Angin Timur Pamitan: Dampak Perubahan Iklim Menampar Masyarakat Pesisir Surabaya

Sudah puluhan tahun, belum pernah merasakan gelombang ombak sedahsyat itu, tsunami! tsunami! Karena aku kira waktu itu terjadi Tsunami. Banyu laut munggah sak nduwure tanggul, gede tenan ombake, prahu-prahu sampek amblas.”

Begitulah ungkapan masyarakat dan para nelayan Dusun Nambangan dan Dusun Cumpat, Kelurahan Kedung Cowek, setelah diamuk ombak besar pada Rabu, 12 November 2020. Fenomena ini semakin menambah catatan kelam dampak perubahan iklim yang begitu nyata menampar masyarakat.

 

Tentang Climate Change (Perubahan Iklim)

Perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia (Kementerian Lingkungan Hidup, 2001).

IPCC (2001) juga menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih). Selain itu juga diperjelas bahwa perubahan iklim mungkin karena proses alam internal maupun ada kekuatan eksternal, atau ulah manusia yang terus menerus merubah komposisi atmosfer dan tata guna lahan.

Namun Istilah perubahan iklim sering digunakan secara tertukar dengan istilah ‘pemanasan global,’ padahal fenomena pemanasan global hanya merupakan bagian dari perubahan iklim, karena parameter iklim tidak hanya temperatur saja, melainkan ada parameter lain yang terkait seperti presipitasi (proses turunnya air ke permukaan bumi dalam bentuk hujan), kondisi awan, angin, maupun radiasi matahari.

Mengenai perubahan iklim, hampir seluruh negara di belahan dunia terkena dampak perubahan iklim. Selain banyak dampak kerugian yang disebabkan oleh perubahan iklim, perubahan iklim juga sangat susah untuk di atasi. Salah satu di negara kita adalah peristiwa di Surabaya, di mana puluhan kapal nelayan hancur akibat gelombang ombak yang mendadak besar.

Kronolologi Amukan Ombak di Kampung Nambangan

Menurut masyarakat setempat dalam istilah jawa, fenomena ini oleh para leluhur disebut ‘Angin Timur Pamitan.’ Namun peristiwa 12 November 2020 kemarin adalah angin timur pamitan yang paling parah dari tahun-tahun biasanya. Pada tahun-tahun biasanya selalu ada perahu yang hancur karena sapuan ombak, namun jumlahnya tidak sampai lebih dari 5 perahu. Sedangkan peristiwa kemarin, sampai 55 perahu hancur bersisa serpihan kayu.

Kejadian berawal dari angin kencang dan gelombang tinggi yang dirasakan secara tiba-tiba oleh para nelayan pada Tanggal 11 November, sehingga pada Pukul 19.00 WIB (malam hari) para nelayan sudah naik ke perahu untuk membuang air laut yang mulai masuk perahu. Kemudian angin semakin kencang dan ombak semakin besar pada keesok harinya Tanggal 12 November, Pukul 13.00 WIB (siang hari). Dari siang itu, para nelayan mulai kuwalahan membuang air yang masuk ke perahu. Hingga puncaknya pada malam harinya Pukul 19.00 WIB, di mana ombak mulai naik di atas perahu. “Ombaknya sangat besar dan tinggi, mungkin sekitar 2,5 Meter di atas perahu tingginya” ucap Pak Syukron salah satu nelayan yang mengalami amukan ombak secara langsung di atas perahunya.

Detailnya adalah perahu dihantam ombak, kemudian tergulung menabrak tanggul, dan perahu menjadi hancur. Ada juga yang perahunya langsung tenggelam karena dimakan ombak, dan menabrak bebatuan. Paling banyak adalah ketika ombak datang dari laut, kemudian bertabrakan dengan ombak sebelumnya, dan perahu menjadi arena tabrakan ombak sehingga perahu menjadi rusak.

Meski tidak ada korban jiwa, namun dalam kejadian itu terdapat 55 perahu nelayan yang hancur. 15 perahu nelayan Dusun Nambangan dan 40 perahu nelayan Dusun Cumpat. Memang menurut pengamatan lansung dari WALHI Jatim, perahu benar-benar hancur dan tidak bisa diperbaiki. Bukan hanya perahu, tetapi jaring dan mesin juga ikut rusak. Total kerugian masing-masing nelayan yang perahunya hancur, mencapai 87 Juta. Dengan rincian; ganti perahu 35 Juta (ukuran 7,5×2 Meter) atau 25 Juta (ukuran 6×2 Meter), ganti jaring kakap 50 Juta, dan perbaikan mesin mencapi 2 Juta.

