Pada awal tahun 2020 tidak ada lagi istilah tempat aman bagi rakyat, ekpansi industri ekstraktif semakin meluas, apalagi hal tersebut dilegitimasi oleh pernyataan presiden Jokowi pada beberapa waktu lalu, yang mana ia mengatakan bahwa segala unsur yang menghalagi investasi harus diberangus. Begitu juga yang terjadi pada warga yang tinggal di Desa Sumberagung, sebuah desa yang dekat dengan gunung Tumpang Pitu. Wilayah yang awalnya merupakan kawasan lindung karena menjadi penyangga dari Taman Nasional Meru Betiri, secara mengejutkan diubah statusnya oleh Menteri Kehutanan atas permintaan Bupati Banyuwangi kala menjadi kawasan produksi. Perubahan status melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.826/Menhut-II/2013, menguatkan ekspansi industri ekstraktif berupa tambang emas di bawah Merdeka Cooper Gold yang secara spesifik dijalankan oleh PT. Bumi Suksesindo (BSI) dan PT. Damai Suksesindo (DSI).
Kawasan Pesisir Selatan Jawa yang memiliki kerentanan bencana tinggi, tampaknya tak terlampau dihiraukan oleh pemerintah. Bahkan BNPB mengatakan kawasan Pesisir Selatan memiliki tingkat bencana yang tinggi, salah satunya ialah gempa dan tsunami. Hal ini diamini oleh Widjo Kongko peneliti dari Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) yang mengatakan bahwa kawasan Selatan Pulau Jawa berpotensi mengalami megathrust bermagtitudo 8,8 dan berpotensi menyebabkan tsunami setinggi 20 meter. Potensi megarhrust ini bahkan sudah dikaji oleh Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen), memalui gambaran Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia (Peta Gempa) yang disusun pada 2017 yang mengatakan bahwa gempan yang berasal dari megathrust selatan Jawa pernah terjadi di Banyuwangi Jawa Timur tahun 1994 dan 2006 di Pangadaran Jawa Barat.
Potensi bencana semakin meningkat mengingat kawasan Pesisir Selatan Jawa Timur berdekatan dengan Samudra Hindia dan busur luar Circum Meditteranean, yang rawan dihinggapi bencana berupa gempa. Dari potensi bencana besar di Pesisir Selatan tersebut, BNPB mencatat akan ada sekitar 584 desa berpotensi terdampak bencana tsunami. Tetapi peringatan terkait bencana besar tidak terlalu diperhatikan oleh pemerintah, berkaca dengan ditetapkannya kawasan Pesisir Selatan Jawa sebagai wilayah pertambangan melalui Kepmen ESDM, Nomor 1204 K/30/MEM/2014. Salah satu wilayah yang terancam itu adalah kawasan gunung Tumpang Pitu, karena ditetapkan sebagai wilayah pertambangan di bawah eksploitasi PT. BSI dan PT. DSI.
Luka lama Tsunami tahun 1994 di Banyuwangi bagian selatan, di mana Tumpang Pitu sebagai saksi sejarah, saat orang-orang di desa Sumberagung berhamburan keluar rumah dan berlari mencari tempat perlindungan, karena gelombang tsunami menghantam desa mereka. Tumpang Pitu sendiri secara tidak langsung menjadi pelindung bagi warga Sumberagung saat itu, karena mampu menghalau terjangan tsunami. Tetapi kini gunung tersebut berada dalam ancaman, pertambangan emas akan menghancurkan keberadaannya. Hal tersebut dapat bermakna bahwa potensi bencana akan semakin tinggi, dan keselamatan rakyat dipertaruhkan.
Dalam wawancara Mongabay terkait liputan Tumpang Pitu, salah seorang warga bernama Fitri mengungkapkan, jika di tahun 1994 Banyuwangi dilanda Tsunami. Ia menjadi saksi terkait ganasnya Tsunami, yang mana telah merengut korban sekitar 239 warga Dusun Pancer, Desa Sumberagung. Ia lalu menambahkan jika gunung Tumpang Pitu sebagai salah satu yang menyelamatkan nyawanya bersama Ibunya kala itu, selain Tumpang Pitu ada sekitar gunung Salakan, bukit Goa Macan yang turut menjadi benteng perlindungan warga.
“Jika Tumpang Pitu rata, tak lagi menjulang, air laut bercampur limbah, bagaimana bila bencana tsunami datang? Bukan saya berharap tsunami. Saya hanya berpikir skenario terburuk. Jika tak ada Tumpang Pitu sebagai penahan alami, mau jadi apa orang-orang yang hidup di sini?” Ungkap Fitri penuh keresahan, kala memandang mengapa pentingnya keberadaan Tumpang Pitu.
