Rilis Media
WALHI, JATAM, WALHI Jatim, LBH Surabaya, ForBanyuwangi, FNKSDA Banyuwangi, PMII Untag 45 Banyuwangi, ForkoM Banyuwangi, TeKAD GARUDA, LBH Disabilitas
Dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di Istana Negara pada 23 Juli 2019, Presiden Joko Widodo, meminta agar pihak-pihak terkait tegas terhadap pemerintah daerah. Ketegasan yang dimaksud adalah larangan untuk tidak membangun proyek di kawasan rawan bencana.
Namun di pihak lain, kami justru menemukan fakta bahwa di pesisir Selatan Banyuwangi (khususnya Kecamatan Pesanggaran) terdapat kegiatan operasi produksi pertambangan yang dilakukan oleh PT. Merdeka Copper Gold, Tbk (Operasi dari PT. BSI dan rencana peningkatan status PT.DSI) sebagai bentuk wujud kegiatan pembangunan yang beresiko tinggi.
Sebagaimana diketahui bahwa wilayah ini memiliki sejarah bencana gempa dan tsunami pada 03 Juni 1994 yang menimbulkan kehancuran, dan menelan korban sedikitnya 300 jiwa. Wilayah ini adalah satu kawasan rawan bencana (KRB) dan terletak di lempeng megathrust selatan Jawa. Sehingga dengan beroperasinya kegiatan pertambangan tersebut semakin menambah potensi kerawanannya dan menyebabkan rusaknya kawasan penyangga dan kawasan evakuasi yang dibutuhkan oleh warga dan ekosistem di sekitarnya.
Patut ditambahkan, sejak beroperasinya kegiatan industri pertambangan tersebut, beragam krisis sosial-ekologis dan sejumlah persoalan keselamatan ruang hidup rakyat terus meningkat di 5 desa, kecamatan Pesanggaran, yakni: Sumberagung, Pesanggaran, Sumbermulyo, Kandangan, dan Sarongan. Salah satu diantaranya yang masih membekas cukup kuat dalam benak warga Sumberagung dan sekitarnya adalah bencana lumpur yang terjadi pada Agustus 2016 silam.
Selain telah merusak sebagian besar kawasan pertanian warga, bencana lumpur tersebut juga telah menimbulkan beberapa persoalan penting lainnya, yakni telah membuat kawasan pesisir pantai Pulau Merah (Desa Sumberagung) dan sekitarnya berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Bahkan baru-baru ini, karena kerusakan tersebut ditemukan sejumlah fakta bahwa beberapa jenis kerang, ikan dan beberapa biota laut lainnya mulai menghilang dari pesisir Sumberagung dan sekitarnya. Dan sejumlah kelompok binatang seperti monyet dan kijang mulai turun memasuki lahan pertanian warga karena rusaknya habitat mereka. Begitu juga dengan beberapa sumur milik warga diduga mulai mengering akibat penurunan kualitas lingkungan.
Dampak secara ekonomi akibat kerusakan ini adalah pendapatan nelayan, petani dan pegiat pariwisata rakyat Desa Sumberagung dan sekitarnya mengalami penurunan secara drastis.
Gunung Tumpang Pitu, salah satu wilayah pesisir Selatan Banyuwangi yang ditambang merupakan kawasan penting bagi penduduk Sumberagung dan desa-desa sekitarnya. Selain berfungsi sebagai pusat mata air yang mampu mencukupi kebutuhan pertanian dan konsumsi rumah tangga, di sanalah sebagian besar penduduk, khususnya kaum perempuan, mencari beberapa tanaman obat-obatan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan secara turun temurun.
Selain persoalan di atas, kehadiran industri pertambangan di pesisir Selatan Banyuwangi (gunung Tumpang Pitu dan sekitarnya) juga memicu sejumlah persoalan lainnya yang tak kalah penting, yakni meningkatnya tindak represi oleh aparat keamanan negara terhadap warga Sumberagung dan sekitarnya dalam kurun waktu 7 tahun (2012-2019) belakangan ini.
Setidaknya dari data yang berhasil kami kumpulkan, telah terjadi sedikitnya 5 bentuk kriminalisasi terhadap puluhan warga Sumberagung dan sekitarnya karena berusaha berjuang mempertahankan dan menyelamatkan lingkungannya dengan cara menolak hadirnya kegiatan industri tambang Tumpang Pitu. Dari 5 bentuk kriminalisasi tersebut, salah satu diantaranya adalah dalam kasus penetapan 4 warga Sumberagung sebagai tersangka yang terjadi pada awal April 2017 lalu.
