Persoalan hukum yang membelit tiga warga desa Alas Buluh, Wongsorejo, Banyuwangi merupakan peristiwa kriminalisasi yang terus menerus berulang di Indonesia, khususnya Jawa Timur. Ketiga orang tersebut yakni Ahmad Busi’in, H. Sugianto, dan Abdullah merupakan warga desa yang berjuang untuk menegakkan ha katas lingkungan hidup dan sehat. Pasalnya mereka dilaporkan ke pihak kepolisian dan kini tengah menghadapi persidangan di Pengadilan Negeri Banyuwangi karena dituduh melakukan penghadangan moda transportasi pengangkut tambang galian C milik PT. Rolas Nusa Tambang.
Apa yang dilakukan oleh ketiga warga tersebut secara objektif merupakan konsekuensi atas akumulasi tindakan-tindakan PT. RNT yang menganggu kehidupan mereka dengan menyebabkan beberapa kerusakan lingkungan di sekitar desa yang berdampak pada warga desa.
Dalam kasus yang dihadapi oleh ketiga warga tersebut, mereka dikenakan pasal 162 UU Minerba yang bermuatan pokok yakni hukuman bagi seseorang yang menghalang-halangi tambang yang berizin. Pasal tersebut sangat bermasalah secara substansi, karena seringkali menyasar pada warga yang protes atau berjuang dalam melindungi wilayah mereka dari ancama kerusakan lingkungan akibat pertambangan. Selain itu, penerapan pasal tersebut juga tidak melihat proses sampai mengapa orang-orang tersebut melakukan penghadangan.
Pasal 162 UU Minerba merupakan pasal bermasalah yang secara keseluruhan melengkapi kecacatan UU Minerba yang kaku, tidak partisipatif dan hanya menguntungkan segelintir orang. Jika UU tersebut tidak bermasalah sejak awal tidak akan ada obral izin tambang, pelanggaran usaha tambang sampai kerusakan lingkungan masif, tentu saja tidak aka nada konflik dan kriminalisasi. UU Minerba sangat bertolak belakang dengan UU PPLH, sebuah aturan yang saling berkaitan tetapi dari paradigma sudah berkontradiksi. Seharusnya UU soal lingkungan hidup menaungi Minerba bukan dipisah-pisah, sehingga penegakkan hukum lingkungan akan lebih tepat sasaran.
Sehingga apa yang dialami oleh warga Alas Buluh yang berjungan untuk lingkungannya bukan hanya sebab kriminalisasi oleh pihak tertentu, tetapi juga diakibatkan oleh tata aturan yang kacau, tidak memiliki visi keberlanjutan dan tidak demokratis. Kini ketiga warga tersebut tengah menghadapi putusan siding atas kriminalisasi yang terjadi kepada mereka. Mereka dituntut 6 bulan penjara atas aksi menyelamatkan lingkungan. Sementara tambang dibiarkan begitu saja, tidak pernah dievaluasi, ditindak dan dihukum. Berizin atau tidak berizin selama itu merusak kawasan, berdampak pada masyarakat dan mengakibatkan degradasi lingkungan adalah wujud dari pelanggaran konstitusi dan bentuk perusakan lingkungan hidup.
Jika kondisi ini terus dilakukan, dan ketiga orang tersebut dipenjara karena aksi mereka, maka itu adalah catatan buruk bagi hukum Indonesia yang akan semakin kelam dan catatan buruk bagi pemerintah baik pusat, provinsi dan kabupaten Banyuwangi. Secara terbuka kami dari WALHI JAWA TIMUR menyatakan:
- Mendukung penuh perjuangan warga Desa Alas Buluh Wongsorejo dalam perjuangan mereka menegakkan ha katas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
- Menyerukan bebaskan ketiga warga yakni Ahmad Busi’in, H. Sugianto, dan Abdullah, karena memperjuangkan ha katas lingkungan, bukan tindakan criminal.
- Menuntut pemerintah baik pusat maupun Kabupaten Banyuwangi untuk menutup tambang galian C di Alas Buluh, Wongsorejo, Banyuwangi dan juga harus mengevaluasi tambang galian C lainnya dan menindak jika memang melakukan pelanggaran atas aturan lingkungan yang berlaku.
- Menyerukan semua elemen untuk bersolidaritas dan mendukung perjuangan warga Alasbuluh
Narahubung:
Wahyu Eka. S (Manajer Kampanye Walhi Jawa Timur)
(082145835417)