Melek Ekologi: Launching Majalah LPM aL-Millah edisi 36 “Melukai Alam demi 120 Megawatt”

*Umi, Irfan, Zanida, Ririn & Eka (al-Millah)

Di balik riuhnya Telaga Ngebel, di ujung utara perbatasan Ponorogo – Madiun tepatnya di Dusun Semenok, Desa Ngebel telah berdiri tower tinggi milik PT Bakrie Darmakarya Energi. Sulisrianto, Kepala Bidang Penataan dan Penataan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (P4LH) Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Ponorogo memberikan pengantar mengenai perusahaan tersebut pada “Melek Ekologi” yang diadakan LPM aL-Millah IAIN Ponorogo dalam rangka Launching Majalah ke-36 Senin (25/11/19) tempo hari.

Dalam forum dialog publik ini, Sulis menjelaskan bahwa PT Bakrie Darmakarya Energi (BDE) merupakan perusahaan minyak dan gas bumi yang mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi yang akan menyumbang pemasukan bagi negara. Saat ini, PT BDE akan melakukan pengeboran panas bumi di Kecamatan Ngebel. PT BDE sudah mengantongi izin dari Gubernur Jawa Timur dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Nomor 188/63/KPTS/119.3/2011 tentang Usaha Panas Bumi. Selain itu, berdasarkan Surat Keputusan Menteri ESDM No. 1788 Kl 331 MEM/2001, tanggal 23 Mei 2017 daerah panas bumi Telaga Ngebel ditetapkan sebagai Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi seluas 31.880 hektare. Sulis berharap, dengan adanya PLTP di Ngebel dapat menghasilkan listrik untuk wilayah Madiun, Ponorogo, Magetan dan Pacitan. Ia menjelaskan, tahap eksplorasi dibagi menjadi tiga. Yakni, tahap pra-eksplorasi dimana akan dilakukan pemerataan lahan. Kemudian, tahap eksplorasi dan pasca-eksplorasi. Pengeboran akan dilaksanakan dalam 24 hari kerja dan membutuhkan air 30 liter/detik.

Sesuai dengan tema yang diusung dalam dialog ini, “Menilik Dampak Lingkungan PLTP Ngebel”. Sulis memaparkan beberapa dampak yang dapat terjadi akibat adanya proyek PLTP. Ia membacakan dampak yang tertulis di dokumen Usaha Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL). Dampak tersebut antara lain, penurunan kualitas udara yang bersumber dari volume kendaraan, peningkatan kebisingan, kerusakan jalan, perubahan fungsi lahan yang berdampak pada ekosistem sawah dan penurunan kualitas air. Di samping itu, DLH tetap berupaya mengelola dan memantau lingkungan daerah sekitar melalui pelaporan rutin enam bulan sekali dan monitoring lapangan.

Meski demikian, energi ini dianggap tidak akan mencemari udara. “Pembangkit ini relatif tidak mencemari dan mengotori udara karena panas bumi merupakan energi baru terbarukan, tidak seperti pembangkit lain yang menghasilkan limbah B3 karena bersumber dari fosil,” terang Sulis.

Agus, salah satu warga sekitar proyek PLTP menampik pernyataan itu. Ia mengatakan bahwa lingkungan sekitar ia tinggal sudah terasa dampaknya. “Sekitar dua sampai tiga tahun terakhir wilayah Ngebel, yang dulunya sejuk sudah mulai terasa panas,” ujarnya yang diiyakan oleh peserta diskusi.

Oleh karena itu, Agus berharap ke depannya mahasiswa bisa membuat forum guna mempertemukan lebih dekat lagi dengan warga sekitar. “Jadi bukan hanya di sini saja, mahasiswa bisa datang langsung ke lokasi untuk meninjau,” tuturnya.

Selain itu, Sulis juga mendapatkan pertanyaan dari Dony Faelani, salah satu mahasiswa STAI Ma’arif Magetan. Ia bertanya, “sudahkah ada antisipasi dari dampak negatif yang mungkin timbul dari kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi ini?

Sulis kembali menegaskan bahwa antisipasi dampak lingkungan semuanya akan dilaksanakan sesuai dokumen UKL-UPL PT BDE. Ia juga menyayangkan pihak panitia penyelenggara tidak bisa menghadirkan PT BDE dalam forum.  “Ya itu dari versi kami sebagai pemerintah, bukan sebagai pemrakarsa,” katanya.

