Mewaspadai Ancaman Fracking PLTP Ngebel

Erwan Dwi Wahyunanto (Penggiat PMII)

Tempo hari saya telah menulis artikel tentang ancaman buruk yang mungkin akan ditimbulkan dari adanya pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Ngebel, Ponorogo. Pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi yang sedang dikerjakan oleh PT Bakrie Damakarya Energi tersebut telah dimulai sejak tahun 2017 dan saat ini telah mencapai progres kisaran 70%. Kelak akan ada 3 titik yang menjadi pusat pengeboran atau sumur produksi, yakni 2 titik berada di kawasan Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun dan satu berada di kawasan Kecamatan Ngebel, Kabuaten Ponorogo.

Kabupaten Ponorogo memiliki potensi panas bumi yang terletak pada telaga Ngebel, Kecamatan Ngebel di lereng Gunung Wilis. Dengan deskripsi berupa Mata Air padusan dengan temperatur 74 °C serta Batuan Ubahan dan Fumarol dengan temperatur 87.7 °C. Perkiraan temperatur bawah permukaan sekitar 240 °C dengan luas wilayah prospek 15 km2. Dengan kondisi lingkungan berupa endapan vulkanik Gunung Wilis, potensi cadangan terduga sebesar 120 Mwe, potensi ini dapat dimanfaatkan langsung ataupun untuk membangkitkan energi listrik. Potensi panas bumi ini dalam wilayah kerja panas bumi 1 Jawa Timur. Maksudnya pembangkit panas bumi yang akan diprioritaskan dibangun pertama kali di Jawa Timur.

Sementara untuk melakukan tahapan ekplorasi dan eksploitasi terhadap 3 titik panas bumi tersebut telah dibangun pusat pengeboran yang terletak di kawasan Ngebel. Kelak model pengeboran yang akan dilakukan yakni vertikal ke bawah lalu ke samping menyerupai huruf L. Hal ini dilakukan dalam rangka penghematan anggaran biaya pengeboran dan meminimalisir pembukaan lahan untuk pembangunan pusat pengeboran. Metode ini dinilai lebih murah dan bisa menghemat anggaran yang cukup besar. Model pengeboran semacam ini bukan kali pertama dilakukan, baik dalam pertambangan gas, minyak maupun panas bumi itu sendiri. Akan tetapi metode ini sudah banyak dilakukan baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Dalam tulisan saya yang sebelumnya telah disebutkan beberapa dampak negatif yang mungkin terjadi ketika proyek pembangunan ini mulai dikerjakan. Beberapa dampak negatif lain diantaranya: terjadinya pengerusakan ekosistem akibat pembukaan lahan, terjadinya gempa bumi minor (kecil), pencemaran air, terjadinya amblesan tanah, longsor, adanya limbah B3 (Bahan berbahaya dan beracun), munculnya rekahan pada batuan bawah tanah dan sampai yang terparah munculnya semburan lumpur panas seperti yang terjadi di PLTP Mataloko. Beberapa kejadian tersebut bukan hanya sebatas wacana dan kekhawatiran belaka. Tetapi beberapa kasus tersebut sudah pernah terjadi dibeberapa titik kawasan pengembangan panas bumi baik di dalam maupun di luar negeri. Beberapa dampak negatif tersebut diantaranya muncul akibat dari aktifitas fracking. Apa itu fracking? Dan bagaimana fracking dapat menimbulkan bencana? 

Apa itu Fracking?

Teknik hydraulic fracturing atau fracking bukanlah teknik pengeboran, secara umum, hydraulic fracturing diterapkan untuk meretakkan dinding-dinding batuan di dalam sumur yang sudah digali, dan mengekstraksi minyak, gas atau panas bumi yang terperangkap dalam lapisan batuan tersebut untuk kemudian disalurkan melalui sumur yang telah digali dan dikeluarkan ke permukaan. Menyebutkan istilah hydrolic pada namanya memberikan persepsi bahwa teknik ini melibatkan fluida bertekanan. Ya! Memang menggunakan fluida bertekanan.

