Gerakan Tolak Omnibus Law Jawa Timur
Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja tanpa proses yang panjang dan cacat sejak awal, tiba-tiba pada Senin (05/10/2020) disetujui keberadaannya oleh DPR RI bersama Pemerintah RI di bawah rezim Jokowi. Pengesahan RUU ini menjadi mimpi buruk bagi keberlanjutan kehidupan rakyat Indonesia, sebab didalam aturan tersebut sarat kepentingan segelintir elit. Penghianatan atas konstitusi dilangsungkan secara masif dan sistematis, melalui mufakat jahat elit penguasa. Mulai dari pengesahan Revisi Undang-undang Pertambangan, Mineral dan Batubara (Minerba), tidak disahkannya Rancangan Undang-undang Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS); hingga disahkannya Revisi Undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK). Semuanya satu paket untuk kepentingan mereka yang berkuasa.
Persetujuan UU Cipta Kerja pada dasarnya sangat berbahaya bagi kehidupan rakyat dari berbagai sektor, mulai dari buruh, petani, nelayan, masyarakat pinggiran, perempuan dan masyarakat adat. Sebab didalamnya berjubel aturan yang dijadikan satu. Niatnya untuk memaksimalkan fungsi aturan melalui sinkronisasi tapi sebenarnya tak lebih dari upaya deregulasi aneka aturan yang sebelumnya sudah longgar lalu dilonggarkan lagi melalui UU ini.
Narasi pemerintah dalam membentuk aturan ini selalu dikaitkan dengan pandemi COVID-19, resesi ekonomi, hingga terkait pembukaan lapangan pekerjaan. Padahal lebih jauh lagi, RUU ini sudah ada sebelum pandemi menyebar hingga ke pelosok negeri. Pemerintah telah kehilangan nalarnya, dimana lebih memikirkan ekonomi daripada keselamatan rakyatnya. Di saat semua orang bahu membahu melawan wabah, mereka dengan santainya menciptakan RUU jahat yang siap melumat kehidupan rakyat.
Mengapa dikatakan jahat, dalam UU sebanyak 812 halaman tersebut memuat aneka deregulasi yang akan menyengsarakan rakyat. Mulai dari kluster ketenagakerjaan, di mana dalam kluster ini ada beberapa aturan yang diubah dan dihapus, seperti aturan terkait upah yang sangat fleksibel dan multitafsir, di mana dalam pasal 88B dikemukanan upah berdasar satuan waktu dan hasil, lalu ada juga pada pasal 88C menekankan bahwa upah ditetapkan oleh Gubernur dalam bentuk Upah Minimum Provinsi (UMP), sementara Upah Minimum Kabupatn/Kota (UMK) ditentukan Gubernur atas pertimbangan atau syarat tertentu. Hal ini diperkuat dengan pasal 88D terkait penetapan upah didasarkan pada tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Aturan ini pada satu sisi akan semakin mencekik buruh, karena hanya bersandar tingkat pertumbuhan ekonomi tidak pada kebutuhan hidup layak buruh itu sendiri. Puncaknya dalam pengupahan adalah penghapusan pasal 91 Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2013 tentang penetapan dan pengaturan upah yang berbasis kesepakatan antara serikat pekerja, pengusaha dan pemerintah. Aturan lain yang kontroversial seperti, terkait PKWT dimana tidak diatur secara detail terkait jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum, lebih jauh akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Tentu ini menimbulkan pertanyaan besar, sebab itu berpotensi untuk ditafsirkan berbeda oleh pengusaha, yang mana mereka dapat mengakali kewajiban mereka untuk menetapkan pekerja sebagai pekerja tetap. Lalu pada Pasal 79 ayat 2 huruf b Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 menyebutkan jika istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu, dalam RUU Cipta Kerja aturan 5 hari kerja itu dihapus. Sehingga berbunyi istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Lalu soal hak istirahat panjang RUU ini juga menyerahkan regulasi cuti panjang ke pengusaha, selain itu tidak mencantumkan hak cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja/buruh yang sudah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus dan menyerahkan aturan itu kepada perusahaan atau perjanjian kerja sama yang disepakati. Bahkan dalam RUU ini tidak menyebutkan terkait hak cuti haid, melahirkan dan hak untuk menyusui, tentu kondisi ini menimbulkan kerancuan terkait posisi RUU ini yang nantinya berpotensi menggantikan Undang-undang Ketenagakerjaan.