Izin Lingkungan Eksplorasi PLTP Setara dengan Industri Rumahan?

Panji Mulkillah Ahmad, salah satu penulis modul Selamatkan Slamet menjadi narasumber. Ia terlibat langsung dalam advokasi masyarakat sekitar Gunung Slamet yang menolak Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Baturaden.

Ketika diberikan waktu oleh Ahmad Rizal (moderator), ia langsung menanggapi pernyataan Sulisrianto (DLH Ponorogo). Sulis menjelaskan bahwa izin lingkungan tahap eksplorasi PT Bakrie Darmakarya Energi berupa UKL-UPL (Usaha Pengelolaan dan Pengawasan Lingkungan), baru kemudian menggunakan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) saat eksploitasi. Padahal menurut Panji, pada masa eksplorasi itulah risiko banyak terjadi. “Bayangin aja, kita misalkan gunung tempat PLTP itu seperti tumpeng. Nah, PT akan membuat lubang dan mencari sumber energi, seperti icip-icip tumpeng. Ketika belum ketemu, mereka akan terus mencari. Kan lama-lama habis juga?” ujar Panji.

Ia menyontohkan salah satu kasus di Gunung Salak, izin eksplorasi  terus menerus diperpanjang, seakan tidak ada batas waktunya. Selain itu, sosialiasi bukan dilakukan sebelum eksplorasi, melainkan  dilakukan dengan berbagai  macam cara.

Selanjutnya ia menjelaskan ulang apa yang sudah tertulis di modul Selamatkan Slamet. Pada Bulan November 2016 sampai 2017 dan akhir 2017 sampai 2018 di musim penghujan, yang  sebelumnya tidak pernah ada pada sejarah pada fenomena air keruh. Air keruh terjadi pada fase eksplorasi ketika perusahaan membabat hutan lindung kemudian membangun fasilitas seperti jalan dan sebagainya ketika musim hujan.

Apabila tanah itu disiram air hujan, air itu akan mengangkat material-material seperti lumpur. Tanah di hutan lindung juga terbawa air, juga kayu-kayu bakar yang menghancurkan beberapa jembatan desa. Perusahaaan beralibi, itu merupakan sebuah kelalaian. “Itu  bukan sebuah kelalaian namun kegagalan dalam perencanaan,  artinya perencanaan mereka itu tidak detail, sehingga tidak ada perkiraan apa yang akan terjadi,” tutur pria yang sedang menempuh pendidikan Magister di UGM ini.

Panji juga menyangsikan kajian dokumen izin lingkungan yang dangkal, tidak bisa mengantisipasi  hal-hal yang di luar perkiraan.  Menurutnya, persoalannya yang salah bukan  oknum, melainkan sistem. Sistem ini menerobos segala cara untuk mendirikan PLTP kemudian tidak bisa memantau apa yang terjadi. “Bayangkan sebuah pembangunan PLTP itu hanya menggunakan dokumen-dokumen yang setara dengan industri rumahan, padahal dampak yang dihasilkan itu lintas kabupaten. Industri rumahan macam apa yang dampaknya lintas kabupaten? Ini  tidak masuk akal,”  ungkapnya.

Belum usai di situ dampak yang sudah terjadi di Gunung Slamet. Ia menunjukkan peta Kabupaten Banyumas, di sana dapat dilihat bahwa sumber air sekitar WKP (Wilayah Kerja Pertambangan) PLTP sudah mulai berkurang. Di lereng Gunung Slamet bagian selatan masih jernih, banyak digunakan oleh warga untuk  kebutuhan sehari-hari mulai dari pertanian, perikanan termaksud untuk memproduksi  bambu. Pada saat itu, industri rumahan itu terpaksa tutup. Hanya yang punya kapital atau modal untuk membeli air dari PDAM.

Tidak hanya berhenti di situ, satwa yang tadinya tinggal di hutan saat itu turun ke pemukiman warga. Kera dan babi hutan yang tidak pernah turun itu merusak atau memakan tanaman warga.

Terakhir, ia menegaskan bahwa mahasiswa khususnya peserta dialog publik memiliki beban moral. “Sekarang teman-teman kan sudah terima semua, sudah baca. Ada beban moral di pundak teman-teman. Apa yang akan teman-teman lakukan setelah mengetahui ini?”  tutup Panji.