Hydraulic fracturing atau mungkin banyak yang menyebutnya dengan istilah lain seperti hydrofracturing, hydrofracking, fracking atau fraccing adalah teknik stimulasi sumur yang mana lapisan batuan di bawah diretakkan dengan fluida cair bertekanan. Proses ini melibatkan injeksi larutan peretak bertekanan tinggi dan umumnya menggunakan air yang mengandung pasir dan bahan kimia dalam volume yang besar ke dalam sumur untuk membuat patahan/retakan di formasi batuan dalam yang akan membuat minyak, gas dan panas bumi dapat mengalir lebih bebas melalui retakan tersebut.

Hydraluic fracturing atau fracking sudah dikenal sejak tahun 1860-an di Amerika Serikat, sekalipun dengan bahan, metode, dan kegunaan yang berbeda. Dinamit atau peledakan nitroglycerin telah digunakan untuk meningkatkan produksi minyak dan gas bumi. Pada 25 April 1865, veteran Perang Sipil, Col. Edward A. L. Roberts menerima hak paten untuk metode yang dikenal sebagai “Exploding Torpedo“. Metode ini telah diaplikasikan di Pennsylvania, New York, Kentucky, and West Virgina menggunakan liquid, yang akhirnya juga menggunakan nitroglycerin padat. Stimulasi sumur dengan larutan asam, sebagai pengganti explosive liquid, mulai diperkenalkan pada tahun 1930-an. Dengan paparan asam, celah pada fracture atau retakan tidak akan tersumbat/tertutup seluruhnya yang hasil akhirnya adalah peningkatan produksi gas yang signifikan.

Hubungan antara performa produktifitas sumur dan aplikasi tekanan pertama kali dikaji Floyd Farris dari Stanolind Oil and Gas Corporation. Kajian yang dilakukan oleh Floyd adalah dasar dari percobaan pertama hydraluic fracturing, yang dilakukan di lapangan gas Hugoton, daerah Grant County, barat daya Kansas, oleh Stanolind. Eksperimen ini berakhir dengan tidak sukses karena kemampuan sumur setelah diberi treatment tetap stagnan. Metode yang telah dimutakhirkan dicetuskan oleh J.B. Clark dari Stanolind dalam makalahnya yang diterbitkan pada tahun 1948. Hak paten untuk proses ini diterbitkan pada tahun 1949 dan secara eksklusif dimiliki oleh Halliburton Oil Well Cementing Company. Pada tanggal 17 Maret 1949, Halliburton secara perdana melakukan dua hydraulic fracturing treatment di Stephens County, Oklahoma dan Archer County, Texas. Sejak saat itu, hydraulic fracturing telah digunakan untuk menstimulasi hampir 1 juta sumur minyak dan gas bumi di berbagai kondisi geologi.

Di Uni Soviet, hydraulic fracturing pertama kali dilakukan pada 1952. Negara-negara lain di Eropa dan Afrika Utara yang kemudian menerapkan teknik ini antara lain Norwegia, Polandia, Republik Ceko, Yugoslavia, Hungaria, Austria, Perancis, Italia, Bulgaria, Rumania, Turki, Tunisia, dan Aljazair. Metode hydraulic fracturing diterapkan dalam ekstraksi shale gas sejak tahun 1965 yang saat itu dikerjakan di lapangan gas Big Sandy, Kentucky dan di barat daya Virginia. Pada tahun 1976, pemerintah Amerika Serikat memulai proyek Eastern Gas Shale yang melibatkan banyak proyek demonstrasi hydraulic fracturing oleh pihak pemerintah dan industri migas.

Pada tahun 1997, dengan menerapkan teknik slickwater fracturing di sebelah timur Texas oleh Union Pacific Resources (sekarang menjadi bagian dari Anadarko Petroleum Corporation) dan Mitchell Energy (sekarang menjadi bagian Devon Energy) mengaplikasikan teknik di Barnett Shale, Texas Utara. Dan pada akhirnya teknik ini sangat ekonomis ketika diterapkan di Barnett Shale yang kemudian diterapkan pada banyak sumur shale yang lain. George P. Mitchell telah menyandang julukan sebagai “father of fracking” karena perannya dalam ekstraksi sumur Barnett. Sumur horizontal pertama yang digali di Barnett sebenarnya sudah ada sejak tahun 1991, namun sebelum hydraulic fracturing diterapkan di sumur ini, produksinya sangat tidak ekonomis. Tahun 2013, hydraulic fracturing secara massal diterapkan dalam skala yang ekonomis di Amerika, Canada, China bahkan Indonesia.

