Di Bawah Bayang Kerusakan Lingkungan dalam Rencana Pembangunan PLTPB Arjuno-Welirang

Oleh: LEFT INDONESIA & LPM MANIFEST FH UB

Jawa Timur memiliki potensi panas bumi yang tersebar dibeberapa daerah, diantaranya adalah Gunung Pandan (25 MWe), Arjuno-Welirang (130 MWe), Ngebel-Wilis (165 MWe), Rejosari (25 MWe), Melati (25 MWe), Songgoriti (25 MWe), Cangar (110 MWe), Tirtosari (12,5 MWe), Tiris (147 MWe), Argopuro (295 MWe), dan Blawan-Ijen (110 MWe). Tentu hal tersebut menjadi hal yang menarik untuk melakukan pembangunan PLTPB (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi). Salah satu tempat yang mendapatkan perhatian khusus terkait rencana pembangunan PLTPB adalah wilayah Arjuno-Welirang yang masuk kedalam wilayah Taman Hutan Raya (Tahura) Raden Soerjo.

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Tahura Raden Soerjo, disebutkan bahwa Tahura Raden Soerjo adalah kawasan pelestarian alam yang dimanfaatkan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi dalam kelompok hutan Arjuno Lalijiwo, seluas 27.868,30 hektar, yang terletak di Kabupaten Mojokerto, Pasuruan, Malang, Jombang, Kediri dan Kota Batu Provinsi Jawa Timur, dengan desa penyangga sebanyak 44 desa, dan 16 kecamatan.

Tahura telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi pengelolaannya diarahkan untuk pelestarian alam, yaitu flora, fauna, dan ekosistemnya, dengan tujuang pengelolaannnya partisipatif dengan masyarakat desa penyangga, utamanya dalam kegiatan rehabilitas kawasan dan pemanfaatan jasa lingkungan baik wisata alamnya maupun pemanfaatan air, dan juhga kawasan Taman Hutan Raya Raden Soerjo telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai zona inti “Cagar Biosfer Bromo Tengger Semeru Arjuno“. Taman Hutan Raya Raden Soerjo merupakan salah satu dari hulu sungai Brantas, terdapat 163 sumber mata air yang telah teridentifikasi dan diukur debit alirannya. Sumber-sumber air tersebut tersebar di sekitar kawasan Taman Hutan Raya Raden Soerjo dan digunakan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan air bersih, baik keperluan rumah tangga, pertanian, komersil seperti industri pemanfaatan air bersih. Selain potensi flora, fauna dan obyek wisata alamnya. Alih-alih juga akan dibangun panas bumi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik.

Mengizinkan tenaga panas bumi beroperasi dan bisa masuk di dalam kawasan konservasi. Dengan persyaratan, apabila kawasan konservasi untuk perlindungan alam namun untuk suaka alam hal itu tidak memungkinkan karena adanya binatang-binatang yang dilindungi. Perlindungan alam ini termasuk taman nasional, taman wisata alam. Di taman nasional, atau taman wisata alam yang dikelompokkan dalam konservasi sebagai suatu perlindungan alam. Pada perlindungan alam itu dibagi 3 segmen, yaitu zona inti, zona rimba, dan zona pemanfaatan. Zona inti dan zona rimba ini mutlak tidak diperbolehkan atau tidak diperizinkan, dengan memiliki tujuan baik demi melindungi kesehatan paruparu, dalam hal ini yang boleh diizinkan jika hanya berada pada zona pemanfaatan yang dapat dilakukan eksplorasi.

Terdapat beberapa dasar hukum operasional panas bumi, yaitu pada UU No. 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi, lalu PP No. 70 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas PP No. 59 Tahun 2007 Tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi, dan PP No. 07 Tahun 2017 Tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung. Sehingga pengaturan mengenai operasional panas bumi telah diatur secara jelas didalam UU.

Dalam melaksanakan proyek panas bumi tidak diperkenankan untuk cagar alam sesuai dengan ketentuan Pasal 33 PP Nomor 28 Tahun 2011. Sedangkan pada Pasal 36 PP Nomor 108 Tahun 2015 bahwa Tahura dimungkinkan untuk dilakukan proyek panas bumi namun tidak dilakukan dengan kegiatan-kegiatan pertambangan. Dalam peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan Nomor P.4/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2019 ditegaskan bahwa pemanfaatan panas bumi dapat dilaksanakan di Tahura. Namun yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan ini adalah dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat akibat proyek ini.

