Banyaknya kasus perampasan ruang dengan dibukanya aneka izin untuk eksploitasi alam, lalu difasilitasi oleh serangkaian aturan eksploitatif seperti UU Minerba dan Cipta Kerja, telah membuka keran masif munculnya konflik. Kita tahu, khususnya di Jawa Timur konflik agraria dan lingkungan masih menjadi topik yang hingga kini belum terselesaikan. Jika kita membuka mata sejenak, berjalan-jalan dari wilayah timur Banyuwangi hingga Barat sampai di ujung Pacitan, aneka eksploitasi masih masif dengan kacaunya tata kelola ruang yang tidak pernah melihat daya dukung lingkungan, lokalitas serta kerawanan bencana. Pemerintah baik pusat hingga provinsi Jawa Timur sampai level kabupaten/kota hanya melihat alam sebagai komoditas, watak khas seorang developmentalis. Selain itu rendahnya partisipasi masyarakat dalam terlibat dalam sebuah penentuan kebijakan hingga tidak didengarkannya suara rakyat di wilayah yang rusak, meski harus aksi berkali-kali, audiensi dan lain-lain, ketulian pemerintah semakin menujukkan wajah otoriterisme baik level pusat hingga daerah.
Produk hasil gagalnya reformasi yang dibajak oleh oligarki berakibat pada rendahnya akses masyarakat dalam pemerintahan, diabaikannya suara mereka dan tentu aneka pelanggaran HAM akan semakin masif. Maraknya politik uang selama pemilu, munculnya ijon politik tambang dan eksploitasi alam, merupakan wujud politik oligarkis yang secara tidak langsung menjadi ancaman bagi rakyat, terlebih pada konteks pemenuhan HAM dan perlindungan wilayah kelolanya. Produk-produk gagal politik oligarkis juga didukung oleh pembodohan selama bertahun-tahun tentang pemilu adalah mekanisme suci untuk bersuara. Tapi yang tidak dipahami adalah untuk sampai menuju sampai pada pemilu ada prosesnya, seperti bagaimana seorang calon itu muncul? Siapa yang mendorong? Kepentingannya apa? Tidak perah ada proses demikian, watak otoriterisme dilanggengkan melalui penciptaan kontrol atas kehidupan, melalui pembentukan kepatuhan dan menegaskan status quo. Baik melalui aparat kekerasan hingga aparatur akademis untuk menundukan dan mengontrol populasi, bahkan sampai pada pilihan terkecil serta privatnya.
Menuju hari HAM pada 10 Desember 2020 kita disuguhkan oleh aneka kecacatan dan bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan untuk merampas hak rakyatnya sendiri. HAM adalah sebuah entitas yang termaktub dalam UUD 1945 dan negara sebagai sebuah organisasi merupakan wadah yang harusnya menjamin penerapan dan penegakannya untuk seluruh rakyat tanpa terkecuali. Tapi situasi tersebut memang benar-benar tidak ada, khususnya di Jawa Timur. Masih adanya perampasan, kriminalisasi pada rakyat, terlebih mereka merupakan pembela HAM, menjadi bukti faktual bagaimana negara yang dijalankan oleh pemerintah Jokowi-Amin tidak benar-benar menjalankan amanah konstitusis, salah satunya menjamin dan memenuhi HAM. Berikut bentuk-bentuk pelanggaran HAM di Jawa Timur untuk konteks lingkungan dan agraria:
1. Masih tidak diakuinya kawasan kelola rakyat sehingga menghadirkan konflik berkepanjangan. Hal ini masih terjadi di Pasuruan, Blitar, Banyuwangi dan Malang. DI Pasuruan hingga hari ini warga di 11 desa di dua kecamatan yakni Grati dan Nguling yang tergabung dalam Forum Komunikasi Tani Antar Desa (FAKTA) hingga kini masih berhadapan dengan TNI AL, karena wilayah permukimannya diklaim secara sepihak. Serupa juga dengan di Blitar, hingga kini warga Ponggok masih berjuang mendapatkan haknya, karena tanahnya diklaim secara sepihak oleh TNI AU. Lalu di Bongkoran, Wongsorejo, Banyuwangi petani yang tergabung dalam OPWB dan OPPWB hingga kini masih berjuang mendapatkan pengakuan lahan dari negara. Sementara di Pakel, Licin, Banyuwangi, warga yang tergabung dalam Rukun Tani Sumberejo Pakel masih bertahan dalam mereklaim kembali tanah yang diklaim oleh PT. Bumisari. Sementara di Malang Selatan hingga kini baik di Kalibakar, Tegalrejo dan wilayah yang berkonflik dengan PTPN, Perhutani dan Militer karena lahannya diklaim, masih belum mendapatkan kepastian kapan hak mereka diakui.