Cara kerja Fracking

Tidak sulit bagi para engineer ketika berhadapan dengan sistem panas bumi alami dan mengekstraksinya dari perut Bumi. Masalah bermula ketika cadangan sistem panas bumi yang ada tidak mencukupi untuk diproduksi dengan skala komersial. Untuk memproduksi energi geothermal dalam skala komersial, tentu saja kuantitas menjadi penting. Kuantitas pada energi geothermal ini tergantung pada setidaknya dua hal. Pertama, fluida yang cukup dalam siklus injeksi produksi. Dan kedua, tentu saja kemampuan batuan yang panas di dalam bumi untuk melalukan fluida (permeability).

Dalam beberapa kasus proyek energi panas bumi ini ada kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas alami sebuah sistem geothermal (Enhanced Geothermal System/EGS). Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan permeabilitas batuan dan volume fluida yang berada dalam siklus. Teknologi EGS pada dasarnya dikembangkan untuk menjawab kekurangan kapasitas sebuah sistem geothermal alami. Atau dengan kata lain, membuat sebuah sistem geothermal yang tidak ekonomis menjadi ekonomis dengan meningkatkan kapasitas sistem bawah tanah sebuah sistem energi panas bumi melalui rekayasa sebuah kondisi bawah permukaan menjadi sistem energi geothermal komersial. Peningkatan kapasitas sistem geothermal alami secara teknis dapat dilakukan dengan pusparagam cara.

Kalau berhadapan dengan reservoir (batuan sarang tempat fluida di bawah tanah) yang panas tetapi memiliki permeabilitas yang rendah, maka para engineer merekayasa teknik yang disebut hydraulic fracturing. Teknik ini berguna untuk membuat rekahan pada reservoir dengan tujuan akhir meningkatkan permeabilitas batuan sarang. Ini hanyalah salah satu teknik yang sering dipakai untuk meningkatkan permeabilitas. Kajian kritis menyebut hydraulic fracturing dengan sebutan “fracking”. fracking bukan hanya digunakan dalam proses injeksi pada sistem geothermal, tetapi juga dalam proses ekstraksi gas dari batuan sarangnya.

Secara singkat proses fracking sebagai berikut: Pertama, sumur dibor secara vertikal beberapa ratus hingga ribuan meter kedalam bumi kemudian dibor horizontal ke lapisan batuan yang mengandung gas, minyak maupun fluida panas. Berikutnya cairan fracking dipompa kedalam tanah dengan pompa performa yang sangat tinggi. Rata-rata cairannya mengandung 8 juta liter air yang setara dengan konsumsi harian oleh 65.000 orang, ditambah beberapa juta ton pasir dan sekitar 200.000 liter bahan kimia. Cairan tersebut menembus lapisan batuan dan menghasilkan retakan kecil yang sangat banyak. Pasir berfungsi mencegah retakan tersebut menutup kembali supaya tetap terbuka. Bahan kimia melakukan beberapa tugas diantaranya memadatkan air, membunuh bakteri, atau melarutkan mineral. Berikutnya, sebagian besar cairan fracking dipompa keluar lagi dan sekarang gas, minyak maupun fluida panas dapat diekstraksi. Setelah gas, minyak maupun fluida panas dihabiskan, lubang sumur bor disegel. Menurut aturan yang berlaku, cairan fracking dipompa kembali kedalam tanah dan disegel.

Ancaman Fracking terhadap masyarakat Ngebel

Segala sesuatu yang berhubungan dengan aktifitas penambangan tentu tidak bisa lepas dari ancaman keselamatan. Tidak hanya bagi para pekerja tetapi juga kepada masyarakat di sekitar pusat aktifitas tersebut. Salah satu ancaman tersebut timbul dari aktifitas yang disebut dengan istilah fracking. Ancaman yang diakibatkan oleh aktifitas fracking tentu tidak bisa dianggap sepele dan remeh. Tentu hal tersebut bukan tanpa alasan mengingat hasil riset dari beberapa aktivis lingkungan hidup mencatat bahwa kasus akibat fracking ini telah terjadi dibeberapa kawasan pertambangan. Beberapa kasus tersebut diantara: kontaminasi air oleh bahan kimia, gempa bumi minor, amblesan tanah dan zat rumah kaca.