Penugasan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Arjuno Welirang yang masuk wilayah Taman Hutan Raya Raden Soerjo diberikan oleh Pemerintah kepada PT. Geo Dipa Energi (Persero) sebagaimana keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor: 1748 K/30/MEM/2017, tanggal 11 April 2017. Sebagai tindak lanjut penugasan ini, PT. Geo Dipa Energi (Persero) akan memulai tahap eksplorasi yang baru didahului oleh penyelidikan geologi, geokimia dan geofisika lanjutan, yang semuanya masuk dalam wilayah kawasan hutan Taman Hutan Raya Raden Soerjo, yang merupakan kawasan pelestarian alam. Bahwa jelas Dari uraian tersebut diatas, mengingat sangat pentingnya Taman Hutan Raya Raden Soerjo dalam menjaga keseimbangan ekologi, maka diperlukan sebuah Kajian secara khusus tentang Ekologi Bentang lahan dan Persepsi Masyarakat Terhadap Rencana Eksplorasi Panas Bumi di Taman Hutan Raya Raden Soerjo, sehingga perlu menjaga keseimbangan ekosistem kawasan hutan di Taman Hutan Raya Raden Soerjo.

Mengingat Kegiatan eksplorasi panas bumi di WKP Arjuna Welirang Taman Hutan Raya Raden Soerjo, berdampak sangat tinggi terhadap perubahan ekologi bentang lahan Taman Hutan Raya Raden Soerjo, khususnya yang diakibatkan oleh area permukaan yang digunakan untuk kegiatan eksplorasi, dan area eksplorasi terletak pada kelerengan agak curam sampai dengan sangat curam, dan juga masuk dalam blok perlindungan Taman Hutan Raya Raden Soerjo. Dalam hal ini Masyarakat di sekitar rencana eksplorasi panas bumi, masih belum banyak mengetahui terkait rencana kegiatan eksplorasi panas bumi, karena tidak adanya sosialisasi kepada masyarakat.

Di berbagai daerah telah berdiri beberapa PLTPB yang berdampak langsung kepada masyarakat. Pertama ada PLTPB Mataloko yang berada di Ngada NTT yang menyebabkan kurangnya sumber mata air dan kerusakan lahan pertanian. Kedua, ada PLTPB Baturaden Jawa Tengah yang merusak DAS (Daerah Aliran Sungai) akibat eksplorasi yang mengakibatkan banjir bandang. Ketiga, PLTPB Dieng, Jawa Tengah dengan dampak zat H2S yang meningkat menganggu petani dan ledakan sumur geothermal pada 2016. Itulah beberapa kejadian yang menimpa daerah tempat pembangunan PLTPB di Indonesia.

Di Kota Batu sendiri saat ini mengalami kemerosotan sumber mata air yang saat ini tercatat ada 107 titik sumber mata air yang kini telah mengalami kemerosotan. Di kecamatan Bumiaji dari 57 titik sumber air saat ini hanya tersisa 28 titik saja. Sedangkan di Kecamatan Batu, dari 32 sumber air saat ini hanya tinggal 15 titik saja. Selanjutnya di Kecamatan Junrejo, dari 22 titik sumber mata air saat ini hanya tersisa 15 titik saja. Lalu, ketika rencana pembangunan PLTPB Arjuno Welirang dilaksanakan bisa saja mengakibatkan sumber mata air tersebut tambah berkurang.

Padahal perekonomian Batu sangat menggantungkan pada hasil pertanian dan perkebunan yang tentunya dapat berjalan dengan adanya distribusi air yang cukup ke lahan pertanian maupun perkebunan. Di kota Batu ada sekitar 944.88 Ha lahan perkebunan dan luas pertanian irigasi sekitar 25 Ha-290 Ha untuk padi dan 530 Ha-660 Ha untuk non padi. Tentunya dengan berkurangnya sumber mata air yang mengaliri lahan pertanian dan perkebunan akan mengakibatkan matinya kedua sektor tersebut dan berdampak pada ekonomi masyarakat.

Eksplorasi pengeboran pun dapat membuat sungai membawa sedimen lumpur yang memungkinkan terjadinya kerusakan dalam budidaya ikan maupun persawahan. Lalu zat berbahaya seperti arsen, antimon dan baron bisa saja mencemari air yang akan meyebabkan penyakit kanker dan penurunan kesuburan pada manusia.

Kebutuhan listrik di Jawa Timur sendiri hanya kurang dari angka 2 persen sehingga  dengan mengorbankan lingkungan tentu tidak sebanding dengan dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat. Oleh karenanya perlu dilakukan kajian lebih mendalam dengan melibatkan masyarakat sebagai pihak yang akan menerima langsung dampak akibat pembangunan ini. Tidak hanya itu pendekatan lingkungan pun harus intensif dilakukan untuk mewujudkan pembangunan yang ramah lingkungan. Jangan sampai pembangunan merusak lingkungan walaupun keduanya saling bertentangan.