
Semenjak 2006 lumpur lapindo terus mengeluarkan material seperti air, minyak, gas dan lumpur hingga rata-rata 180.000 meter kubik atau setara 72 kolam renang olimpiade per hari, dengan semburan gas dan uap yang dikeluarkan tingginya kira-kira mencapai 10 meter. Namun, hasil riset ilmiah dari University of Oslo berjudul, Relevant Methane Emission to the Atmosphere From a Geological Gas Manifestation, Scientific Reports oleh Mazzini, et. al. Menunjukan fenomena lain yang hingga kini belum ditunjukkan kepada publik. Pada rilisan ini, semburan lumpur panas di Sidoarjo atau dikenal Lumpur Lapindo disebut telah mengeluarkan emisi metana terbesar yang pernah tercatat dari satu manifestasi gas alam.
Dalam analisis hasil monitoring selama 10 tahun yang dilakukan oleh para peneliti, dinyatakan bahwa fenomena geologi ini dipicu oleh tekanan fluida yang diklaim berasal dari batuan sedimen bersuhu tinggi yang diakibatkan interaksi dengan gunung api magmatik di sekitarnya. Oleh karena itu, lumpur Lapindo dianggap sebagai manifestasi permukaan dari sistem sedimen/hidrotermal hibrida.
Tim riset yang dikoordinasikan oleh the Centre for Earth Evolution and Dynamics (University of Oslo) yang berkolaborasi dengan the Istituto Nazionale di Geofisica e Vulcanologia of Rome, the Netherlands Institute for Space Research of Utrecht, dan Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS) menggunakan penilaian kombinasi dari pengamatan “ground-based” dan satelit (TROPOMI) untuk mengukur jumlah gas yang dikeluarkan dari semburan lumpur panas lapindo ke atmosfer. Dari penilaian ini ditemukan bahwa total metana yang dikeluarkan dari semburan lumpur lapindo mencapai 100.000 ton per tahun. Pengukuran ini adalah emisi tertinggi yang pernah terekam dalam eksperimen kemunculan gas alam dari satu situs/tempat.

Hasil yang dipublikasikan pada februari 2021 ini, menunjukan bahwa perkiraan emisi metana geologi global berbasis radiokarbon di inti es sejak era pre-industrial, yang diperkirakan berada pada kisaran 100.000 sampai 5.400.000 ton CH4 per tahun selama ini, mungkin terlalu kecil atau men-underestimate jumlah sesungguhnya, karena jumlah metana yang dikeluarkan oleh satu manifestasi tunggal di Lumpur Lapindo saja jumlahnya setara dengan jumlah minimum asesmen/studi berbasis inti es yang berasal dari seluruh planet. Emisi gas metana dari Lumpur Lapindo dianggap konsisten secara proporsional dengan tingkat aliran metana (yang disebut “faktor emisi”) yang biasanya dikeluarkan oleh sumber-sumber gas alam lainnya seperti gunung lumpur atau rembesan dari sistem metana besar. Jika semua lokasi-lokasi sumber emisi ini digabungkan secara global, diperkirakan total keluaran metana planet ini mencapai sekitar 40-50 juta ton per tahun.
Perubahan Iklim dan Bencana Hidrometeorologi

Di Jawa Timur secara kumulatif berdasarkan perhitungan dari catatan BNPB dari tahun 2013 sampai pada tahun 2019 telah terjadi 2676 bencana hidrometeorologi. Rinciannya adalah banjir sebesar 743 kasus, longsor 514 kasus, kekeringan 66 kasus, kebakaran hutan 361 kasus, gelombang pasang 22 kasus dan angin kencang sebanyak 970 kasus. Jika dilihat dari pendekatan pendekatan per kasus, setiap tahunnya ada peningkatan jumlah bencana, dari tahun 2013 dan 2014 ada sekitar 233 kasus, lalu meningkat menjadi 297 kasus pada tahun 2015, semakin meningkat lagi pada tahun 2016 sebesar 404 kasus, 2017 sekitar 434 kasus, 2018 bertambah menjadi 455 kasus dan semakin pesat peningkatannya pada tahun 2019 dengan jumlah kasus sebesar 620 kasus.
Lantas bagaimana relasinya?
Bencana Hidrometeorologi disebabkan oleh perubahan iklim, Menurut Organisasi Meteorologi Dunia, ukuran iklim termasuk, tetapi tidak terbatas pada suhu, curah hujan, angin, ozon, sifat awan, gas rumah kaca, dan tekanan udara (World Meteorological Organization, 2018). Efek rumah kaca adalah istilah yang umum digunakan untuk menggambarkan cara alami atmosfer bumi menjaga planet tetap hangat. Namun, kekuatan efek rumah kaca telah meningkat pada tingkat yang mengkhawatirkan dan terjadi peningkatan ambien suhu adalah akibat langsung dari efek rumah kaca yang lebih kuat dalam konteks peningkatan emisi karbondioksida. Saat suhu naik, mereka mendorong perubahan iklim lainnya dan ada sejumlah efek hidrometeorologi bertingkat, termasuk peningkatan penguapan air permukaan bumi, peningkatan curah hujan, perluasan air laut saat air menghangat, dan mencairnya gletser yang juga berkontribusi pada kenaikan permukaan laut (Gutnik & Roth, 2018).
Selain peningkatan suhu dan terjadinya gelombang panas yang berbahaya, kenaikan permukaan laut semakin cepat, dan jumlah kebakaran hutan yang memecahkan rekor terus bertambah (Meyer, 2017). Saat ini, peningkatan kekeringan parah ada di setiap benua, dan peristiwa curah hujan ekstrim telah meningkat secara global (Westra, Alexander & Zwiers, 2013). Variasi atmosfer dan samudra menentukan setiap peristiwa dan kejadian tersebut, sebagai intensitas peristiwa hidrologi. Perubahan iklim yang berkelanjutan kemungkinan besar akan mengubah pola bahaya hidrometeorologi, banyak di antaranya disebut sebagai bencana alam (perpaduan dengan aktivitas manusia, antropogenik) yang mengakibatkan peristiwa yang lebih sering dan lebih intens seperti badai yang lebih kuat dan banjir yang lebih sering (Fountain, 2017).
Metana dan perubahan iklim