Problem mendasar dari UU ini juga menyasar soal sektor lingkungan hidup, dalam catatan Walhi Jawa Timur, ada beberapa ketentuan dibuat untuk melancarkan aneka eksploitasi terhadap alam. Khususnya dalam pasal 88 UU PPLH di mana dalam konteks B3 pemerintah menghapus ketentuan tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Lalu, pada penghapusal pasal 93 UU PPLH terkait setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara, artinya partisipasi masyarakat dalam kontrol terhadap aneka pelanggaran izin akan tertutup rapat. Belum lagi soal penyederhanaan izin, di mana pada pasal 21 UU ini, semangatnya bukan lagi pencegahan tapi lebih kepada memberikan kemudahan untuk melakukan investasi dan usaha, melalu izin berusaha dalam kerangka persetujuan lingkungan. Lalu ada terkait ketentuan pasal 40 dalam Undang-undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) terkait izin lingkungan sebagai syarat berusaha yang dihapus. Dalam pasal 26 terkait AMDAL pun mereka mengubah ketentuan partisipasinya dari masyarakat terdampak ke masyarakat terdampak langsung, tentu ini berbahaya sebab wilayah yang tidak terdampak langsung akan terkena masalah serius terkait dampak usaha, perlu diingat ekosistem merupakan satu kesatuan utuh. Ke depannya ketentuan tersebut akan menghambat partisipasi rakyat ketika melakukan hak gugat atas kerusakan lingkungan. Dan masih banyak lagi yang kontroversoal, sehingga kluster lingkungan ini turut akan mendegradasi kehidupan rakyat.
Tidak hanya sektor lingkungan di kluster pertanahan juga berbahaya, dalam catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) ada banyak masalah dalam RUU Cipta Kerja ini, salah satunya ialah hak pengelolaan (HPL) dalam Undang-undang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. HPL telah menimbulkan kekacauan penguasaan tanah, karena merupakan wujud penyimpangan hak menguasai dari negara (HMN). Melalui RUU Cipta Kerja (Pasal 129), HPL diterjemahkan semakin menyimpang. Sebagai pemberian jenis hak di atas tanah negara melalui HPL pemerintah seperti hendak menghidupkan kembali konsep domein verklaring jaman kolonial, yang secara tegas sudah dihapus dalam UUPA. HPL menjadi jenis hak baru yang begitu kuat dan luas, karena dapat diberikan kepada instansi pemerintah, BUMN/BUMD, badan hukum yang ditunjuk pemerintah termasuk dikelola oleh Bank Tanah (BT), HPL juga dapat dikerjasamakan dengan pihak ke tiga. Parahnya, di atas HPL dapat diterbitkan HGU, HGB dan HP bagi investasi. Melalui RUU Cipta Kerja, rumusan penguasaan tanah oleh investor dapat dipastikan akan memperparah situasi ketimpangan dengan: (1) Memberikan banyak keistimewaan pada korporasi dengan melegitimasi proses perampasan tanah-tanah rakyat melalui skema-skema yang menyingkirkan hak rakyat atas kedaulatan sumber-sumber agrarianya; (2) Menghapus pasal 16 Undang-undang Perkebunan, tentang kewajiban perkebunan untuk megusahakan lahan perkebunannya dan menghapus sanksi bagi perusahaan yang tidak menjalankan kewajibannya; (3) Dengan dihapusnya pasal 16 Undang-undang Perkebunan, maka hal ini berpotensi menghilangkan status tanah terlantar yang merupakan salah satu syarat hapusnya HGU dalam UUPA: (4) Hal ini mengandung banyak agenda terselubung kelompok pengusaha perkebunan skala besar dalam penguasaan tanah, termasuk memberi peluang kepada pemerintah (pejabat menteri) untuk melakukan praktik kolusi dan korupsi bersama pengusaha perkebunan, pertambangan, properti, kehutanan dalam proses pemberian izin usahanya; (5) Dengan hilangnya status tanah terlantar maka berpotensi menghambat pelaksanaan reforma agraria dari wilayah perkebunan, mengingat salah satu obyek prioritas reforma agraria bagi rakyat adalah tanah-tanah (perkebunan) yang banyak diterlantarkan perusahaan. UU Cipta Kerja hendak merubah pasal-pasal dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur Demi Kepentingan Umum dengan dasar argumentasi hambatan pengadaan lahan bagi investasi dan kegiatan bisnis. Ini mengandung sejumlah persoalan:
Pengadaan tanah tidak dapat dilihat sebatas proses penyediaan tanah bagi pembangunan proyek infrastruktur semata, namun harus diperhitungkan dampak sistemik degradasi ekonomi, sosial dan budaya pada lokasi dan masyarakat terdampak.
Pemerintah menambahkan kepentingan investor tambang, pariwisata dan kawasan ekonomi khusus ke dalam kategori pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum, agar proses pengadaan tanah semakin mudah.
Meningkatkan peran swasta dalam pengadaan tanah. Dalam prakteknya banyak proses pengadaan tanah, pembebasan lahan dan penetapan ganti kerugian yang dijalankan secara tidak transparan dan berkeadilan oleh pemerintah dan pemilik proyek. Meningkatkan peran dan kewenangan swasta hanya akan semakin menempatkan posisi masyarakat dalam situasi rentan ancaman pengukuran dan penggusuran paksa, atau menjadi korban korupsi dan manipulasi dalam tahap-tahap proses pengadaan tanah. Kewenangan pemerintah dalam pengadaan tanah harus tetap dipegang penuh sesuai asas umum pemerintahan yang baik.
UU Cipta Kerja memudahkan proses pengadaan tanah dengan berdasarkan “penetapan lokasi” suatu pembangunan proyek pemerintah, dimana AMDAL, kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang di luar kawasan hutan dan luar kawasan pertambangan, di luar kawasan gambut/sepadan pantai dan kajian dampak ekonomi-sosial masyarakat tidak perlu dipenuhi oleh perusahaan yang memerlukan tanah.
