Catatan Akhir Tahun WALHI Jawa Timur 2021

“Kapitalisme dan Otoriterisme Berbaur Dalam Perampasan Ruang Hidup”

WALHI Jawa Timur sebagai entitas dari WALHI yang mengusung tagline ”Selamatkan ruang hidup dan wilayah kelola rakyat,” lalu memperluasnya menjadi “Rumah gerakan rakyat,” sebagai sebuah kalimat penegasan bahwa WALHI dalam hal ini memantabkan jalan sebagai gerakan sosial. Sebagai sebuah gerakan tentu banyak tantangan yang akan dihadapi, terutama menghadapi situasi ekonomi politik yang semakin kompleks.

Kala kapitalisme semakin canggih, terbukti mereka terus mereproduksi diri menanggalkan ruang melalui waktu dengan perluasan geografi kapital tidak sebatas ruang fisik, namun kini telah menyasar ruang maya, bukankah yang dikatakan Harvey dalam New Imperialism benar-benar teruji. Ditambah semakin menguatnya authoritarianism, reformasi dianggap gerbang demokratisasi tampaknya tidak sepenuhnya benar. Mereka benar-benar mereorganisasi diri, terutama sisa-sisa Orde Baru baik konglomerat hingga militer, bahkan politisi oportunis dan ditambah para reformis gadungan yang semakin mencengkram dan mengakar, membuat rakyat semakin jatuh ke lembah ekploitasi kapital tanpa disadari.

Cita-cita mewujudkan demokrasi yang dalam bayangan seperti public sphere a la Habermas yang diterjemahkan dalam bentuk ruang demokrasi deliberatif, semakin jauh dari angan-angan. Bahkan sekedar berkelakar menegakkan bagaimana rakyat dapat mengakses ruang hidupnya, melalui wilayah kelolanya saja sudah sulit.

Di tengah rezim rakus sumber daya alam, setiap saat mengakselerasi perampasan ruang melalui eksploitasi masif, menciptakan bencana, ketakutan dan dominasi, menjadikan kekuatan eksklusi semakin kuat, mereka yang terpinggirkan semakin hilang dan lenyap. Menjadi terlunta-lunta, kehilangan alat produksinya, kehilangan masa depannya dan tentu ruang hidup di masa depan. Kini mereka harus benar-benar menjadi surplus populasi relatif yang mengisi setiap pos-produksi tetapi semakin teralienasi dan termarjinalkan.

Gerakan lingkungan bukan sekedar menanam, tetapi juga harus memikirkan bagaimana pola-pola eksploitasi terjadi, bagaimana analisis ekonomi politiknya, mengapa ada perampasan, mengapa ada konsesi, mengapa ada urbanisasi dan mengapa surplus populasi yang menghiasi industri semakin besar. Inilah mengapa berbicara lingkungan bukan sekedar ekosistem, tetapi meluas hingga berbicara bagaimana lingkungan hidup dan sosial-politis memiliki pertautan erat. Alat analisis dalam bingkai sosial-ekologis akan membaca bagaimana pertautan-pertautan ini, bukan sekedar ekonomi politik tetapi juga meminjam kerangka ekologi politis untuk membaca setiap krisis yang terjadi.

Catatan akhir tahun ini adalah sebuah refleksi yang terjadi sepanjang satu tahun lalu, di mana konflik sosial ekologis masih eksis dan semakin masif. Ditambah munculnya aneka regulasi dan kebijakan yang memfasilitasi peramasan dan eksploitasi, seperti kemunculan UU Cipta Kerja, UU Minerba dan aneka aturan yang tidak berpihak pada upaya mendorong bagaimana rakyat berdaulat atas ruang hidupnya, bagaimana alam juga mampu diakui keberadaannya bukan sekedar dipandang sebagai bahan mentah.

Jawa Timur adalah satu dari sekian distrik yang ada di Indonesia yang tengah mengalami perampasan ruang dan perentanan. Di Pesisir Selatan dieksploitasi untuk pertambangan tapi di satu sisi merupakan kawasan rawan bencana. Ruang perkotaan semakin meluas dan mengeksploitas kawasan pinggiran, bagaimana Surabaya semakin memperluas ruang gentrifikasi hingga kepinggiran dan merampas situs-situs penting. Munculnya eksploitasi karst, air, migas di Pantura dan Madura Kepulauan semakin memperentan kehidupan rakyat. Belum kita berbicara bagaimana rakyat-rakyat yang tak bertanah, baik dirampas perkebunan atau perusahaan negara terutama di kawasan hutan semakin merana dan tak menentu dan ketika bencana dijadikan objek kambing hitam kerusakan.

Masih banyak persoalan yang coba diungkap, akar persoalan lingkungan tak lain bukan institusi atau regulasi, tetapi siapa kelas yang berkuasa? Terutama melihatnya dalam kerangka struktur politik, baik pola rezim post-authoritarinism dan post-developmentalism sebagai paket dari reproduksi kapitalisme yang dijalankan dalam skema baru neoliberalisme koersif, perpaduan pemodal dan negara yang cara kerjanya supresif. Maka ke tahun 2022 akan menjadi tantangan berat bagi WALHI, di mana gerakan sosial ini akan diuji konsistensi dan ketahanannya, berkaca dengan kompleksitas tahun lalu.

Unduh File:

Catatan Akhir Tahun 2021-compressed

 

Adil dan Lestari