Selasa, 17 Juli 2018, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, membuat pengaduan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait dugaan pelanggaran izin kehutanan dan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, yang selanjutnya ditetapkan sebagai kawasan industri pertambangan yang dikuasai oleh PT Bumi Suksesindo (BSI), anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold Tbk, di Banyuwangi.
WALHI Jatim mencatat, sejak beroperasinya kegiatan industri pertambangan di Gunung Tumpang Pitu dan sekitarnya di Banyuwangi oleh PT Merdeka Copper Gold Tbk dari sejak tahun 2012, telah menyebabkan berbagai krisis sosial ekologis di lima desa di kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi. Di antaranya adalah puluhan warga penolak tambang telah menjadi korban kriminalisasi oleh aparat keamanan negara dan kualitas lingkungan hidup terus merosot tajam (banjir lumpur, kekeringan, dsb).
Atas berbagai fakta tersebut, WALHI Jatim mendesak KLHK untuk melakukan:
Pertama, review dan pembatalan ataupun pencabutan SK Menteri Kehutanan (SK.826/Menhut/2013) tentang alih fungsi kawasan hutan lindung di wilayah BKPH Sukamade, Pesanggaran, Banyuwangi, yang telah memberikan peluang bagi PT Merdeka Copper Gold Tbk untuk melakukan kegiatan pertambangan di wilayah tersebut. Menurut WALHI Jatim, alih fungsi dan penurunan status kawasan hutan tidak bisa dilakukan secara sembarangan, dan hanya bisa dilakukan dengan ketentuan jika kawasan tersebut sudah dinilai tidak memenuhi kriteria sebagai kawasan hutan lindung, sebagaimana diatur dalam PP 104/2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, ataupun SK Menteri Pertanian 837/Kpts/Um/11/1980.
Kedua, melakukan review dan pembatalan ataupun pencabutan terkait ijin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) No.812/Menhut/2014 dan 18/1/IPPKH/PMDN/2016, karena turut menguatkan dan memfasilitasi operasi kegiatan pertambangan oleh PT Merdeka Copper Gold Tbk. Patut dicatat, kawasan hutan di Jatim saat ini masih kurang dari 30 persen, sedangkan pemberian IPPKH untuk kegiatan pertambangan ini justru jelas mengarahkan pada penciutan jumlah luasan kawasan hutan di Jatim, sekaligus mempercepat laju kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan hidup, dan memperbesar ancaman terhadap keselamatan ruang hidup warga.
Sanksi yang Tidak Jelas
Surat pengaduan WALHI Jatim yang bernomor #190148 tersebut, selanjutnya diverifikasi pada tanggal 25-29 September 2018 oleh KLHK. Dan pada tanggal 20 November 2019, WALHI Jatim mendapatkan surat jawaban dari KLHK yang berbunyi “hasil verfikasi PT. BSI direkomendasikan dikenakan sanksi administratif.”
Namun dalam dokumen jawaban yang diterima oleh WALHI Jatim tersebut, KLHK tidak menjelaskan secara rinci bentuk sanksi yang diberikan kepada PT. BSI. Perlu ditegaskan bahwa kata “sanksi” jelas mengandung makna bahwa telah terdapat berbagai kesalahan terkait perizinan yang telah kami sebutkan di atas.
Oleh karenanya, kami WALHI Jatim mendesak:
1. KLHK untuk memberikan dokumen hasil verifikasi secara lengkap yang disebutkan di atas.
2.KLHK menjelaskan secara lengkap seluruh pelanggaran yang telah dilakukan oleh PT BSI sebagaimana dimaksud dalam pernyataan jawaban oleh KLHK di atas
3.KLHK menjelaskan secara lengkap sanksi apa saja yang akan diberikan kepada PT BSI, terkait pelanggaran yang telah dijelaskan dalam surat jawaban yang disampaikan kepada WALHI Jatim.
Narahubung:
Rere Christanto (Direktur Walhi Jatim)
+6283857642883