Kontaminasi air, aktifitas fracking tidak hanya menggunakan air bersih yang cukup banyak tetapi airnya mengandung bahan kimia dan sangat beracun. Kontaminasi bahan kimia tersebut sangat parah sehingga airnya tidak bisa dibersihkan di pengolahan air. Walaupun bahannya diketahui dan dapat dikelola secara teori namun kontaminasi air akibat fracking ini cukup berbahaya. Sebagai semisal di AS, terdapat sumber air minum yang terkontaminasi bahan kimia yang terdapat didalam cairan fracking sehingga airnya tidak bisa dikonsumsi akibat kelalaian. Belum ada yang tau bagaimana dampak kontaminasi air tersebut bagi keberlangsungan hidup di masa depan. Sejauh ini belum ada studi jangka panjang mengenai hal tersebut.

Bahan kimia yang dipakai dalam aktifitas fracking sangat beragam seperti benzol dan asam format yang berbahaya dan mengandung racun. Perusahaan yang menggunakan fracking bungkam tentang campuran kimia yang terdapat didalam cairan fracking. Namun diketahui ada sekitar 700 campuran bahan kimia yang terdapat di dalam cairan fracking tersebut. Dalam dokumen UKL-UPL untuk PLTP Ngebel sendiri mengenai bahan kimia yang dipergunakan sama sekali tidak disebutkan secara jelas dan rinci. Dan sangat terkesan ditutup-tutupi oleh pihak perusahaan.

Resiko yang lain adalah lepasnya gas rumah kaca. Gas alam yang diekstraksi oleh fracking sebagian besar tersusun atas metana. Sebuah gas rumah kaca yang 25 kali lebih kuat daripada karbon dioksida. Gas alam tidak lebih berbahaya dibandingkan dengan polusi batu bara saat dibakar. Namun demikian efek fracking fracking terhadap keseimbangan iklim secara keseluruhan lebih besar. Dalam waktu yang lama gas rumah kaca dari sedikit demi sedikit akan menumpuk dan akan berdampak besar bagi keseimbangan iklim di bumi.

Gempa bumi minor, aktifitas fracking berarti penurunan kohesivitas (daya ikat) pada batuan. Bayangkan saja sebuah batuan yang keras dan kompak kemudian ditkan agar timbul rekahan. Tentu saja kekuatan si batu akan berkurang. Dalam kasus sistem geothermal, pertambahan fluida dalam reservoir menyebabkan kenaikan tekanan yang lebih jauh akan membuat reservoir terfasilitasi untuk mengalami pergerakan (slip) karena gaya gesek statis (static friction)nya terlampaui. Terjadinya slip pada batuan adalah salah satu kunci terjadinya gempa bumi. Pada pirinsipnya gempa bumi hampir selalu berasosiasi dengan patahan yang aktif bergerak (slip) dan melepaskan energi pada kulit bumi. Faktual, bagi orang yang melakukan studi tentang patahan, maka rasanya tidak ada satu titik pun di permukaan bumi kita ini yang tidak ada patahan di bawahnya. Hanya saja yang menjadi pembeda adalah dimensi dan aktivitas patahan terkait: seberapa panjang, seberapa lebar, serta seberapa aktif (sering, jauh, dan dekat) pergerakannya.

Dalam konteks EGS, apabila terjadi slip, maka ia akan menyebabkan gempa bumi meskipun dalam skala yang kecil (microearthquake), di bawah 4 atau 5 skala Richter. Kasus ini pernah terjadi di Basel, Swiss. Selain kasus Basel pada 2006, ada beberapa kasus lain yang sudah terkenal di dalam jagad pergeologian untuk kasus gempa bumi mikro yang dipicu oleh EGS ini. Yaitu di lapangan Geyser Amerika Serikat, Cooper Basin di Asutralia, dan di Soultz-sous-Foréts, Perancis. Magintude gempa bumi mikro yang terjadi secara berurutan berada pada kisaran angka 3.4, 4.6, 3.7, dan 2.9 pada skala Richter.