Dalam artikel akses terbuka yang baru-baru ini diterbitkan di Review of Geophysics, Dean et al. (Dean et al, 2018) Menjelaskan gas rumah kaca, seperti metana dihasilkan oleh proses alam dan aktivitas manusia. Meskipun ada banyak perhatian yang diberikan untuk mengekang emisi antropogenik, perubahan iklim kemungkinan besar akan meningkatkan produksi metana alami. Cara sistem biologis, geokimia, dan fisik memengaruhi konsentrasi metana dan menjelajahi bagaimana tingkat metana dalam sistem alam dapat berubah dalam iklim yang memanas.
Metana (CH4) adalah gas rumah kaca yang jauh lebih kuat daripada karbondioksida (CO2), 34 kali lebih kuat jika dibandingkan selama periode 100 tahun. Sementara konsentrasi metana di atmosfer sekitar 200 kali lebih rendah dari karbondioksida, metana bertanggung jawab atas 60% pemancaran radiasi setara yang disebabkan oleh karbondioksida sejak dimulainya revolusi industri. Keberadaan metana di atmosfer juga dapat mempengaruhi kelimpahan gas rumah kaca lainnya, seperti ozon (O3), uap air (H2O), dan karbondioksida (Dean, 2018).
Dengan fakta yang ditampilkan, bahwa metana merupakan salah satu bagian dari gas efek rumah kaca yang turut meningkatkan kerentanan iklim, melalui konsentrasi di atmosfer dan menyebabkan peningkatan suhu di bumi, sehingga mengakibatkan aneka persoalan, seperti musim yang tidak konsisten, siklus hidrometeorologi yang terganggu dan tentu meningkatkan kerentanan dari bahaya alam. Kondisi ini menampilkan satu gambaran bahwa perubahan iklim yang di sini disebabkan semakin besarnya gas rumah kaca di mana emisi terlepas menjadi sangat besar, serta dipengaruhi oleh daya dukung bumi yang kehilangan pengikat karbon alami atau retaknya proses sekuestrasi. Menunjukan bahwa ekosistem telah rusak, apalagi dalam contoh kasus Jawa Timur banyak tutupan hutan yang hilang beralih fungsi, baik kawasan pertambangan, perumahan, pertanian dan peruntukan lainnya telah memperentan bahaya-bahaya alamiah dan bencana hidrometeorologi.
Kesimpulan
Temuan dari Mazzini et al (2018) tentang Lapindo yang menghasilkan konsentrasi metana terbesar di dunia menunjukan bahwa situs tersebut menyumbang salah satu perubahan iklim. Kondisi ini mengindikasikan bahwa bencana hidrometeorologi yang terjadi di Indonesia dan khususnya di Jawa Timur selain dipengaruhi oleh alih fungsi lahan, deforestasi dan perencanaan ruang yang kacau, juga turut diperentan dengan keberadaan semburan Lapindo yang belum berhenti sampai sekarang. Situasi ini menunjukan bahwa bencana man made disaster sebagai manifestasi antropogenik, melalui eksploitasi banal yang tidak mengindahkan daya dukung lingkungan dan keselamatan rayat, serta abainya pemerintah telah menjadikan kerentanan alam meningkat.
Hal ini menjadi persoalan yang perlu disorot dengan banyaknya bencana alam dan bencana yang diakibatkan manusia melalui eksploitasi seperti pertambangan, telah menunjukan sebuah fakta bahwa memang pemerintah layak meninjau ulang aneka izin dan berani mencabut aneka kebijakan serta regulasi yang turut memperentan potensi bencana. Pemerintah pun harus memikirkan keberlanjutan lingkungan hidup daripada membanggun ekonomi makro seperti pertambangan yang ternyata berbahaya bagi kehidupan rakyat.
Referensi
Dean, J. F., Middelburg, J. J., Röckmann, T., Aerts, R., Blauw, L. G., Egger, M., … & Dolman, A. J. 2018. Methane feedbacks to the global climate system in a warmer world. Reviews of Geophysics, 56(1), 207-250.
Dean, J. (2018), Methane, climate change, and our uncertain future, Eos, 99, https://doi.org/10.1029/2018EO095105. Published on 11 May 2018.
Fountain, Henry. 13 Desember 2017. Scientists Link Hurricane Harvey’s Record Rainfall to Climate Change. The New York Times
Gutnik, A & Roth, M. 2018. Disability and Climate Change: How climate-related hazards increase vulnerabilities among the most at risk populations and the necessary convergence of inclusive disaster risk reduction and climate change adaptation. Working Paper
Mazzini, A., Sciarra, A., Etiope. E., Sadavarte, P., Houweling, S., Pandey, S., Husein, A. 2021. Relevant methane emission to the atmosphere from a geological gas manifestation, Scientific Reports, v. 11, no. 1, p. 4138. www.nature.com/articles/s41598-021-83369-9
Meyer, Robinson. 7 September 2017. Has Climate Change Intensified 2017’s Western Wildfires? The Atlantic.
Westra, S., L.V. Alexander & F.W. Zwiers. 2013. Global Increasing Trends in Annual Maximum Daily Precipitation. J. Climate, 26, 3904–3918
World Meteorological Organization. 2018. Essential Climate Variables