracun). Bahkan, hampir tidak ada panen yang cukup bagus. Palingan hanya panen untuk bibit. Panen barang busuk, terpaksa dipanen bukan panen yang normal. Kejadian ini sudah berjalanan 3 tahunan. Sedangkan sebelum itu, sekali panen bisa beli mobil.

“Untuk saat ini laut kita sedang tidak baik-baik saja, kita ada masalah pencemaran limbah tambah, kita ada masalah tongkang yang tak henti-hentinya merusak terumbu karang kita. Masih banyak aktivitas yang mengeksploitasi lingkungan yang tidak ramah,” jelas salah satu warga dalam menit ke-50.

Selain Karimun Jawa, persoalan yang sama juga menyasar warga Pati, Jawa Tengah. Hanya saja, di sana sudah mulai ada kesepakatan antar nelayan. Nelayan kecil diberi kesempatan menangkap ikan di area 20 mil ke tepi, sedangkan nelayan besar dikhususkan untuk area 20 mil ke tengah.

Begitupun dengan warga Trenggalek, Jawa Timur, yang sampai saat ini tetap bersikukuh menolak adanya tambang emas yang akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat, terutama nelayan. Persoalan tambang juga menghantui warga nelayan yang berdampingan dengan tambang di daerah Tumpang Pitu, Banyuwangi.

Disebutkan Tumpang Pitu dikarenakan di sana ada tujuh bukit. Satu per satu, bukit mulai ditebas oleh perusahaan tambang emas yakni PT. Bumi Suksesindo yang merupakan anak perusahaan Merdeka Cooper Gold. Sebuah perusahaan yang dikuasai oleh aktor nasional seperti Garibaldi Thohir dan Edwin Suryajaya melalui kongsi bisnisnya Provident Capital.

Ahmad Darsono atau akrab disapa Pak Mat, salah satu nelayan di Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran tempat di mana konsesi IUP Operasi Produksi seluas 4.998 Ha bercokol menyadari bahwa adanya ikan yang semakin langka. Menurutnya, pembukaan lahan di perbukitan menyebabkan sedimentasi (pengendapan lumpur) yang terbawa hingga ke dasar laut.

Masih basah diingatan Pak Mat tragedi banjir lumpur yang pernah terjadi beberapa waktu lalu (November 2016) menyebabkan adanya endapan didasar laut, yang sangat berpengaruh terhadap ekosistem laut. Hari ini, mereka harus mencari ikan lebih jauh ke tengah laut yang menyebabkan ongkos bahan bakar dan perbekalan semakin besar.

Nelayan di daerah pelabuhan Pancer, Banyuwangi sebelum adanya tambang bisa mendapatkan ratusan ton perharinya, maka tidak ada ceritanya pelelangan ikan sepi. Akan tetapi, hari ini, tujuh tahun setelah adanya banjir lumpur, kondisi pelelangan ikan sudah rusak karen tidak lagi beroperasi dan pendapatan nelayan tidak sampai 1 ton. Dulu, di masa jayanya pelabuhan pancer, setiap hari selalu dipenuhi setidaknya 40 truck yang sedang ngangkut ikan.

Di akhir penyampaiannya, Wahyu Eka menegaskan fenomena tersebut adalah bagian dari perampasan ruang, bagian dari land grabbing dengan wujud ekstraktivisme. Ia menambahkan bahwa segala sesuatu yang menyangkut kepentingan atau hajat orang banyak tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang, apalagi menyangkut masa depan hidupnya.

“Kepemilikan terhadap air, udara, tanah, tidak boleh dimiliki oleh segelintir orang,” pungkasnya.