Kondisi itulah yang turut melatarbelakangi perjuangan warga Tumpang Pitu dalam menolak pertambangan emas, mereka memiliki memori kolektif mengenai ganasnya bencana tsunami di tahun 1994. Gunung Tumpang Pitu menurut mereka adalah benteng pertahanan alami yang secara tidak langsung melindungi mereka dari ganasnya terjangan tsunami. Selain itu Tumpang Pitu memiliki nilai yang penting bagi kehidupan warga di sekitarnya, menjadi pelindung dari kencangnya angin Samudra Hindia, rumah bagi aneka flora dan fauna, penyedia air bagi para warga sekitar dan tempat yang menjadi penanda bagi para nelayan agar tidak tersesat kala melaut.
Hal tersebut sering diungkapkan oleh Ahmad, salah seorang nelayan dari Pancer. Ia mengatakan Tumpang Pitu itu tidak hanya memberi kehidupan bagi petani, pegiat wisata di Pulau Merah tetapi juga pada nelayan.
“Kalau Tumpang Pitu itu hancur karena tambang, itu akan mempengaruhi laut kita. Banjir lumpur pada tahun 2016 silam itu telah menyebabkan ikan menjadi jarang. Jikalau itu diteruskan nelayan akan menjadi korban. Tumpang Pitu juga menjadi tetenger atau tanda untuk nelayan, kalau itu hilang maka nelayan pun juga akan dirugikan. Alam itu dijaga bukan dihabiskan.” Terang Ahmad, salah seorang nelayan yang menolak kehadiran tambang emas di Tumpang Pitu.
Bertahan Demi Benteng Alami
Setelah melakukan perlawanan besar pada tahun 2015 silam, yang mengakibatkan terbakarnya tapak PT. BSI dan berujung represifitas aparat keamanan negara. Tidak berhenti di situ saja, pada tahun 2017 silam empat warga dikriminalisasi, mereka difitnah menyebarkan ajara komunisme. Tetapi itu semua tidak juga menghentikan perlawanan warga untuk mempertahankan Tumpang Pitu dari ancaman pertambangan PT. BSI dan PT. DSI.
Tercatat pada tanggal 31 Oktober 2019 warga Pancer berhamburan menjaga di pinggir jalan, mereka khawatir dengan adanya rencana riset tambang oleh para pekerja tambang PT. Bumi Suksesindo (BSI) dan periset Universitas Trisakti, Jakarta di Gunung Salakan.
Gunung Salakan merupakan gunung yang berdekatan dengan gunung Tumpang Pitu yang masuk dalam konsesi PT. DSI. Belajar dari peristiwa ditambangnya gunung Tumpang Pitu, warga tak mau lagi kecolongan, artinya mereka tidak akan menoleransi terhadap adanya penelitian dari kampus manapun termasuk Universitas Trisakti. Saat itu bergegaslah aparat keamanan dari koramil dan polisi untuk mengamankan pekerja tambang dan periset tambang dari Trisakti, tetapi warga tetap bertahan dan tidak ingin tambang semakin meluas lalu menghancurkan ruang hidupnya.
“Kami tidak ingin tempat kami ditambang, sudah cukup. Kami ingin hidup dalam kedamaian tanpa tambang yang membuat konflik masyarakat. Kami tidak akan membiarkan penelitian yang terus membela tambang atau melancarkan pertambangan. Mereka itu tidak sadar apa, penelitiannya berpotensi merusak kehidupan kami, dia tidak merasakan, kamilah yang terampas hidupnya.” Cetus salah seorang warga yang tak mau disebutkan namanya.
Setelah berjalan beberapa bulan, para periset tambang tidak bisa mengakses wilayah yang rencananya akan dijadikan kawasan eksploitasi PT. DSI. Tercatat mereka mencoba melakukan riset selam tiga kali, tetapi ditolak oleh warga. Puncaknya pada 7 Januari 2020 pasukan Brimob dari Polda Jatim diterjunkan di sekitar kawasan gunung Salakan di wilayah dusun Pancer. Kehadiran Brimob merupakan permintaan dari pihak tambang dalam rangka melancarkan riset mereka bersama Trisakti. Tetapi kehadiran Brimob tidak membuat nyali warga ciut, mereka mengusir Brimob tersebut dari wilayah Pancer. Kemudian warga mendirikan tenda perjuangan yang diisi secara bergantian, dan kini sudah memasuki hari ketiga.
“Ada banyak Brimob tiba-tiba datang ke tempat kami, mereka ini bagian tambang atau negara. Kok membela tambang terus, kapan taubat. Gunung Tumpang Pitu itu dihancurkan, kok malah penghancurnya dilindungi.” Terang warga Pancer saat kejadian penolakan pasukan Brimob untuk mengamankan riset tambang.
Alasan klasik yang sering dijadikan dalih penempatan aparat keamanan adalah status objek vital negara, padahal itu adalah perusahaan swasta yang rakus tanah. Pemerintah lebih protektif kepada investasi daripada rakyatnya sendiri, secara tidak langsung pemerintah juga merampas ruang hidup dan keselamatan rakyatnya sendiri. Karena membiarkan penambangan di wilayah rawan bencana, tidak menghiraukan hak dasar rakyat seperti hidup di lingkungan baik dan sehat. Selain merampas ruang hidup warga, pemerintah juga telah melanggar konstitusinya sendiri.