Ada 4 mekanisme pembentukan gempa bumi mikro yang terjadi karena adanya slip dalam EGS, yaitu: 1) kenaikan tekanan pori; 2) penurunan suhu; 3) perubahan volume karena injeksi atau produksi dan; dan 4) alterasi kimia pada permukaan rekahan. Kenaikan tekanan pori batuan terjadi karena adanya injeksi fluida ke dalam reservoir (batuan sarang). Penurunan suhu dapat memicu aktivitas seismik karena interaksi fluida yang diinjekasikan dengan reservoir batuan panas. Hal ini dapat dipahami karena terjadinya kontraksi pada permukaan rekahan di reservoir. Dalam sistem injeksi, yang disuntikkan adalah fluida yang lebih dingin karena semua sistem dalam energi panas bumi tujuan utamanya adalah mengekstraksi panas dari perut Bumi, maka tidak mungkin disuntikkan fluida yang lebih panas dari resevoir.

Perubahan volume dalam kasus ini menyebabkan gempa bumi karena adanya ekstraksi fluida dari atau diinjeksikan ke dalam reservoir. Hal ini dapat menyebabkan reservoir mengalami regangan atau kompaksi. Atau dalam kalimat lain, proses ini mengubah kondisi tegangan lokal yang ada. Dan terakhir, alterasi kimia akibat injeksi fluida dari luar ke dalam reservoir dapat menyababkan terjadinya reaksi geokimia pada permukaan rekahan, dan lebih jaun menyebabkan terjadinya slip seismik. Kondisi-kondisi mikro ini dapat berkembang cepat menjadi makro apabila proyek EGS ini berada di daerah yang memiliki patahan dengan intensitas tinggi. Sebagai catatan, proyek geothermal banyak berada pada region bumi yang memiliki intensitas patahan yang tinggi.

Dalam kasus Basel, proyek Deep Heat Mining dimulai pada 1996 oleh Geo Power Basel (GPB). Basel adalah salah satu pusat industri kimia dan parmasi di Eropa. Aglomerasi kota ini memiliki populasi sekitar 700.000 jiwa. Pada 2006, sumur injeksi untuk keperluan geothermal di Basel dibor dengan kedalaman mencapai 5 Km. Aktivitas fracking dalam sistem geothermal Basel ini memicu gempa bumi lokal antara 2,7-3,4 skala richter. Aktivitas ini kemudian ditutup karena warga memprotes karena plester bangunan rumah mereka mengalami retak-retak. GPB sendiri, melalui skema asuransi, pada akhirnya harus membayar sebanyak 7 juta Dollar AS terhadap kerugian yang timbul karena gempa minor akibat aktivitas fracking mereka.

Dalam kasus di Indonesia, perlu dilakukan penelitian yang sistematis untuk mengetahui apakah aktivitas pengeboran geothermal menyebabkan terjadinya gempa bumi. Namun, narasi yang muncul dari kalangan warga menunjukkan bahwa hal ini sudah menjadi kekhawatiran. Warga lereng Gunung Salak menyatakan bahwa di daerah mereka sudah terjadi beberapa kali gempa bumi. Warga merasa gempa bumi itu terjadi karena aktivitas geothermal, namun mereka tidak bisa menjelaskan hubungannya.

Jadi bagaimana fracking dan manfaat yang diamati saat keuntungan diseimbangkan dengan kerugian? Saat dilakukan dengan benar, tekhnik ini menawarkan suatu cara secara jangka pendek dan sedang untuk memenuhi permintaan energi lebih murah. Namun konsekuensi jangka panjang fracking tidak dapat diduga dan sangat beresiko terhadap sumber air minum, maka jangan diremehkan!!!

 

Sumber Bacaan:

Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) (kegiatan ekplorasi panas bumi Ngebel dan Dagangan, 2016)

Batubara Bosman, Dampak negatif energi geothermal terhadap lingkungan, (Yogyakarta, November 2014)

http://migas-indonesia.com/2009/02/18/hydraulic-fracturing-principles-2/

https://www.youtube.com/watch?v=Uti2niW2BRA&t=11s

http://energy-techno.blogspot.com/2015/10/hydraulic-fracturing-sejarah-dan-metode.html

Afif Fahmi Ahmad, pembangkit dan managemen energi listrik, (Studi Potensi Panas Bumi Telaga Ngebel Ponorogo, 2017)