Hentikan Budidaya Sawit yang Merusak dan Pulihkan Ekosistem di Malang Selatan

Pada Desember 2019, Sanusi selaku Bupati Kabupaten Malang berujar akan mengembangkan budidaya sawit beserta pabrik pengolahannya untuk pengembangan energi biosolar dan biopremium. Ide besar itu bukan hal baru, mengingat wilayah Malang Selatan pernah dijadikan percontohan budidaya sawit oleh pihak swasta jauh sebelum itu, terutama pada periode 2012 sampai 2015. Tapi, rencana itu gagal total, karena minimnya produktivitas sawit, serta banyaknya petani yang dijadikan subjek uji coba mulai menyerah, karena rendahnya hasil dari budidaya sawit.

Jika seorang petani menanam sawit dan setiap panen perkilonya hanya mendapatkan 700-800 rupiah, maka yang didapatkan adalah kerugian, karena tidak setara dengan biaya perawatan yang tinggi, serta di bawah tegakkan sawit tidak bisa ditanami tanaman apapun. Selain itu, kala petani menyerah dan ingin membudidayakan tanaman lainnya ia harus membersihkan sawit, sementara biaya pembersihan itu mahal, petani perlu menyewa gergaji mesin beserta operatornya. Selekas pembersihan, tanah bekas sawit juga harus diolah lagi untuk penyuburan agar dapat ditanami, tentu saja membutuhkan biaya lagi. Hal ini membuktikan secara ekonomi sawit tidaklah ekonomis untuk petani.

Padahal wilayah Malang Selatan memiliki potensi yang besar untuk budidaya tanaman yang sifatnya baik untuk lingkungan dan menguntungkan secara ekonomi, seperti tanaman buah-buahan tropis. Ada tanaman seperti mangga, alpukat, nangka, durian, pete dan sirsak, yang sifatnya ia jangka panjang.Terdapat pula kelapa,kopi dan cokelat yang juga dapat menjadi selingan di antara tanaman jangka  panjang.

Tanaman tersebut memiliki fungsi ekonomi yang prospektif serta tidak terlalu membebani lingkungan, selain itu biaya perawatannya juga murah. Apalagi ada potensi lain yakni pariwisata berbasis alam yang bertumpu pada jasa lingkungan, jika terjaga maka potensi wisata alam juga akan meningkat. Pariwisata dan pelestarian kawasan merupakan wujud jasa lingkungan dari sebuah ekosistem lestari yang terkoneksi satu sama lainnya.

Sehingga rencana budidaya sawit skala masif di Malang Selatan dengan rencana luas area tapak budidaya sekitar 60.000 hektar, turut menjadi ancaman yang serius bagi ekosistem dan biodiversitas di Malang Selatan. Karena keberadaan sawit yang monokultur akan menghilangkan biodiversitas di wilayah tersebut.

Perlu diketahui jika wilayah Malang Selatan yang merupakan salah satu kawasan esensial, karena terdapat hutan lindung dengan biodiversitas pentingnya seperti adanya flora dan fauna khas, salah satunya ialah Lutung Jawa yang sudah langka dan menuju kepunahan.

Selain ancaman terhadap biodiversitas, keberadaan sawit akan mengancam existing dari kawasan hutan, patut diduga lahan seluas itu akan menyasar kawasan hutan yang seharusnya dilindungi dan dijaga vegetasinya. Kehilangan kawasan hutan berarti kehilangan pengikat (sekuestrasi) karbon, tentu hal ini akan menyebabkan lepasan (emisi) karbon menjadi meningkat dan menyumbang gas efek rumah kaca yang tinggi, sehingga jauh dari semangat internasional untuk melawan perubahan iklim.

Meski sawit diklaim oleh beberapa peneliti tidak akan membutuhkan banyak air, tetapi pada beberapa penelitian menyebutkan keberadaan sawit akan memperentan sumber mata air. Mengapa?

Karena sawit bukanlah pohon, ia memiliki akar yang pendek sehingga bukan termasuk tanaman yang sifatnya ia menyimpan dan merawat air, sehingga dengan budidaya skala masif dan sama saja untuk budidaya lainnya yang monokultur akan mendegradasi ekosistem dan mendorong adanya penurunan kualitas dan kuantitas “degradasi” mata air dalam jangka panjang.

Kita tahu, Malang Selatan didominasi oleh lahan kering dan menjadi langganan kekeringan. Pada warta media periode 2019-2020 saja ada 9 kecamatan yang terancam kekeringan setiap kemarau tiba, sementara ada 4 kecamatan yang menjadi langganan kekeringan yakni Sumberpucung, Sumawe, Donomulyo, dan Pagak. Lokasi tersebut beberapa merupakan wilayah yang akan dijadikan budidaya sawit.

Jika setiap kekeringan membutuhkan 5000-4000 liter air setiap harinya untuk satu desa dengan estimasi 10 truk, maka biaya yang akan dikeluarkan juga akan semakin besar. Kondisi ini bertolak belakang dengan rencana budidaya sawit yang justru akan mengancam upaya penuntasan kekeringan. Jika penuntasan logikanya hanya mengirim air bersih, lantas darimanakah air bersih didapatkan? Tentu upaya tersebut merupakan usaha sia-sia, meringankan beban kekeringan dengan menambah beban pada wilayah lainnya.

Karena seharusnya penuntasan kekeringan bukan sekedar menanam tapi juga perencanaan wilayah, seperti menjaga kawasan hutan yang masih ada dan merestorasi yang sudah kritis. Sehingga yang diusahakan Pemkab Malang seharusnya bukan budidaya sawit tetapi rehabilitasi dan restorasi kawasan hutan untuk mengembalikan jasa lingkungan agar stabil sebagai solusi dasar pengentasan kekeringan.

Melihat ancaman-ancaman tersebut, sebagai hasil dari intepretask dari asesmen wilayah partisipatif serta penilaian daya dukung lingkungan, maka rencana Pemkab Malang menjadikan wilayah Malang Selatan sebagai tempat budidaya sawit adalah kesalahan fatal, serta kebijakan tersebut akan menyebabkan bencana dikemudian hari, sebab akan meningkatkan kerentanan alam dan mempertinggi resiko bencana. Karena itu kami dari Aliansi Selamatkan Hutan Malang Seletan, meminta dan menyatakan kepada Pemkab Malang untuk:

  1. Membatalkan rencana budidaya Sawit di Malang Selatan karena bertentangan dengan daya dukung wilayah dan kondisi terkini kawasan Malang Selatan yang rentan.
  2. Membuat perencanaan tata ruang di wilayah Malang Selatan dengan tumpuan utama adalah kawasan perlindungan untuk menjaga jasa lingkungan.
  3. Merehabilitasi dan merestorasi kawasan hutan di Malang Selatan berbasis partisipasi
  4. Memilih alternatif ekonomi yang berkelanjutan yakni budidaya tanaman pohon buah-buahan tropis dan ekowisata yang lebih nyata menguntungkan untuk rakyat.
  5. Menjamin kehidupan rakyat agar mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berkelanjutan.