Kerugian ini membuat pasrah para nelayan, karena sudah bisa dipastikan tidak bisa melaut lagi. Opsi nelayan sejauh ini menjadi ABK (Anak Buah Kapal) atau ikut nelayan lain yang perahunya masih ada dengan sistem bagi hasil dan tentu para ABK menikmati hasil lebih sedikit dari pemilik perahu, ada juga opsi alih profesi menjadi kuli bangunan, buruh pabrik atau profesi lainnya. Memang ada opsi untuk hutang koperasi nelayan atau hutang bank untuk membeli perahu, namun para nelayan masih kahwatir jika kesulitan membayar hutang. Paling parah adalah para nelayan tua yang hanya menggantungkan profesi sebagai nelayan, karena dengan tenaganya yang sekarang sudah dipastikan susah untuk alih profesi menjadi kuli bangunan atau buruh pabrik, maka kebanyakan nelayan tua memilih untuk menganggur.

Padahal kejadian ini, menurut perhitungan nelayan dengan menggunakan perhitungan kalender jawa. Sekitar tanggal 11 atau 12, seharusnya belum tinggi-tingginya air, sedangkan tinggi air baru mulai tanggal 15. Karena pada tanggal 15 adalah pergantian musim dan masuknya angin dari barat. Tapi pada kejadian kemarin, angin timur masih sangat kencang. Juga pengamatan dari nelayan, setiap tahun angin barat semakin pendek. Dari kondisi normal, angin barat adalah 6 bulan dan angin timur 6 bulan, sedangkan tahun kemarin angin barat hanya berkisar sampai 3 bulan. Para nelayan mengaku, akhir-akhir ini cuaca semakin sulit diprediksi.

Gerak Lamban Pemerintah Memperparah Derita Masyarakat

Pada Kamis, 12 November 2020 sekitar pagi hari, Ibu Risma Walikota Surabaya bersama jajaran Pemkot Surabaya hanya meninjau lokasi dan membagikan 2 bungkus makanan ke setiap nelayan. Menurut Pemkot Surabaya, bantuan ini sebagai sebagai pengganti lelah nelayan karena berjaga di atas perahu dari semalam.

Nelayan banyak mengatakan, respons pemerintah sangat lemah. Karena tidak ada korban jiwa, seolah pemerintah menganggap remeh peristiwa seperti ini, padahal kerugian dari masing-masing nelayan yang kehilangan perahu sangatlah besar. Puluhan harapan nelayan juga bisa saja gugur, karena sudah puluhan tahun perahu dan laut menjadi sumber kehidupan masyarakat Dusun Nambangan dan Dusun Cumpat.

Terparah, pada bulan Agustus 2020 lalu juga sudah ada 4 perahu nelayan yang hancur, kemudian sudah mengajukan bantuan ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur. Namun sampai peristiwa ini terjadi, belum ada respon dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur. Memang Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur sudah datang untuk meninjau langsung pada peristiwa ini, namun kecil harapan masyarakat untuk mendapatkan bantuan, karena sebelumnyapun belum ada respon yang berarti.

BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) juga tidak memberikan peringatan sebelumnya, padahal seharusnya mereka hadir memberikan informasi pada masyarakat pesisir yang sekiranya akan terkena dampak perubahan iklim.

Simpulan

Selain terus mengawal keresahan masyarakat pesisir Surabaya atas peristiwa perubahan iklim ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur juga tengah mengkaji dampak pertambangan pasir laut yang berada dekat dengan lokasi kejadian. Karena muncul dugaan dari masyarakat, selain karena perubahan iklim, tambang pasir juga dikhawatirkan masyarakat menjadi salah satu dampak gelombang besar tahun ini. Karena semenjak aktivitas tambang pasir, perlahan pasir bibir panti semakin turun kelaut dan air semakin tinggi.

Mari terus peduli dan bahu-membahu di tengah kondisi perubahan iklim ini, karena selain lambannya pemerintah dalam penanganan dampak pandemi COVID-19, pemerintah juga masih lamban dalam mengurusi dampak perubahan iklim. Besar harapan kita untuk turut ikut bersama membantu masyarakat dan mendesak pemerintah untuk merespon cepat kondisi ini, karena dengan segala kuasa dan kewajibannya, sudah seyogyanya pemerintah hadir membantu masyarakat. Ke depan dampak perubahan iklim ini harus terus dikaji, dan bersama-sama komunitas merancang strategi dalam menghadapi dampak perubahan iklim.