Pada hari Minggu, 23 Februari 2020, Aliansi Selawase (Selamatkan Waduk Sepat) mencatakan bahwa hujan deras telah mengguyur kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya sejak pukul 13.00 sampai dengan 16.00 WIB. Sehingga menyebabkan banjir hampir setinggi lutut orang dewasa, khususnya di pemukiman warga tepat di bawah tanggul Waduk Sepat.
Di satu sisi, kala ruang resapan semakin kritis di Surabaya. Ada satu kawasan lindung sedang terancam. Kawasan tersebut bernama Waduk Sepat, yang saat ini masih berada dalam ancaman alih fungai menjadi permukiman elit yang digawangi oleh PT. Ciputra Surya, maka hal ini kemudian sangat kontras dengan jargon pro lingkungan hidup. Perlu diketahui Waduk Sepat belum sepenuhnya diuruk saja kerap kali banjir melanda, apalagi kalau sudah berubah menjadi permukiman elit.
Sejalan dengan hal terkait kawasan lindung, Direktur Walhi Jatim, Rere Christanto menyebutkan bahwa mengapa alih fungsi waduk sepat sangat tidak telat, karena Peraturan Daerah (Perda) Kota Surabaya Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW) Kota Surabaya 2014-2034, memandatkan untuk melindungi situs penampung air dan kawasan resapan.
“Ada pasal 41 menyebutkan bahwa Kawasan yang memberikan perlindungan pada kawasan bawahannya salah satunya melingkupi pemanfaatan waduk atau bozem yang tersebar di Unit Pengembangan I Rungkut, Unit Pengembangan V Tanjung Perak, Unit Pengembangan X Wiyung dan Unit Pengembangan XII Sambikerep.” Cetus Rere
Lalu ia menambahkan jika Waduk Sepat sendiri secara lokasi berada dalam wilayah Unit Pengembangan X Wiyung yang melingkupi, Kecamatan Wiyung, Kecamatan Lakarsantri dan Kecamatan Karang Pilang.
“Untuk memahami konteks mengapa waduk atau boezem masuk dalam kawasan yang memberikan perlindungan pada kawasan bawahannya kita bisa melihat pada bagian ketentuan umum dimana dinyatakan bahwa yang dimaksud kawasan yang memberikan perlindungan pada kawasan bawahannya adalah kawasan yang memberikan perlindungan pada skala lokal lingkungan atau skala kota dan berfungsi sebagai kawasan resapan air, pencegahan banjir, erosi, dan untuk melindungi ekosistem di kawasan sekitarnya.” Tambah Rere.
Dari Perda RTRW Kota Surabaya kita bisa melihat bahwa fungsi waduk untuk memberikan perlindungan pada skala kota sebagai kawasan resapan air dan pencegahan banjir, juga sebagai Ruang Terbuka Hijau. Sebab itu kawasan sempadan waduk pun kemudian masuk menjadi kawasan perlindungan setempat. Pada pasal 42 ayat 7 Perda RTRW digariskan bahwa kawasan perlindungan setempat sempadan waduk atau boezem meliputi seluruh sempadan waduk atau boezem yang tersebar di seluruh wilayah Kota Surabaya dengan jarak sempadan paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Pada bagian ketentuan umum yang tercantum dalam pasal 1 poin ke 47 tercantum, jika kawasan sempadan waduk atau boezem merupakan salah satu wilayah yang dilindungi, karena berfungsi sebagai wilayah perlindungan tangkapan air atau wilayah yang melindungi waduk atau boezem. Sementara dalam pasal 14 sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 13 a, menyebutkan jika waduk merupakan kawasan yang dilindungi karena fungsi resapannya.
Penetapan perlindungan terhadap waduk-waduk di Unit Pengembangan X Wiyung yang melingkupi: Kecamatan Wiyung, Kecamatan Lakarsantri dan Kecamatan Karang Pilang tersebut bukan tanpa sebab, dikarenakan wilayah di Lakarsantri, Wiyung, dan Karang Pilang memang banyak tersebar ruang terbuka hijau, kawasan sungai dan waduk.
Wilayah tersebut menjadi penyangga untuk wilayah di bawahnya, sebagai salah satu penyeimbang lingkungan hidup yang fungsinya sangat penting, yakni sebagai kawasan pengendali bencana khususnya banjir. Tentu hal tersebut sangat kontradiktif dengan perampasan ruang hidup yang kerap dilakukan oleh Pemkot Surabaya, melalui alih fungsi kawasan masif, sebagaimana yang terjadi di Waduk Sepat yang berada di wilayah Lakarsantri.