Kasus ini bermula dari aksi pemasangan spanduk “tolak tambang” yang dilakukan pada tanggal 4 April 2017 di sepanjang pantai Pulau Merah-Sumberagung hingga kantor Kecamatan Pesanggaran. Satu hari pasca aksi (5/4), muncul beberapa pernyataan dari pihak aparat keamanan Banyuwangi (TNI/Polri), bahwa di dalam spanduk “tolak tambang” terdapat logo yang diduga mirip palu arit. Padahal menurut keterangan warga dan temuan lapangan yang berhasil kami kumpulkan bahwa tidak satupun spanduk yang terpasang terdapat logo yang dituduhkan oleh pihak aparat keamanan. Dan yang harus digarisbawahi, pelapor aksi tolak tambang tersebut adalah pihak perusahaan tambang.
Sejauh ini, kami dan warga menduga bahwa tuduhan tersebut memiliki tujuan untuk melemahkan gerakan penolakan tambang yang sedang berlangsung dan terus bertahan hingga saat ini. Selain itu kami dan warga juga menduga, tuduhan tersebut hanyalah untuk memecah belah persatuan perjuangan yang terus meluas.
Patut diketahui pada bulan Juli 2019 telah terjadi gempa berturut-turut sebanyak 3 kali di pesisir Selatan Banyuwangi, yang telah menimbulkan beberapa kerusakan dan kepanikan pengungsian di 3 desa, yakni: Sumberagung, Sarongan dan Kandangan. Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono menyatakan hasil monitoring BMKG menunjukkan adanya klaster yang mengalami peningkatan aktivitas seismik mencolok. Klaster tersebut adalah zona selatan Bali dan Banyuwangi, zona Cilacap dan Pangandaran, dan Selat Sunda. Daryono juga mengingatkan bahwa setiap gempa besar selalu di dahului oleh serangkaian aktivitas gempa pendahuluan.
Tentunya pernyataan BMKG diatas patut menjadi acuan awal bahwa pembangunan yang memiliki potensi resiko tinggi terhadap keselamatan ekologi dan wilayah kelola rakyat, seperti kegiatan produksi pertambangan di seluruh pulau Jawa, khususnya pesisir Selatan, patut dihentikan.
Dalam rangka menegakkan fungsi pengawasan kebencanaan yang telah di amanatkan oleh UU No. 24 Tahun 2007 Pasal 71 yang menegaskan tentang peran serta fungsi pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap seluruh sumber, kebijakan pembangunan, dan kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) kami kemudian mengajukan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (27/08/2019) dan mengirimnya ke Sekretariat Negara (sesuai amanat dan mekanisme UU KIP) untuk mendesak dan menyatakan:
1. Presiden Jokowi harus melakukan evaluasi dan pengawasan atas salah satu proyek yang berada di kawasan rawan bencana yakni yang dilakukan oleh PT Merdeka Copper Gold, Tbk melalui entitas anak perusahaan pertambangan di bawah bendera PT Bumi Suksesindo dan PT Damai Suksesindo di Kecamatan Pesanggaran, Pesisir Selatan, Banyuwangi. Sebagai bentuk wujud kegiatan pembangunan yang beresiko tinggi.
2. Meminta Presiden Jokowi untuk memberikan dokumen publik berupa hasil analisis resiko bencana atas kegiatan produksi pertambangan PT. BSI dan rencana peningkatan status PT. DSI sebagai bentuk wujud kegiatan pembangunan yang beresiko tinggi.
3. Meminta Presiden Jokowi memberikan dokumen laporan rutin status ancaman dan potensi bencana di kawasan pesisir selatan Banyuwangi yang sekarang terancam karena telah beroperasinya kegiatan produksi pertambangan milik PT Merdeka Copper Gold Tbk.
4. Untuk mengurangi ancaman dan potensi bencana di pesisir selatan Banyuwangi khususnya dan pesisir selatan jawa pada umumnya, kami meminta Presiden untuk menghentikan rencana peningkatan status dan mencabut ijin eksplorasi PT. DSI dan ijin produksi PT BSI yang kami kategorikan sebagai kegiatan pembangunan yang beresiko tinggi.
Kontak Media:
Rere Christanto – 083857642883 (Direktur Eksekutif WALHI Jatim)
Ronald M Siahaan – 087775607994 (Manajer Pembelaan Hukum Lingkungan Eknas WALHI)
Merah Johansyah – 081347882228 (Dinamisator JATAM Nasional)