
Semburan Lumpur Lapindo yang berlangsung sejak 29 Mei 2006 dan belum berhenti hingga saat ini, merupakan potret bagaimana bencana industri akibat tambang menghadirkan kesengsaraan dan bangkrutnya infratruktur sosial-ekologis. Bencana bukan alami ini tidak hanya berhasil menenggelamkan lahan, bangunan dan kampung warga. Namun lebih dari itu, teror yang dihadirkan juga terus berlanjut dan meluas. Salah satu persoalan yang kemudian dilupakan adalah fakta degradasi kondisi lingkungan di wilayah semburan Lumpur Lapindo.
Pada hasil pemeriksaan kesehatan per Maret 2020 terhadap 30 orang warga yang tinggal di sekitar semburan Lumpur Lapindo, ditemukan indikasi kuat buruknya kualitas air yang menjadikan warga rentan terhadap infeksi saluran kencing. Hal ini didukung temuan pemeriksaan kualitas air di sungai dan irigasi yang dilakukan oleh Pos Koordinasi dan Keselamatan Lumpur Lapindo di sembilan titik (Porong, Besuki, Glagaharum, Gempolsari-Agustus 2019) yang menunjukkan tercemar Timbal dan Kadmium diatas ambang baku kesehatan. Bahkan dengan indikator biologi mahkhluk invertebrata air, menunjukkan hampir keseluruhannya tercemar berat.
Penyakit infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) juga menempati peringkat pertama penyakit paling banyak di tiga puskesmas sekitar semburan lumpur, yakni Tanggulangin, Jabon, Porong juga makin menempatkan warga dalam posisi rentan saat pandemi COVID-19 seperti saat ini.
Penelitian WALHI Jatim sejak 2008 hingga 2016, menunjukkan tanah dan air di area sekitar lumpur panas mengandung PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) hingga dua ribu kali lipat di atas ambang batas normal. PAH ini adalah senyawa organic yang berbahaya dan bersifat karsinogenik (memicu kanker). Sedangkan menurut laporan tim kelayakan permukiman yang dibentuk Gubernur Jatim, level pencemaran udara oleh hydrocarbon mencapai tingkat delapan ribu hingga 220 ribu kali lipat di atas ambang batas.
Pada tahun 2016, penelitian logam berat yang dilakukan WALHI Jawa Timur menunjukkan level timbal (Pb) dan Cadmium (Cd) pada air sungai Porong mencapai angka 10 kali diatas ambang batas yang diperbolehkan di lingkungan. Bukan hanya di air saja, level tinggi logam berat juga ditemukan dalam tubuh biota di sungai Porong yang dijadikan buangan untuk semburan lumpur Lapindo. Merujuk pada enelitian WALHI Jatim di tahun 2016, di dalam tubuh udang ditemukan kandungan Timbal (Pb) 40-60 kali diatas ambang batas yang diperbolehkan, dan kandungan Kadmium (Cd) 2-3 kali diatas ambang batas yang diperbolehkan
Kontaminasi logam berat juga terkonfirmasi ada dalam sumur warga di desa-desa sekitar semburan lumpur Lapindo. Pada pembacaan dari dua desa, Gempolsari di kecamatan Tanggulangin dan Glagaharum di Kecamatan Porong, ditemukan kandungan timbal (Pb) 2-3 kali diatas ambang batas yang diperbolehkan, dan kandungan kadmium (Cd) hingga 2 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan. Ini mengakibatkan air sumur di sekitar semburan lumpur Lapindo tidak bisa dipakai sebagai konsumsi untuk air minum warga.
Hasil pemantauan udara yang dilakukan juga menemukan gas Hidrogen Sulfida (H2S) dan Klorin (Cl2) pada udara di seputaran lumpur Lapindo. Pada pemeriksaan udara dengan menggunakan alat eco-checker di lima titik berbeda ditemukan bahwa level H2S hingga mencapai angka 85 ppb, sedangkan Cl2 hingga mencapai angka 5 ppb.
