Rilis WALHI Jawa Timur
Penghargaan lingkungan hidup yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya beberapa hari silam, meninggalkan sejumlah tanda tanya besar. Mengingat hingga hari ini Pemkot Surabaya belum menunjukkan komitmen tersebut, salah satunya terkait dengan keterbukaan informasi. Padahal dalam Undang-undang Pengelolaan dan Perlindungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009, persoalan keterbukaan informasi dalam konteks lingkungan hidup adalah kewajiban. Hal ini dapat dilihat pada pasal 6 ayat 2 lalu tercatat pada pasal 26 terkait partisipasi dan keterbukaan informasi AMDAL, selanjutnya tercatat pada pasal 62 terkait sistem informasi.
Sebagai tanggapan dari surat tanggapan dari Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Surabaya selaku Pejabat Pengelola Informasi Publik (PPID) baik melalui email terkait permintaan ulang syarat pemberian informasi terkait izin lingkungan pengelolaan Waduk Sepat oleh Ciputra dan surat dengan nomor surat 658.1/10585/436.7.13/2022 perihal tanggapan terkait surat permohonan informasi kami mengenai permintaan informasi dokumen AMDAL proyek PLTSa Benowo Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya belum memiliki itikad baik dalam membuka persoalan informasi publik yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, terutama merujuk instrumen partisipasi dan keterbukaan informasi kepada publik, khususnya mengenai prinsip pencegahan dan penanggulangan.
Pertama, perihal permohonan informasi Waduk Sepat, merujuk pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan hasil putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung No. 111PK/TUN/2017 yang secara substansi mengamanatkan keterbukaan informasi dan menegaskan bahwa yang diminta oleh WALHI Jawa Timur merupakan dokumen publik. Sehingga merujuk hal tersebut maka wajib hukumnya Pemkot Surabaya memberikan informasi tanpa harus memintakan persyaratan dan berbelit-belit.
Kedua, mengenai surat tanggapan yang mengatakan bahwa dokumen AMDAL PLTSa Benowo adalah yang dikecualikan dengan alasan persaingan usaha serta hak kekayaan intelektual merupakan bentuk ketidaktahuan Pemkot Surabaya, mengenai substansi keterbukaan informasi publik berkaitan dengan dokumen lingkungan hidup. Karena jika merujuk pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 1 Ayat (11) yang berbunyi:
“Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.”
Dengan begitu dokumen AMDAL merupakan dokumen studi kelayakan yang mendukung suatu keputusan terkait suatu perizinan usaha dan/atau kegiatan yang dikeluarkan oleh pejabat publik, sehingga dokumen AMDAL merupakan dokumen publik yang bisa diakses oleh masyarakat hal ini kemudian diperjelas pada Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 11 Ayat (1) huruf c yang berbunyi:
“Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat yang meliputi : c. seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungan.”
Ketiga, pada surat tanggapan Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Surabaya/PPID Kota Surabaya disebutkan bahwa dokumen yang kami minta merupakan informasi yang dikecualikan berdasar pada Ketentuan Pasal 40 Ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Pasal 17 huruf b Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, kami menilai sangat tidak relevan karena jika melihat pada Pasal 40 Ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang merupakan bagian dari BAB V EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DAN CIPTAAN YANG DILINDUNGI yang mengatur bagaimana perlindungan ciptaan pada bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, sedangkan pada informasi yang kami minta merupakan dokumen studi kelayakan sebagai salah satu syarat pendukung suatu kebijakan. Hal tersebut sangat berbeda dengan apa yang diatur dalam Pasal 40 Ayat (1) huruf a Undang-undang Hak Cipta.
Keempat, merujuk pada pasal 65 Undang-undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan atau pengetahuan, dalam hal ini informasi mengenai persoalan yang berkaitan dengan lingkungan hidup tak terkecuali dokumen-dokumen terkait, bahkan dalam pasal tersebut mengamanatkan partisipasi. Pun ini juga berlaku pada Undang-undang Keterbukaan informasi publik.
Maka melihat catatan tersebut, kami menilai Pemkot Surabaya sangat tertutup dalam persoalan informasi publik terkait pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan yang dicitrakan selama ini soal tata kelola lingkungan hidup yang baik oleh Pemkot Surabaya. Bagaimana mau melakukan pengelolaan yang baik jika dokumen-dokumen penting tidak dapat diakses publik untuk menjadi sebuah pengetahuan dan partisipasi.
Kami pun menyangsikan persoalan partisipasi publik mengenai tata kelola lingkungan hidup di Kota Surabaya, terutama berkaitan dengan proyek perumahan yang berakibat dengan tergusurnya Waduk Sepat dan proyek PLTSa di Benowo. Karena pada dasarnya partisipasi ini adalah pelibatan aktif seluruh elemen sipil, serta diawali dengan pemberian informasi yang objektif ke publik. Jika informasi saja tertutup, lantas bagaimana dengan partisipasinya? Kecuali gimmick agar seolah-olah partisipatif.
Sebagai penutup, melalui catatan ini kami mengharapkan Pemkot Surabaya untuk segera membuka dokumen publik terkait lingkungan hidup tersebut, baik dokumen terkait Waduk Sepat maupun AMDAL PLTSa Benowo. Serta terbuka kepada seluruh khalayak mengenai dengan informasi publik yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Contact Person
Pradipta Indra Ariono, SH (082245551013)
Manajer Pembelaan Hukum dan Kebijakan Publik WALHI Jatim