Hentikan Kriminalisasi Petani Hutan, Cabut UU P3H, Jalankan Perhutanan Sosial Sepenuhnya

Pak Supon dituduh mengambil kayu, tuduhannya pun menjurus pada penebangan dan pencurian, sangkaan yang akrab diterima oleh petani hutan lainnya. Sebelumnya di tempat yang sama Pak Satumin pernah diangkut dan disidang paksa, karena dituduh merusak tanaman kopi, padahal yang mencabut adalah pihak Perhutani sendiri. UU P3H 2013 memang bak UU ITE yang alih-alih melindungi hutan, malah seringkali memakan korban rakyat kecil yang seharusnya dilindungi. Muatan UU itu secara sosio-legal pun dipertanyakan dan mengapa disahkan. Ini jadi pertanyaan bersama, jika hukum selalu erat kaitannya dengan kepentingan dari siapa yang berkuasa dan memiliki akses.

Kayu jenis Damar yang ditebang oleh Perhutani lokal di Bayu, menyisakan sisa tebang. Tentu dengan nilai ekonomis yang tak seberapa. Lalu, Pak Supon memungut kayu tersebut, karena dianggap tidak digunakan lagi, sementara ia butuh untuk membangun kandang ternaknya. Panjang kayu sekitar satu meter dengan lebar kurang lebih 3 cm (bisa dibayangkan ketika kita membentuk lingkaran dari tangan kita, melalui Ibu jari dan jari telunjuk).

Tuduhan dan ditangkap bak seorang peneror. Itulah gambaran yang sering dihadapi oleh banyak petani hutan. Sementara yang berwujud pemodal, tentu bisa dimaklumi, berbelit-belit penegakkan hukumnya, tidak seperti Pak Supon atau Pak Satumin yang langsung diproses dan ditahan. Tidak ada upaya persuasi atau dialog dahulu, melibatkan KTH, pihak Desa dan Perhutani. Tentu, soal petani hutan memang harus hati-hati, sebab selama ini banyak yang salah sasaran dan ngawur.

Kondisi ini juga menunjukan aneka konflik hutan, yang melibatkan Perhutani dan petani hutan merupakan problem struktural, di mana negara harus hadir dalam penyelesaian ini. Mengedepankan petani hutan agar mendapatkan hak-haknya, dan melindungi mereka tentunya. Sementara bagi Perhutani seharusnya berkomitmen membangun kesetaraan dengan Petani dan tidak berlaku semena-mena kepada para petani.

Karena kasus di Bayu sendiri, petani seperti Pak Supon sudah mendapatkan SK Perhutanan Sosial, tetapi masih tarik ulur antara petani dan Perhutani. Di mana Perhutani di Bayu seakan-akan tidak memahami apa itu Perhutanan Sosial dan bagaimana penerapannya. Padahal Perhutanan Sosial adalah program pemerintah yang bertujuan melindungi dan memberikan akses kepada petani. Seharusnya Perhutani sebagai alat negara membantu hal tersebut, bukan malah menghalang-halangi. Menciptakan kesetaraan ini yang penting.

Kami dari Walhi Jatim, LBH Surabaya, Laskar Hijau, LPBH NU Banyuwangi, LBH Disabilitas, FoRBanyuwangi yang tergabung dalam Tekad Garuda bersama KTH Green Bayu Mandiri, Bayu, Songgon, Banyuwangi. Pasca kejadian penahanan Pak Supon, kami dengan tegas menyatakan:

1. Menuntut Perhutani untuk tidak melakukan kriminalisasi lagi pada para petani hutan. Perhutani harus mengedepankan dialog dan prinspip kemanusiaan.

2. Menuntut kepolisian untuk tidak berlebihan dalam bertindak dan mengedepankan persuasi sebagai bagian kemanusiaan.

3. Meminta KLHK untuk sepenuhnya menjalankan Perhutanan Sosial, melindungi dan memenuhi hak petani hutan. Melakukan evaluasi menyeluruh dan melakukan pembenahan Perhutanan Sosial.

4. Meminta Pemerintah RI untuk mencabut UU P3H 2013 karena menyengsarakan petani hutan, dengan aneka kriminalisasi yang menyasar mereka.

 

Narahubung: Wahyu Eka- Walhi Jawa Timur/Tekad Garuda (082145835417)