Jika memadukan temuan logam berat, gas dan PAH pada wilayah sekitar semburan lumpur Lapindo yang menunjukkan tingkat cemaran yang kuat, dapat diduga turut memberikan pengaruh terhadap kualitas kesehatan warga yang masih beraktivitas di sekitar semburan lumpur Lapindo.
Indikasi menurunnya derajat kesehatan warga bisa dilihat dari melonjaknya jumlah penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Puskesmas Porong dan Jabon. Di wilayah Puskesmas Jabon data penderita ISPA melojak 150% dari kondisi normal (dari rata-rata 60 kasus menjadi 170 kasus). Sedangkan di Puskesmas Porong dari rata-rata 20 ribu kasus pada tahun 2005 menjadi 50 ribu kasus pada tahun 2007.
Namun sejak awal tampak jelas upaya pengerdilan kasus ini hanya semata-mata soal tenggelamnya tanah dan bangunan. Pemerintah bersama PT Lapindo Brantas (Bakrie Group) menggiring penyelesaian permasalahan ini dengan pemberian kompensasi ganti rugi yang sebenarnya adalah proses “jual-beli paksa” lahan dan bangunan serta mengabaikan permasalahan mendasar, yakni hilangnya hak-hak warga akibat semburan Lumpur Lapindo. Mekanisme “jual-beli paksa” yang dianggap menyelesaikan permasalahan ini sejatinya hanyalah penenggelaman problem yang sesungguhnya bahwa bencana semburan Lumpur Lapindo adalah Bencana Industri
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menjelaskan bencana-bukan-alami salah satunya berupa gagal teknologi dan gagal modernisasi. UN-ISDR (United Nation of International Strategies for Disaster Reduction) mendefinisikan kegagalan teknologi (technological hazard) sebagai: “Semua kejadian bencana yang diakibatkan oleh kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam penggunaan teknologi dan atau industri,” sehingga bencana industri merupakan bagian dari man-made disaster atau bencana yang disebabkan oleh tangan manusia, yang termasuk socio technical disaster.
Bencana-bukan-alami atau bencana industri ini tidak hanya terjadi pada semburan Lumpur Lapindo. Khususnya di wilayah yang “kaya” akan konsesi tambang, bencana industri ini selalu terjadi. Sayangnya, bencana industri pertambangan ini kerap kali tidak diakui oleh para pelaku pertambangan, bahkan juga oleh penyelenggara Negara. Masih lekat di ingatan kita, sepanjang 2019 lalu bencana banjir melanda berbagai wilayah yang banyak dikavling oleh konsesi pertambangan.
Dalam catatan JATAM, wilayah “kaya” konsesi tambang dengan becana banjir terparah berada di Provinsi Bengkulu, di Kabupaten Konawe Utara (Provinsi Sulawesi Tenggara) serta berbagai titik di Provinsi Kalimantan Timur. Di Konawe Utara terdapat 71 IUP, di mana 68 izin di antaranya adalah tambang nikel. Sedangkan Kalimantan Timur, yang bisa disebut sebagai wilayah ibukota pertambangan batu bara, memiliki luas konsesi 1.006.139,63 hektar dan Bengkulu memiliki 34 IUP dengan luas konsesi 146.850,49 hektar.
Bengkulu, wilayah yang terus dikeruk batu bara dan emasnya, mengalami banjir bandang hampir di satu provinsi. Di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengkulu terdapat 8 konsesi perusahaan pertambangan batu bara yakni PT Kusuma Raya Utama, PT Bara Perdana, PT Bengkulu Bio Energi, PT Bara Mega Quantum, PT Inti Bara Perdana, PT Griya Pat Petulai, PT Cipta Buana Seraya, PT Ratu Sambang Mining, dan PT Danau Mas Hitam. Kedelapan perusahaan ini cakupan luasannya mencapai 19.000 hektar.
