Siaran Pers Walhi
Jakarta, 03 April 2020
Respons lambat pemerintah mengakibatkan Coronavirus Disease (Covid-19) menyebar dengan cepat. Virus ini melahirkan kekhawatiran dan kepanikan warga. Ancaman serius virus ini membuat banyak pihak termasuk negara abai terhadap persoalan pokok lainnya, seperti konflik agraria dan sumber daya alam. Hal ini menyebabkan oknum kepolisian bersama perusahaan memanfaatkan situsi krisis yang terjadi. Sepanjang Maret hingga awal April 2020, penangkapan paksa, membiarkan dua orang warga dibunuh, penggusuran, kekerasaan dan tindakan intimidatif lainnya terus terjadi terhadap warga yang berjuang mempertahankan kehidupannya.
Beberapa ringkasan kriminaslisasi, kekerasan dan tindakan intimidatif yang dialami warga karena situasi konflik sepanjang Maret s/d awal April 2020 dapat dilihat dari uraian di bawah:
Pertama, kriminalisasi masyarakat Desa Penyang dan masyarakat Desa Tanah Putih, Kalimantan Tengah. Pada 7 Maret 2020 sekitar pukul 02.30, kurang lebih 15 polisi memasuki Mess WALHI menangkan James Watt dkk. Tidak lama berselang, ia dibawa ke Kalimantan Tengah dan ditetapkan sebagai tersangka. Penangkapan ini diduga merupakan skenario jahat PT. Hamparan Masawit Bangun Persada guna menghentikan perlawanan warga. Konflik terjadi sejak tahun 2006. Tanah warga seluas 117 Ha dirampas oleh perusahaan. Tanah ini berada di luar HGU dan IUP perusahaan;
Kedua, pembunuhan dua petani di Lahat, Sumatera Selatan. Konflik agraria ini bermula dari perampasan lahan warga dengan kedok jual beli. Tanah seluah 180,36 hektar dibeli PT. Artha Prigel dari oknum masyarakat dengan harga total dua puluh lima juta rupiah.
Proses peralihan dilakukan secara paksa dengan bantuan oknum-oknum negara dalam kurun waktu 1993 s/d 2003. Kondisi kemiskinan dan kesulitan membuat warga sadar dan berupaya untuk merebut tanahnya kembali. Pada penghujung 2018, warga desa membentuk Forum Pemuda Pemudi Pagar Batu (FP3B) sebagai wadah perjuangan.
Pasca wadah perjuangan tersebut dibentuk, mereka melakukan berbagai upaya, seperti demonstrasi, dan pertemuan dengan berbagai pihak. Pada 21 Maret 2020, 2 orang warga Desa Pagar Batu, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat. Dua orang petani dibunuh oleh virus konflik melalui petugas keamanan PT. Artha Prigel adalah Suryadi (40 tahun/ laki) dan Putra Bakti (35tahun/ Laki).
Dalam peristiwa pembunuhan ini, Polisi yang berada di lokasi tidak mengambil posisi melindungi rakyat yang berjuang mempertahankan tanah sebagai sumber kehidupannya. Polisi yang berada di lokasi justru berada di barisan keamanan perusahaan;
Ketiga, penutupan Tenda Perjuangan Tumpang Pitu, Jawa Timur. Tenda Perjuangan Tumpang Pitu merupakan ‘tenda’ yang memperlihatkan konsistensi mereka menolak investasi tambang emas di lokasi tersebut. Pada 26 Maret 2020, terjadi upaya penutupan tenda tersebut. Warga menolak dan mengatakan “jika tenda perjuangan ditutup, maka tambang juga juga ditutup. Karena jika perusahaan tambang masih beraktivitas produksi, akan ada lalu lalang pekerja, yang datang dari berbagai daerah. Dengan demikian bisa saja hal tersebut juga mempercepat penyebaran virus corona.” Penutupan tenda tidak sekedar karena alasan Covid 19, tapi dianggap mengganggu investasi dan kegiatan pertambangan.
Aparat keamanan membubarkan paksa aksi warga tolak tambang pada Jumat sore, 27 Maret 2020. Bentrokan pun tak terhindarkan. Situasi ini semakin memanas, saat sejumlah orang yang dianggap pro tambang ikut memprovokasi warga tolak tambang. Akibatnya kericuhan terus terjadi hingga Jumat malam;
Keempat, Pembakaran Tanaman Mangrove Warga Penerima Izin Perhutanan Sosial, Sumatera Utara. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kelompok Tani Nipah di Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat mendapatkan izin melakukan swakelola secara penuh di kawasan yang berstatus hutan produksi seluas 242 Ha di ekosistem manggove.
Sayang legalitas perizinan ini tidak membuat mereka mendapat perlindungan. Pada Kamis, 26 Maret 2020, mangrove yang dikelola warga dirusak dengan cara bakar oleh oknum perkebunan sawit. Pembakaran ini diduga dilakukan karyawan perkebunan sawit. Selain itu, aparat kepolisian dan penegak hukum lainnya membiarkan aktivitas kebun sawit illegal seluas 64 Ha dilokasi tersebut. Kejadian ini mengakibatkan upaya rehabilitasi yang dilakukan Kelompok Tani Nipah gagal.
Kelima, Polisi Kawal Korporasi Merobohkan Pondok Penyimpan Padi di Sumatera Selatan. Pada 2 April 2020, Pihak PT. MAR mendatangi lahan Kelompok Tani Mafan di Desa Sedang, Kecamatan Suak Tapeh, Kabupaten Banyuasin. Puluhan orang perusahaan didampingi aparat kepolisian ini hendak menggusur pondok petani yang diduga akan dijadikan kebun sawit.
Para petani yang bersiap memanen padi berusaha menghalang pihak perusahaan yang akan menggusur pondok-pondok tersebut. Pihak perusahaan pun tak menggubris penolakan tersebut. Bahkan perusahaan merobohkan secara paksa pondok-pondok yang berada di lokasi tersebut.
Sejauh ini diperoleh informasi, perusahaan telah merobohkan 3 pondok padi. Ditengah potensi krisis pangan, Polisi malah mengawal upaya baik tani menyiapkan pangan terbaik bagi rakyat.
Berdasarkan potret situasi di atas, WALHI meminta Presiden Joko Widodo sebagai Kepala negara memerintahkan kepolisian agar menghentikan penyalahgunaan kewenangan dalam situasi krisis ini. Presiden harus secara tegas memerintahkan kepada kepolisian melindungi warga, bukan memihak kepada perusahaan. Hukuman okunum yang terlibat melindungi perusahan juga layak dijatuhin hukuman disiplin berat.
Selanjutnya, Presiden harus memerintahkan kepada Menteri ATR/ Kepala BPN, Menteri LHK, Menteri Pertanian dan Kepala Daerah untum memberikan jaminan keselamatan warga dari kondisi konflik agraria dan sumber daya alam. Korporasi-korporasi yang menyalahgunaan situasi krisis saat ini juga harus dihukum dan dicabut izin usahanya.
Narahubung:
Wahyu A. Perdana 082112395919
Manajer Kampanye Pangan Air & Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional WALHI