Dengan Adanya PLTP, Ngebel Dipertaruhkan

Potensi panas bumi yang begitu besar membuat pembangunan PLTP di Indonesia gencar dilakukan. Salah satunya yang sudah berdiri adalah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Ngebel, Ponorogo yang diprakarsai oleh PT Bakrie Damakarya Energi. Ngebel termasuk kawasan hutan lindung yang juga berpotensi mengandung energi panas bumi. Energi panas bumi adalah energi panas yang terdapat dan terbentuk di dalam kerak bumi serta berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Wahyu Eka Setyawan dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jatim memberikan penuturan mengenai pembangunan PLTP khususnya yang ada di Ngebel, pada acara “Melek Ekologi” dalam rangka launching majalah LPM aL-Millah edisi 36 tempo hari (25/11/19).

Wahyu menjelaskan bahwa PLTP sudah menjadi proyek strategis nasional khususnya pada tahun 2015 ketika pemerintahan Presiden Joko Widodo merancang pengembangan listrik sampai 35.000 Megawatt. Kapasitas listrik tersebut akan diprioritaskan pada energi baru terbarukan, sebagaimana mandat dalam United Nations Environment Programme (UNEP) atau program lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. UNEP sendiri berperan mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas alam sekitar PBB dengan membantu negara-negara berkembang dalam melaksanakan kebijakan mengenai alam dan menggalakkan sustainable development di dunia.

Hal tersebut menjadi poin penting ketika Indonesia didesak untuk beralih ke energi baru terbarukan. Landasan panas bumi dikatakan sebagai energi baru karena belum pernah digunakan dan dikatakan energi yang tidak bisa habis. “Salah satu yang menjadi landasan bahwa panas bumi dikatakan energi baru karena belum pernah dipakai sebelumnya, dan dikatakan energi terbarukan yang tidak dapat habis atau bisa terus menerus digunakan,” tutur Wahyu.

Selanjutnya, ia menerangkan bahwa PLTP sangat mengancam sumber air. Selain Ngebel, wilayah yang masuk area PLTP seperti Dagangan Kabupaten Madiun juga mempunyai banyak sumber air. “PLTP dalam prosesnya membutuhkan air dalam jumlah yang besar, maka wilayah Ngebel, Dagangan (Madiun) sebagai wilayah air dipertaruhkan masa depannya,” terang Wahyu.

Ia juga menyarankan peserta diskusi untuk membaca salah satu tulisan di majalah yang membahas kalkulasi konsumsi air PLTP. “Mungkin pasokan air akan berkurang, ataupun kekeringan di situ ketika panas bumi dieksploitasi, kita tidak tahu,” jelasnya.

Menjelang akhir pembicarannya, ia mengungkapkan kekhawatirannya mengenai adanya PLTP di Ngebel. Ia khawatir proyek tersebut akan menjadi percontohan di wilayah lain yang memiliki tingkat potensi kerusakan yang berbeda. “Bicara soal Ngebel ini juga akan mengkhawatirkan. ketika proyek ini goal akan menjadi percontohan juga untuk di wilayah Wilis, Lawu, Ijen yang memiliki potensi kerusakan yang berbeda,” ujar Wahyu.

Rasa kekhawatiran juga dikatakan oleh Fathurrrohman, Mahasiswa semester 3, ia khawatir dengan dampak yang sudah dilihatkan ketika forum diskusi berlangsung. “Khawatir ya khawatir, tadi dampaknya sudah dilihatkan dan itu sudah sangat buruk, jadi sebagai masyarakat ya khawatir,” katanya.

Terakhir Wahyu menekankan kesadaran untuk menjaga alam. “Proses penciptaan alam tidak difokuskan pada manusia saja. Alam adalah sesuatu yang netral. Artinya ada tumbuhan, ada hewan, ada manusia. Alam bukan hanya untuk manusia melainkan saling berkesatuan satu sama lain,” pesan Wahyu.

 

Catatan: Pihak Darmakarya Energi sudah diundang dan tidak menghadiri acara ini

*Tulisan ini merupakan kompilasi artikel dari LPM al-Millah yang dapat diakses di http://www.lpmalmillah.com/

Majalah LPM aL-Millah edisi 36 dengan judul “Melukai Alam demi 120 Megawatt” bisa didapatkan secara GRATIS di sekretariat LPM aL-Millah di Jl. Pramuka No. 156, Gedung BEM lt. 2 IAIN Ponorogo, Ronowijayan, Siman, Ponorogo mulai Senin, 2 Desember 2019.