Tidak hanya hulu DAS Bengkulu yang diporak-porandakan oleh aktivitas pertambangan, Kepahiang juga mengalami bencana yang sama, karena hutan lindung Bukit Daun telah dirusak oleh pertambangan sehingga memengaruhi daerah resapan air yang berada di wilayah tersebut hingga menyebabkan banjir bandang. Masih di wilayah Provinsi Bengkulu, DAS Ketahun di bagian utara Bengkulu telah dikonversikan menjadi pertambangan. Sehingga, ketika hujan deras menderu Benngkulu, wilayah ini pun tidak luput dari luapan air. Akibat banjir besar di Provinsi Bengkulu sepanjang 2019, terdapat 24 korban jiwa yang meninggal dan hilang serta lebih dari 12.000 warga yang terpaksa mengungsi.
Di Kalimantan Timur (Kaltim), utamanya di Samarinda -yang 71% dari luasan kota telah dikonversikan menjadi pertambangan batu bara-, banjir bukanlah fenomena baru. Seiring dengan semakin luasnya ekspansi pertambangan di Samarinda, jumlah titik banjir pun semakin banyak. Pada 2011 tercatat 29 titik banjir di Samarinda, meningkat menjadi 40 titik banjir di 2015, hingga akhirnya Juni 2019 meningkat menjadi 48 titik banjir. Pada Juni 2019, banjir menggenang selama kurang lebih satu pekan. Akibat dari banjir, sebanyak 47.044 warga Samarinda terdampak, kurang lebih 17.485 rumah/KK yang sempat terendam air.
Di Kaltim, tidak hanya Samarinda yang mengalami banjir di waktu yang sama, begitu juga Bontang dan Kutai Kartanegara sejak 5 Juni 2019. Bontang memiliki 7 izin tambang dan baru Juni kemarin, untuk pertamakalinya, banjir besar terjadi di Kota Bontang. Pertambangan di Bontang merambah wilayah Muara Bontang serta Taman Nasional Kutai yang merupakan wilayah konservasi, sehingga menyebabkan banjir bandang di Kota Bontang. Di Bontang, terdapat dua perusahaan pertambangan batu bara besar yang memegang
Kutai Kartanegara memiliki 625 izin tambang dengan luas 2.000.000 hektar dan kabupaten ini adalah salah satu wilayah yang daya rusak tambangnya terparah dibandingkan dengan berbagai wilayah lain di Kaltim. Terkait banjir bandang di Kutai Kartanegara, Badan Nasional Penanggulangan Banjir (BNPB) telah menyatakan bahwa terdapat 16.385 jiwa yang terdampak oleh banjir. Banjir di Kukar terjadi sejak 8 hingga 9 Juni 2019 dengan intesitas serta curah yang tinggi. Aktivitas tambang yang luas di Kukar menghancurkan titik-titik resapan air sehingga memicu banjir ketika hujan dengan intensitas tinggi seperti yang terjadi pada Juni lalu.
Konawe Utara juga mengalami banjir pada Juni lalu yang mengakibatkan lebih dari 5.600 warga terpaksa mengungsi. Banjir besar terjadi pada 3 Juni 2019 atau dua hari sebelum Idul Fitri dan mengakibatkan 9.609 jiwa mengungsi. Selain itu, Ada 370 rumah penduduk yang hanyut dan 1.962 rumah terendam; 970,3 hektare sawah, 83,5 hektare kebun jagung dan 11 hektare perkebunan warga terdampak serta gagal panen.
Wakil Gubernur Sultra, Lukman Abunawas, menyatakan bahwa kerusakan lingkungan hidup dan aktivitas pertambangan merupakan penyebab utama dari terjadinya banjir bandang di Konawe Utara. Pemberian izin pertambangan di Konawe Utara, seperti di berbagai wilayah lainnya, sarat dengan korupsi dan ijon politik. KPK telah menangkap mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman, pada 2017 lalu.
Aswad Sulaiman ditangkap karena diduga menerima suap sebesar 13 miliar rupiah dari beberapa perusahaan pertambangan agar izinnya diterbitkan. Peranan kepala daerah seperti yang dilakukan oleh Aswad ini mendorong percepatan kebencanaan di wilayah mereka.