Pengadaan tanah sering kali mengesampingkan prinsip keadilan karena bagi pihak yang menolak bentuk dan besaran ganti rugi, prosenya dititipkan di Pengadilan Negeri. Sehingga mempermudah proses penggusuran tanah masyarakat.
Aneka permasalahan dalam UU Cipta Kerja menimbulkan polemik dan gejolak, semakin menunjukan watak negara dalam hal ini pemerintah kepada siapa mereka berpihak. Bahkan mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak demokratis pada rakyat yang hendak melakukan protes, seperti melakukan penghadangan, tindakan represi, intimidasi hingga kriminalisasi. Tentu ini menjadi miris dan berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi, serta semakin menegaskan watak otoriter negara.
Kemudian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) mengeluarkan Surat No. 1035/E/KM/2020 perihal Imbauan Pembelajaran Secara Daring dan Sosialisasi UU Cipta Kerja. Surat Imbauan tersebut ditetapkan oleh Dirjen Dikti Prof. Nizam pada 9 Oktober 2020 pasca gerakan penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja 7-8 Oktober meletus di berbagai wilayah. Mahasiswa tumpah ruah ke jalan bersama Buruh, Petani, dan elemen masyarakat sipil lainnya atas tindakan DPR-RI dan Pemerintah mengesahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang sudah kelewat cacat secara formil maupun materil. Sebanyak tujuh poin imbauan yang disampaikan oleh Dirjen Dikti dalam surat tersebut. Diantaranya, Kemendikbud menghimbau Mahasiswa untuk tidak turut serta dalam aksi demonstrasi dengan dalih keselamatan dan kesehatan Mahasiswa dimasa pandemi. Padahal kebebasan berpendapat adalah syarat rule of law bahkan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 sudah dengan jelas menjaminnya. Kemendikbud memberikan penekanan bahwa perguruan tinggi harus tetap melaksanakan pembelajaran daring dan memantu kehadiran Mahasiswa. Bahkan Kemendikbud juga meminta perguruan tinggi untuk mensosialisasikan isi UU Omnibus Law Cipta Kerja. Kemendikbud telah mengintervensi kebebasan akademik di kampus dengan menjadi agen sosialisasi klaim kebenaran tunggal Pemerintah. Sama halnya dengan narasi Presiden Jokowi, Mahasiswa yang sudah bergerak menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja hanya dianggap menjadi korban hoax.
Surat Imbauan Kemendikbud untuk meredam gerakan Mahasiswa atau penolakan terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja sesungguhnya telah menyalahi prinsip kebebasan akademik. Artinya lembaga pendidikan tinggi melaksanakan fungsinya dengan dicampuri oleh kekuasaan di luar dan tidak ada kebebasan seseorang untuk mengemukakan pendapat tanpa ada pembatasan kecuali dari dirinya sendiri. Kebebasan akademik merupakan bagian tak terpisahkan dari kebebasan berpendapat, sehingga negara ataupun institusi perguruan tinggi wajib melindungi dan menghargainya. Himbauan Kemendikbud atas UU Omnibus Law Cipta Kerja menunjukkan salah kaprah relasi antara Pemerintah dan perguruan tinggi, Kemendikbud mengulang kesalahan pada tahun sebelumnya dengan kembali mengkooptasi institusi yang berada di bawah naungannya. Ekspansi kekuasaan yang dominan dalam kehidupan kampus berujung politisasi kampus yang menghambat perwujudan nilai dan prinsip fundamental dalam demokratisasi kampus. Surat Imbauan Kemendikbud atas UU Omnibus Law Cipta Kerja semakin menambah daftar panjang pengekangan dan pembungkaman civitas akademika atau #DaruratDemokrasiKampus. Negara telah menghalalkan segala macam cara untuk menjaga produk legislasi kebanggaan Oligarki dari gempuran protes Mahasiswa dan Rakyat Indonesia.
- Atas dasar diatas kami, Gerakan Tolak Omnibus Law (GETOL) Jawa Timur menuntut kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia untuk:
Menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) pembatalan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja;
Usut tuntas tindakan represi terhadap masa aksi di seluruh Indonesia dan tuntaskan kasus pelanggaran HAM; - Mengecam surat himbauan sosialisasi perkuliahan daring dan UU Cipta Kerja oleh Kemendikbud yang tidak demokratis karena melarang mahasiswa berekspresi;
- Wujudkan independensi dunia pendidikan;
- Sahkan segera Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS);
- Cabut Undang-undang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE);
- Jalankan reforma agraria sejati sebagai syarat pembangunan industri nasional yang mandiri dan berdaulat, tanpa harus bergantung pada investasi asing, dan;
Wujudkan demokrasi sejati.
Demikian pandangan dari kami yang dapat disampaikan, selebihnya kami mengajak seluruh gerakan dimanapun untuk tetap berjuang dan melawan ketidakadilan ini, sampai kemenangan rakyat didapatkan!