Persoalan konflik sosial yang diakibatkan oleh persoalan tata kelola dan tata kuasa lingkungan hidup, menjangkiti Provinsi Jawa Timur. Aneka persoalan hingga kini tak kunjung selesai, malahan semakin bertambah. Korbannya pun adalah masyarakat yang sehari-hari kehidupannya sudah rentan. Kami mencatat bahwa ada beberapa persoalan yang perlu dilihat oleh pemerintah baik pusat, provinsi maupun kabupaten. Pertama persoalan perluasan ruang industri ekstraktif, kedua kriminalisasi rakyat dan ketiga bencana ekologis.
Pertama, perluasan industri ekstraktif, berdasarkan catatan dari kami dan jaringan akar rumput, memperlihatkan jika Jawa Timur semakin liar dengan menetapkan beberapa kawasan rentan bencana dan kawasan pangan untuk beralih fungsi menjadi wilayah pertambangan atau penunjang pertambangan, selain itu juga mencuat isu perkebunan sawit. Kami melihat baik dari wilayah pesisir utara, tengah dan selatan memiliki potensi penyempitan ruang hidup.
Di wilayah pesisir utara Jawa perubahan RTRW yang dilakukan oleh beberapa kabupaten salah satunya Tuban dan Lamongan turut mengancam keberadaan wilayah-wilayah esensial seperti karst, padahal dalam dokumen KLHS wilayah Tuban dan Lamongan direkomendasikan untuk menyelamatkan dan melindungi kawasan karst mereka, tetapi secara praktik ternyata RTRW yang dibuat memiliki celah untuk mendukung eksploitasi kawasan karst. Selain itu, keberadaan migas dan aneka infrastrukturnya juga difasilitasi oleh aturan tersebut, sehingga berpotensi untuk merampas ruang hidup rakyat dan kawasan pangan dengan dalih kepentingan nasional, seperti yang terjadi di Tuban.
Selain dua wilayah tadi, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil juga tengah terancam. Di wilayah Gresik yakni di Pulau Bawean rencana penambangan pasir skala besar untuk proyek kilang minyak Tuban akan memaksa perusakan masif ekosistem pesisir Bawean dan mengancam keberadaan flora dan fauna. Sementara di Sumenep tengah terancam karstnya oleh rencana penambangan fosfat, padahal karst di Sumenep menyimpan jasa lingkungan yang baik, sehingga ketika dieksploitasi akan semakin memperentan kondisi lingkungan di sekitarnya. Ancaman menurunnya debit air dan aneka kerusakan lainnya tengah menghampiri Sumenep.
Sementara di wilayah Pesisir Selatan, pasca berjalannya Tumpang Pitu di Banyuwangi, pemerintah berencana untuk memperluas ruang eksploitasi mereka dengan menyasar Trenggalek. Kawasan karst Trenggalek yang merupakan area penting karena menjadi kawasan hidrologi dan penyerab karbon akan terancam dengan rencana penambangan emas yang akan memakan 12.813 hektar. Selain ancaman hilangnya karst, rencana penambangan emas juga turut memperentan keamanan pangan karena areanya akan menyaplok kawasan pertanian. Tidak cukup di situ keberadaan tambang emas di Trenggalek akan menghancurkan beberapa warisan budaya dan sejarah yang berada di sekitar kawasan karst, seperti situs kampak.
SelainĀ di wilayah Trenggalek, ancaman pertambangan dan perkebunan sawit juga menyasar kawasan Pesisir Selatan Malang. Kita tahu kawasan Pesisir Selatan Malang merupakan wilayah penting di Selatan Jawa sebagai penyeimbang ekosistem, tempatnya hewan dan tumbuhan langka serta menjadi kawasan yang menjaga emisi karbon. Tidak cukup di Malang Selatan sepanjang pesisir Lumajang dan Jember juga tengah terancam pertambakan besar udang yang mengancam landskap pesisir karena menempati kawasan konservasi, dan berpotensi mengubah landskap tersebut. Ditambah rencana pertambangan pasir besi yang dihidupkan kembali di Jember, Paseban, berpotensi menghancurkan ekosistem pesisir dan pangan. Tidak cukup di situ aneka ekslpoitasi karst di Puger, Jember juga mengancam keberadaan hidrologi karst.
Kedua, kriminalisasi rakyat. Persoalan kriminalisasi dan intimidasi menjadi persoalan yang sering terjadi ketika seorang rakyat berjuang untuk melindungi wilayahnya. Sama halnya pada konteks petani hutan, di mana mereka adalah kelompok marjinal yang sering disalahkan ketika ada kerusakan hutan, padahal secara praktik mereka merupakan garda penting dalam penyelamatan hutan. Dalam pelaksanaan program Perhutanan Sosial, selama periode 2020-2021 telah terjadi tiga peristiwa ancaman dan intimidasi, yakni di Banyuwangi dua kasus dan Jember satu kasus. Mereka diganggu dan diancam ketika mengelola hutan berdasarkan SK PS yang mereka kantongi. Masih di wilayah timur, yakni Banyuwangi Utara, tiga orang yang berjuang untuk melindungi wilayah mereka dari gempuran galian C dikriminalisasi menggunakan UU Minerba. Padahal mereka hanya melakukan upaya melindungi kampong halaman mereka dari kerusakan, sehingga secara konstitusi dalam pasal 28 UUD NRI 1945 mereka berhak. Tetapi praktiknya mereka diancam dan dikriminalisasi, sementara tambang yang merusak dibiarkan begitu. Ancaman-ancaman seperti itu sebelumnya sudah dialami warga Tumpang Pitu yang mereka dikriminalisasi karena menolak pertambangan dan warga Sepat, Surabaya yang menolak alih fungsi waduk Sepat, Lidah Kulon, Surabaya.
Ketiga, Bencana Ekologis. Persoalan bencana ekologis itu sangat terkait dengan penataan ruang yang dilakukan oleh pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Belum ada komitmen dalam perencanaan ruang yang benar-benar berorientasi pada keselamatan rakyat. Bencana hidrometeorologi adalah bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim, serta kerentanan-kerentanan yang didukung oleh alih fungsi kawasan resapan dan tangkapan air. Seperti adanya banjir dan longsor berada di kawasan yang wilayahnya mengalami deforestasi serta beralih fungsi menjadi kawasan pertambangan, pariwisata dan permukiman. Kondisi ini memperentan daya dukung lingkungan dan keselamatan rakyat. Tetapi hal tersebut tidak pernah dilihat sebagai persoalan yang serius dan cenderung disepelekan. Kerentanan wilayah oleh adanya bencana geologis seperti gempa bumi dan volkanologis juga diakibatkan oleh rusaknya daya dukung lingkungan, seperti hilangnya kawasan hutan sehingga menambah kerentanan yang akan dihadapi rakyat. Seperti di wilayah selatan Jawa Timur yang rentan diguncang gempa dan tsunami, serta telah ditetapkan sebagai wilayah rentan bencana, tetapi secara praktik malah diobral untuk kepentingan investasi ekstraktif. Sehingga kondisi tersebut sangat kontraproduktif.
Atas dasar di atas kami merekomendasikan kepada pemerintah untuk segera menghentikan aktivitas eksploitasi alam dengan mengobral izin pertambangan di kawasan pesisir selatan ataupun utara. Berkomitmen menyelesaikan konflik dengan berpihak pada rakyat, menjamin keselamatannya dan menjamin hak bersuaranya. Melakukan kajian lingkungan hidup strategis dan menata ulang rencana tata ruang dengan berdasar pada kerentanan wilayah dan daya dukung, serta lebih mengutamakan pelestarian daripada eksploitasi. Mencabut UU Cipta Kerja, Minerba dan Air karena berpotensi memperpanjang konflik dan memperbanyak bencana. Membuat regulasi tentang perlindungan warga negara yang berjuang dalam melindungi wilayahnya dari kerusakan, sehingga tidak ada kriminalisasi yang mengancam upaya mereka dalam menyelamatkan ruang hidupnya.