Situasi pengabaian keselamatan rakyat dari ancaman bencana industri semacam ini telah terus-menerus berulang. Meluasnya industri ekstraktif terus memicu laju krisis sosial-ekologis meningkat tajam dalam bentuk yang semakin kompleks dan rumit. Hal ini salah satunya dipicu oleh terus lahirnya regulasi yang mempromosikan dan melindungi industri ekstraktif, yang tidak berpihak terhadap keselamatan ruang hidup rakyat.
Upaya paksa pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja dan Pengesahaan Revisi UU Minerba yang dilakukan ditengah pandemi COVID-19 jelas menunjukkan bagaimana pengurus Negara lebih mementingkan perlindungan bisnis ekstraktif ketimbang memastikan keselamatan rakyat. Revisi UU Minerba yang lebih berisi lebih berisi tentang kepentingan perluasan investasi dan pengusahaan pertambangan.
Hal itu terlihat sejak aspek perencanaan yang tidak mempertimbangkan aspek kawasan rentan bencana sesuai dengan UU Kebencanaan. Aspek perencanaan ini bahkan tidak memiliki spirit membatasi perluasan atau laju ekspansi pertambangan; juga bagi wilayah produksi rakyat, sebagai contoh ekspansi tambang pada kawasan produksi pangan maupun dengan infrastruktur ekologi penting seperti pulau-pulau kecil dan pesisir.
Parahnya Revisi UU Minerba juga masih menjadikan batubara sebagai komoditas dan sumber utama penerimaan nasional melalui tidak adanya relasi dengan RUEN dan skenario meninggalkan energi batubara lainnya, meskipun ukuran RUEN sendiri masih problematis.
Dalam Aspek perizinan dan pengusahaan, RUU Minerba malah mempermudah perizinan, salah satunya memperbolehkan pemegang IUP di satu provinsi boleh memiliki IUP dengan komoditas sama, juga membuka keran bagi penambangan ‘Logam Tanah Jarang dan Radioaktif.’ Tidak ada aspek dalam RUU Minerba ini yang melindungi keselamatan rakyat, pembatasan ekspansi dan hak veto rakyat, sebaliknya RUU Minerba akan makin menguatkan ‘Oligarki Tambang,’ melindungi korupsi dan memberangus dengan cara mengkriminalkan rakyat.
Mengenang 14 tahun bencana-bukan-alami semburan Lumpur Lapindo, merayakan Hari Anti Tambang, bukanlah peringatan hari-hari besar yang hampir tanpa pikir kita rayakan setiap tahun berganti. Hari ini kita dipaksa berpikir keras, mengapa akumulasi industri ekstraktif masih terus berjalan, padahal di saat yang sama, bencana industri selalu membayangi di setiap prosesnya.
Warga di lokasi wilayah operasi pertambangan yang menanggung kerusakan bentang hutan, pemusnahan bentang air, bentang perladangan pangan, ketahanan dan solidaritas kampung, dan pengusiran besar-besaran dari ruang-ruang hidup menyejarah, rumah bersama yang menyediakan kehidupan.
Beban dan penderitaan warga wilayah tambang ini disembunyikan di balik cerita sukses industri tambang dan energi Indonesia menjamin pasokan konsumsi mineral dan sumber-energi khususnya untuk Jepang, China dan India, disembunyikan dibalik ilusi target pertumbuhan ekonomi Negara yang nyatanya hanyalah pemusatan kekayaan di tangan konglomerasi oligarki.
Dalam situasi genting seperti saat ini, sudah saatnya menghentikan pertumbuhan dan penyebaran sektor pertambangan di seluruh kepulauan Indonesia demi menjamin keselamatan segala kehidupan termasuk manusianya. Maka dari itu, pada HARI ANTI TAMBANG 29 Mei 2020 ini, kami menghimpun diri menegaskan kembali “Hentikan Proteksi dan Promosi Industri Pertambangan di Seluruh Kepulauan Indonesia.”