2. Eksploitasi tambang semakin meluas di Jawa Timur. Daya eksplosif industri ekstraktif masih menjadi yang dominan, hal ini terekam dengan rencana pertambangan di beberapa wilayah. Terekam ke depan di Trenggalek akan ada pertambangan emas dengan luas konsesi mencapat 29.969 hektare, lebih luas dari Tumpang Pitu, Banyuwangi. Di Pacitan juga mulai banyak bermunculan industri ekstraktif. Artinya di sepanjang pesisir selatan Jawa Timur akan dieksploitasi masif tanpa memikirkan kerawanan bencana, sebagaimana disampaikan oleh LIPI dan ahli kebencanaan lainnya.Kondisi ini dapat dilihat dari munculnya pembangunan Jalur Lintas Selatan, Pelabuhan hingga Bandara yang secara pola erat kaitannya dengan upaya pembukaan kawasan untuk eksploitasi. Sementara itu di Banyuwangi, khususnya Tumpang Pitu eksploitasi masih berjalan, ke depan akan melakukan perluasan, sehingga tentu akan semakin mendegradasi kemampuan adaptif alam dalam menghadapi aneka bencana. Belum lagi mulai munculnya kembali wacana pertambangan pasir besi di selatan Lumajang dan Jember, semakin menegaskan betapa brutalnya konteks eksploitasi ekstraktif yang akan semakin menghancurkan kehidupan rakyat.
3. Petaka proyek strategis nasional. Kehidupan warga akan semakin terusik dengan wacana pembangunan masif untuk eksploitasi dengan kedok kepentingan negara. Apalagi UU Cipta Kerja semakin memfasilitasi aneka perampasan. Masih ingat dengan proyek kilang minyak Tuban yang melahap lahan produktif rakyat, sampai munculnya kriminalisasi pada tiga warga pembela HAM yang menolak pembangunan kilang minyak. Ternyata dampaknya tidak hanya di Tuban, tetapi juga menyangkut di Bojonegoro dan selatan Tuban yang wilayahnya dieksploitasi dengan produksi migas, Lamongan yang RTRWnya baru dirubah yang akan dilewati aneka infrastruktur migas. Dan terakhir Gresik, khususnya di pulau Bawean, di mana pantainya akan ditambang guna kepentingan reklamasi di Tuban.
4. Maraknya kriminalisasi terhadap pembela HAM. Kriminalisasi seakan menjadi kata yang sering didengar dalam perjuangan mempertahankan hak atas hidup. Sepanjang tahun ini ada beberapa pembela HAM yang harus direpresi hingga dikriminalisasi karena mempertahankan ruang hidupnya. Dimulai dari petani hutan di Bayu, Songgon, Banyuwangi, yang tengah berjuang menjalankan program Perhutanan Sosial, namun hingga kini urung terlaksana karena arogansi Perhutani. Petani tersebut dikriminalisasi karena memungut ranting bekas tebangan Perhutani, padahal kayu tersebut tergeletak selama beberapa hari. Namun pihak Perhutani setempat malah melaporkan ke polisi dan aneh polisi dengan aparat lengkap menangkap petani tersebut bak teroris. Selanjutnya, ada tiga warga di Alasbuluh, Wongsorejo, Banyuwangi yang tergabung dalam Formalin dinyatakan sebagai tersangka dan bahkan akan diadili karena dianggap menghalangi pertambangan. Padahal mereka hanya melakukan protes untuk menolak adanya pertambangan galian C yang merusak jalan dan berpotensi merusak lingkungan mereka. Pemanggilan warga Tumpang Pitu yang melakukan aksi tolak tambang, beberapa warga mengalami bentuk intimidasi salah satunya dipanggil menjadi saksi atas tindakan yang sebenarnya mereka tidak lakukan, beberapa orang dianggap sebagai provokator hingga bertanggung jawa atas kerusuhan saat aksi pada medio Maret, sebenarnya yang memicu kerusuhan adalah warga pro tambang. Terakhir pemanggilan saksi para korlap aksi tolak UU Cipta Kerja, baik di Surabaya dan Jember. Keseluruhan rangkuman ini menunjukan bahwa pembela HAM masih rentan dibungkam atas aksi-aksi mereka dalam memperjuangkan hak-haknya.
5. Tidak adanya komitmen dalam melindungi wilayah esensial. Hal ini tampak dari kebijakan yang akhir-akhir ini dijalankan oleh pemerintah, di mana mereka banyak mengubah paradigma perlindungan kawasan menjadi pemanfaatan. Seperti proyek geothermal yang merupakan bentuk pemaksaan atas situasi, di mana proyek energi terbarukan ini tak lebih dari upaya memfasilitasi eksploitasi investor dan pemain lama di bidang energi dan tambang. Mereka difasilitasi untuk melakukan eksploitasi di wilayah lindung, seperti yang terjadi di Arjuno Welirang tanpa melihat daya dukung dan potensi kebencanaannya. Selanjutnya mereka memaksa merubah status kawasan demi adanya eksploitasi geothermal dan wisata, sebagaimana yang terjadi di Ijen, Banyuwangi. Kondisi ini semakin miris dengan adanya pembangunan infrastruktur yang ditujukan untuk menyokong proyek kawasan ekonomi khusus, seperti yang tergambar di Batu dan Malang, sehingga memunculkan pembangunan yang serampangan bahkan mengancam mata air, sebagaimana yang terjadi di kota Batu, sebagai contoh Kasinan, Gemulo, Umbulan dan wilayah rentan lainnya.
Ringkasan di atas merupakan bentuk-bentuk aneka abainya negara hingga perangkat di bawahnya atas pemenuhan, penjaminan dan perlindungan HAM di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Perjuangan dalam menjalankan politik HAM akan semakin terjal jika oligarki masih berkuasa, serta tidak ada upaya serius dalam upaya transformasi sosial dalam merebut kembali demokrasi.
Adil dan Lestari