Rilis Media
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur
Rabu (19/2/2019), Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur akan mulai persidangan kedua sengketa informasi yang diajukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur terkait perizinan pertambangan emas di wilayah Tumpang Pitu, Kabupaten Banyuwangi.
Permohonan sengketa informasi ini diajukan karena permintaan informasi yang diajukan WALHI Jatim pada tanggal 26 Agustus 2019 terhadap Pemerintah Propinsi Jawa Timur tentang dokumen evaluasi dan pengawasan atas salah satu proyek yang berada di kawasan rawan bencana yakni yang dilakukan oleh PT Merdeka Copper Gold, Tbk melalui entitas anak perusahaan pertambangan di bawah bendera PT Bumi Suksesindo (PT BSI) dan PT Damai Suksesindo (PT DSI) di Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi sebagai bentuk wujud kegiatan pembangunan yang beresiko tinggi, sesuai Pasal 12 huruf (d) dalam UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Kebencanaan, serta Dokumen AMDAL/Izin lingkungan PT DSI dan Izin Usaha Pertambangan PT BSI dan PT DSI tidak mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
Pertambangan yang dilaksanakan PT BSI dan PT DSI di Banyuwangi, berada di wilayah pesisir selatan menurut Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemerintah Propinsi Jawa Timur merupakan daerah rawan bencana dan karenanya menjadi kawasan lindung Propinsi Jawa Timur. Kemunculan usaha pertambangan diwilayah rawan bencana yang telah dinyatakan sebagai kawasan lindung ini yang mendasari pertimbangan WALHI Jatim mengajukan permohonan sengketa informasi, untuk mencari tahu lebih lanjut bagaimana status evaluasi dan pengawasan atas salah satu proyek yang berada di kawasan rawan bencana yakni yang dilakukan oleh PT Merdeka Copper Gold, Tbk melalui entitas anak perusahaan pertambangan di bawah bendera PT Bumi Suksesindo (PT BSI) dan PT Damai Suksesindo (PT DSI) di Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi ini serta perijinan pertambangan mereka disana.
Dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di Istana Negara pada 23 Juli 2019, Presiden Joko Widodo, meminta agar pihak-pihak terkait tegas terhadap pemerintah daerah. Ketegasan yang dimaksud adalah larangan untuk tidak membangun proyek di kawasan rawan bencana. Sebagaimana diketahui bahwa wilayah ini memiliki sejarah bencana gempa dan tsunami pada 03 Juni 1994 yang menimbulkan kehancuran, dan menelan korban sedikitnya 300 jiwa. Wilayah ini adalah satu kawasan rawan bencana (KRB) dan terletak di lempeng megathrust selatan Jawa. Sehingga dengan beroperasinya kegiatan pertambangan tersebut semakin menambah potensi kerawanannya dan menyebabkan rusaknya kawasan penyangga dan kawasan evakuasi yang dibutuhkan oleh warga dan ekosistem di sekitarnya.
Patut diketahui pada bulan Juli 2019 telah terjadi gempa berturut-turut sebanyak 3 (tiga) kali di pesisir selatan Banyuwangi(https://jatim.idntimes.com/news/jatim/mohamad-ulil/gempa-berkekuatan-49-magnitudo-ratusan-warga-pancer-mengungsi), yang telah menimbulkan beberapa kerusakan di tiga Desa yaitu Kandangan, Sarongan, dan Sumberagung. Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono menyatakan hasil monitoring BMKG menunjukkan adanya klaster yang mengalami peningkatan aktivitas seismik mencolok. Klaster tersebut adalah zona selatan Bali dan Banyuwangi, zona Cilacap dan Pangandaran, dan Selat Sunda. Daryono juga mengingatkan bahwa setiap gempa besar selalu di dahului oleh serangkaian aktivitas gempa pendahuluan (https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20190813174429-199-420991/penjelasan-bmkg-soal-isu-megathrust-penanda-gempa-besar).
Jika merujuk kepada penegakkan fungsi pengawasan kebencanaan yang telah di amanatkan oleh UU No. 24 Tahun 2007 Pasal 71 yang menegaskan tentang peran serta fungsi pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap seluruh sumber, kebijakan pembangunan, dan kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana, maka sudah menjadi kewajiban Pemerintah Propinsi Jawa Timur untuk memiliki dokumen evaluasi dan pengawasan terhadap aktivitas usaha PT BSI dan PT DSI di pesisir selatan Kabupaten Banyuwangi ini.
Aktivitas pertambangan yang tidak mengindahkan keselamatan masyarakat dan lingkungan telah lama menjadi momok mengerikan bagi kelestarian kehidupan di berbagai wilayah. Menurut catatan WALHI Jatim, sejak tahun 2013 hingga tahun 2018, terus tercatat peningkatan bencana ekologis di Jawa Timur. Pada tahun 2013 dan 2014 tercatat 233 kejadian bencana ekologis di Jawa Timur, pada tahun 2015 angka ini naik menjadi 297 kejadian, angka ini naik terus hingga di tahun 2018 tercatat sebanyak 455 kejadian bencana ekologis. Bencana ekologis adalah akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan lingkungan dan gagalnya sistem pengurusan alam. Banjir, tanah longsor, abrasi, dan kekeringan yang diakibatkan kerusakan lingkungan karena aktivitas manusia adalah bentuk-bentuk bencana ekologis yang mengancam kehidupan. Dalam hal ini, bencana ekologis menunjukkan bahwa pemerintah seringkali gagal mematuhi regulasinya sendiri yang menyebabkan rusaknya fungsi-fungsi ekosistem.
Pembiaran, atau bahkan pelanggaran perijinan terhadap wilayah yang mempunyai nilai penting secara ekologis tidak bisa terus dibiarkan. Kita tengah menghadapi konsekuensi dari semakin banyaknya wilayah-wilayah lindung yang rusak dengan bentuk peningkatan jumlah bencana ekologis setiap tahunnya di Jawa Timur.
Maka, ketimbang menggembar-gemborkan tentang transparansi dengan bentuk tur mendatangi kawasan pertambangan dan menunjukkan aktivitas-aktivitas pertambangan, adalah lebih baik bagi Pemerintah Propinsi Jawa Timur serta PT BSI dan PT DSI untuk menyediakan dokumen analisa resiko bencana serta evaluasi pengelolaan proyek di wilayah rawan bencana sebagaimana regulasi yang ada, karena jika dalam urusan dokumen saja terjadi kebuntuan informasi, maka pernyataan maupun kegiatan lainnya tidak lebih dari kosmetik belaka.
Kontak: Rere Christanto – 083857642883 (Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur)