RUU “Cipta Kerja” Kemunduran Hukum Indonesia

Siaran Pers WALHI

 

14 Februari 2020

Pemerintah mengabaikan keselamatan rakyat, serta meninkatkan acaman Bencana dan Lingkungan Hidup. Pada konteks ini akibat dari ditandatanganinya Supres RUU Omnibus Cipta Kerja oleh presiden. Adanya RUU tersebut tak pelak menjadi kado pahit bagi perlindungan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup.

Pada dasarnya, ada dua hal utama yang menjadi pokok masalah dalam “RUU Cipta Kerja” ini, diantaranya adalah:

Pada konteks Pertama, yakni direduksinya norma pertanggungjawaban hukum korporasi dalam RUU Cipta Lapangan Kerja. Dihapusnya unsur ‘tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan’ dikhawatirkan mengaburkan pengoperasian ketentuan ini.

Belum lagi ketentuan Pasal 49 UU Kehutanan diubah total, tidak ada kewajiban tanggung jawab terhadap kebakaran di areal konsesi, di RUU “Cipta Kerja” diubah sekadar bertanggungjawab untuk melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran.

Pada judicial review yang diajukan dua asosiasi pengusaha, tepatnya di tahun 2017 juga telah diminta penghapusan Pasal 99 UU PPLH. Karena secara substansial pasal 98 dan 99 merupakan dua ketentuan yang dipergunakan untuk menjerat korporasi-korporasi pembakar hutan dan lahan.

Maka pada konteks RUU Cipta Kerja, tidak hanya pada pasal 99 yang dilemahkan, termasuk juga Pasal 98. Tetapi pada ketentuan pertanggungjawaban pidana, ada pokok penyelesaian  barus, yakni harus terlebih dahulu dilakukan melalui skema administrasi. Bahkan pada ketentuan pidana ke depan sangat sulit dioperasikan kepada korporasi, sebab dalam aturan baru tersebut tidak ada sanksi denda. Menurut kami, seharusnya perumus RUU harus konsisten membedakan sanksi pidana dan sanksi administrasi.

Hal di atas tentu sudah dapat diduga, karena jika melihat peta aktor, secara gambalang dengan ditunjuknya Ketua Umum Kadin sebagai ketua Satuan Tugas Bersama (Task Force) Naskah Akademik dan Draft RUU, maka tendensi RUU tersebut sudah terbaca akan menguntungkan siapa. Terlebih lagi, jika ditelaah secara mendalam ada bukti beberapa ketentuan vital yang direduksi, seperti ketentuan pertanggungjawaban hukum yang pernah dicoba diuji oleh APHI dan GAPKI di Mahkamah Konstitusi.

Pada Pada 19 Mei 2017 saja, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) melalui kuasa hukumnya Refly Harun dkk, menguji Pasal 69 ayat (2), Pasal 88 & Pasal 99 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) serta Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan).

Permohonan Pengujian Undang-Undang (Nomor Perkara: 25/PUU-XV/2017). Pada sidang di Mahkamah Konstitusi tersebut, Hakim Konstitusi Palguna menyampaikan:

Di dalam wacana hukum lingkungan, kita sering menyebut ada istilah eco terrorism, dan sebagainya. Itu yang salah satu juga pendorong makin memperkuat diterimanya universalitas prinsip strict liability ini. Dan kita juga tahu prinsip strict liability yang bisa membebaskan kan apa yang disebut sebagai act of God, force majeure, dan sebagainya itu kita sudah semua tahu.”

Kedua, ini adalah hal yang paling konyol. Pada hal ruang partisipasi publik dihapuskan, yang artinya hak partisipasi publik melalui jalur peradilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 93 UU PPLH untuk mengoreksi atau menguji izin lingkungan dan/atau izin usaha melalui Peradilan Administrasi (PTUN) yang diterbitkan oleh pemerintah akan dihapus.

RUU ini pantas disebut sebagai RUU anti rakyat, demokrasi dan kelestarian, karena pengesahannya hanya memperhatikan dan mengakomodir kepentingan bisnis. Sama sekali tidak menaruh ruang perlindungan pada hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) secara organisasional di seluruh Indonesia dengan tegas menolak RUU Cipta Kerja yang sesat itu. Persoalan mendasarnya bukan hanya karena ketiadaan partisipasi publik (deliberatif) dan keterbukaan informasi RUU ini secara substansi, karena sejak awal secara paradigmatik memang untuk melayani kepentingan investasi.

Janji Jokowi untuk berpihak pada rakyat dan lingkungan hidup hanya bualan, khas politisi pragmatis. Karhutla dan kerusakan lingkungan hidup akan akan memperparah kondisi krisis apabila RUU ini dipaksa untuk disahkan. DIBAHAS SAJA TIDAK PANTAS!!!

Narahubung
Boy Even Sembiring  (Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif nasional WALHI) +62 852-7189-7255

Wahyu A. Perdana (Manajer Kampanye Pangan-Air & Ekositem-Esensial Eksekutif nasional WALHI) +6282112395919