Tak hanya dalam dalam konteks RTRW saja waduk dilindungi, dalam UU Konservasi Nomor 5 Tahun 1990, menyebutkan jika suatu kawasan memiliki nilai penting, sebagai kawasan penyangga atau kawasan yang memiliki fungsi vital seperti untuk resapan air dan penampung air, seperti waduk merupakan wilayah yang harus dilestarikan dan dilindungi.
Hingga hari ini ruang resapan di Surabaya semakin terancam, karena sesatnya paradigma terkait Ruang Terbuka Hijau. Di satu sisi ekploitatif di satu sisi ingin meningkatkan RTH. Perlu diketahui RTH yang ada di Surabaya hingga 2018 lalu baru 7.290,53 (21,79 persen) dari yang ideal yakni 30 persen. RTH ini terdiri dari luas makam sudah mencapai 283,53 hektar, lapangan dan stadion 355,91 hektar, telaga atau waduk atau boezem 192,06 hektar, RTH dari fasum dan fasos permukiman 205,50 hektar, kawasan lindung 4.548,59 hektar, hutan kota 55,81 hektar, taman dan jalur hijau 1.649,10 hektar.
Waduk sendiri sudah diakui sebagai RTH, tetapi malah akan dialihfungsikan. Sebagaimana kawasan Pamurbaya di Surabaya Timur juga banyak alih fungsi kawasan pesisir, khususnya mangrove untuk perumahan. Di satu sisi konteks RTH juga kacau, karena memasukkan lapangan dan makam. Seharusnya RTH ini dimaknai sebagai kawasan lindung seperti hutan kota dan ruang nol energi sebagai wilayah resapan. Dengan adanya kesesatan ini.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Anggota Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung pada tahun 2016 bahwa dengan rata-rata curah hujan 217,523 mm/jam dengan durasi hujan rata-rata 30 menit dan curah hujan terdistribusi merata pada seluruh DAS Saluran Lidah Kulon seluas 143,8 hektar serta dengan intensitas konstan ditemukan bahwa total volume hujan yang didapat dari hidrograf adalah sebesar 389002,97 m3. Dengan kedalaman efektif sebesar hanya 1 m dan luas waduk sepat sebesar 6,675 Ha, maka volume waduk sepat adalah sekitar 70000 m3. Sehingga waduk sepat tidak dapat menampung volume hujan, dengan asumsi hujan yang turun di delapan (8) titik Sub-DAS mengalir ke Waduk Sepat.
Sejalan dengan itu, bajir tempo hari yang melanda mawasan Lidah Wetan khususnya yang beririsan dengan wilayah sekitar Sepat, mengalami banjir yang signifikan. Walau cepat surut, tetapi adanya banjir menimbulkan pertanyaan kritis, mengapa sekarang ada banjir dengan intensitas air yang cukup deras di wilayah tersebut, padahal sebelumnya tidak. Hal ini senada dengan ungkapan salah seorang warga di sana, Choiru Badru mengungkapkan jika banjir di dekat rumahnya tidak pernah separah ini.
“Sebelumnya tidak pernah seperti ini, walau cepat surut tapi ini parah. Hal ini mungkin dikarenakan resapan air yang semakin hari semakin hilang.” Terang pemuda yang akrab dipanggil Choiru tersebut.
Senada dengan Choiru, Rochim salah seorang warga pejuang Waduk Sepat, mengatakan jika mengacu pada hasil penelitian mahasiswa Teknik Lingkungan ITB, kita bisa melihat bahwa yang dibutuhkan untuk melakukan perlindungan terhadap kawasan Surabaya Barat dari ancaman banjir adalah pendalaman, perbaikan dan perluasan terhadap waduk-waduk yang ada untuk memastikan bahwa kawasan resapan air dalam bentuk waduk atau boezem ini berfungsi optimal.
“Seharusnya waduk atau kawasan resapan seperti Waduk Sepat itu dilestarikan, bukan malah dialihfungsikan. Apalagi proses hukumnya juga cacat. Tapi anehnya kenapa Hakim selalu memenangkat Ciputra. Ini aneh, hukum di negeri ini aneh hanya untuk pemodal saja.” Tegas Rochim.
Lantas ia juga mengingatkan, jika saat ini saja volume tampung waduk sepat telah kewalahan mengatasi tingginya curah hujan yang ada, maka bisa dibayangkan betapa semakin terancamnya wilayah ini dari bencana banjir jika Waduk Sepat dihilangkan dan dialihfungsikan menjadi permukiman eksklusif.
“Oleh karena itu, bersamaan dengan ini, mari kita kabarkan ke semua warga Surabaya, bahwa kelestarian waduk Sepat adalah tanggung jawab bersama.” Pesan tegas dari Rochim