Zulfikar Hardiansyah (LPM Perspektif Fisip, Brawijaya, Malang)
![](https://walhijatim.org/wp-content/uploads/2019/08/21-27-39-images.jpg)
Insenerasi Bukan Solusi
Kota Surabaya menerapkan insenerasi sebagai bagian dari kebijakan pengelolaan sampah. Penerapan ini dapat ditemukan, seperti pada Insenerasi di TPA Benowo dengan adanya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). PLTSa tersebut direncanakan akhir tahun ini sudah beroperasi. Penerapan insenerasi berskala kota di PLTSa ini, dikelola oleh pihak ketiga, yakni PT. Sumber Organik.
Rere Christanto sebagai Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur (Jatim) menanggapi penerapan insenerasi hanya merupakan dalih dari ketidakmampuan Pemerintah Kota Surabaya dalam pengelolaan tumpukan sampah.
“Ketika sampah sudah tertumpuk lalu bagaimana mekanismenya tentu saja mereka (pemerintah) bisa berdalih, yawis ini (insenerasi) solusi yang paling masuk akal.”
Rere mengatakan kalau insenerasi merupakan solusi jangka pendek karena tidak memberikan solusi atas tata kelola sampah yang efektif, yang dilakukan ketika sampah itu sudah menumpuk. “Maka didatangkanlah semua teknologi pembakaran seperti yang dijadikan PLTSa,” katanya.
Ia mengecam penerapan insenerasi karena selain tidak memberikan solusi efektif, juga dapat merusak lingkungan di kemudian hari, mengingat kandungan berbahaya dalam emisi. “Kenapa pemkot tidak memikirkan satu metode untuk mengantisipasi supaya sampah tidak menumpuk,” Kecamnya.
Saat dikonfirmasi, Joelianto Mardias Putra selaku Kasubag Pemberdayaan Masyarakat DKRTH Surabaya, menampik mengenai tidak adanya metode untuk mengatasi tumpukan sampah. Ia berujar Pemerintah Kota Surabaya sudah memilik metode untuk antisipasi tumpukan dengan pengelolaan sampah di skala sumber utama atau rumah tangga. Metode ini mulai dari adanya composting hingga bank sampah. “Kalau masyarakat masih gak bisa memanfaatkan itu berarti yang disalahkan siapa, masyarakatnya kan?” Ujarnya.
Joelianto mengatakan pemerintah juga telah melakukan peningkatan kesadaran kepada masyarakat terkait pengelolaan sampah, melalui sosialisasi dan pengadaan surabaya smart city. “lomba ini (Surabaya smart city) pemicu masyarakat supaya ikut peduli terhadap lingkungan,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Adi Candra selaku Tim Motivator Lingkungan Sub Bagian Pemberdayaan Masyarakat DKRTH Surabaya mengatakan pengadaan lomba seperti surabaya smart city dapat mendorong kesadaran masyarakat untuk melakukan pengelolaan sampah. “masyarakat mau melakukan ini (pengelolaan sampah) secara suka dan rela, happy mereka,” Katanya.
Hanie selaku Kordinator Nol Sampah menjelaskan bahwa untuk meningkatkan kesadaran pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga sangat sulit. Ia menjelaskan harus ada regulasi yang tepat dan punishment yang kuat. “Masyarakat di Surabaya utara misalnya, masih belum memiliki mindset yang baik terkait pengelolaan sampah,” Jelasnya.
Sarifah Hidayati sebagai kordinator investigasi WALHI Jatim untuk pengelolaan sampah tingkat sumber utama Kota Surabaya memaparkan bahwa kesadaran masyarakat di Surabaya Utara untuk mengelola sampah masih kurang, salah satunya yakni, di Kelurahan Nambangan. “Kesadaran mereka kurang, banyak yang masih buang sampah di laut,” paparnya.
Selain itu, ia menjelaskan kalau program kotak takakura sebagai fasilitas dari pemerintah tidak berjalan. Warga justru menggunakannya sebagai tempat pakaian. “Karena gak ada sosialisasi dari kelurahan, Cuma dibagiin aja,” Jelasnya
Sarifah mengungkapkan bahwa di kelurahan itu belum terdapat sarana tempat pengelolaan sampah untuk masyarakat. Hal ini terjadi karena menurutntya, masyarakat tidak memiliki lahan. “Bank Sampah di Kelurahan Nambangan sudah digusur untuk pelebaran jalan,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan Kelurahan Nambangan tidak memiliki TPS. “Adanya TPS di tingkat kecamatan,” Jelasnya.
Sarifah menyayangkan kondisi sarana dan prasana untuk pengelolaan sampah tingkat rumah tangga yang masih belum berjalan dengan baik di Kota Surabaya. Ia mengungkap bahwa kondisi sampah yang masuk ke TPS itu masih tercampur antara organik dan non-organik. “TPS Jambangan misalnya, yang dibuat percontohan, nah disitu saja sampah yang masuk masih tercampur, meski nanti ada pengelolaan,” Ungkapnya.
Ia mengatakan bahwa kondisi sampah yang tercampur itu akan berbahaya, ketika berada di TPS yang tidak memiliki mekanisme pengelolaan sampah dengan baik.”Sampah yang tidak terkelola, semuanya itu akan masuk dan menumpuk di TPA,” Pungkasnya.
Berdasar temuan itu, Rere mengatakan bahwa peran Pemerintah Kota Surabaya pada pengelolaan sampah tingkat rumah tangga belum berjalan maksimal. Hal ini yang menurutnya bisa membuat sampah di TPA menumpuk dalam jumlah besar. “itu kan pemerintah berarti hanya mengelola sampah sejak dari TPS ke TPA. Tapi dari titik titik rumah tangga ke TPS seolah diserahkan begitu saja mekanismenya ke masing-masing tempat,” Katanya.
Rere memaparkan bahwa solusi efektif untuk mengatasi tumpukan sampah adalah menggunakan pengelolaan sampah dari skala rumah tangga, daripada menggunakan insenerasi.
“Kalau udah dipilah dari awal yang organik sudah dipisah sendiri bisa dicomposting, yang non organik bisa dikelola sendiri, mana yang bisa didaur ulang, mana yang kemudian menjadi sampah B3 bisa dikendalikan sendiri, itu bisa jauh efektif,” Paparnya.
Ia menghimbau Pemerintah Kota Surabaya untuk menyusun rencana strategis pengelolaan sampah di sumber utama dengan serius, sebagai solusi mengatasi tumpukan sampah.
“Kalau pemilahan itu sudah dilakukan secara efektif, kalau baca beberapa data terakhir ya, produksi sampah terbesar itu sampah domestik dan organik, itu sebenarnya bisa diturunkan jumlah produksinya. Kalau itu bisa dipisahkan sejak dari awal maka presentasi produksi sampah akan berkurang besar. Kalau pemkot mau mengelola itu sejak dari awal,” Pungkasnya.
Bahaya yang Mengintai dibalik Insenerasi
Insenerasi sendiri merupakan sebuah teknologi untuk memusnakan sampah dengan cara dibakar pada suhu tertentu, sebagai salah satu bentuk penerapan pengelolaan sampah. Insenerasi sendiri terdiri dari tiga kategori, yakni gasification, pyrolysis, dan combustion. Tapi, Kategori tersebut sama saja, tetap menggunakan pembakaran dalam pengelolaan sampah. Era Industri ini, Insenerasi dapat mengkonversi sampah menjadi energi, dengan memanfaatkan panas yang dihasilkan dari proses pembakaran sampah.
Tapi di sisi lain, insenerasi juga memiliki dampak buruk bagi lingkungan melalui kandungan emisi berbahaya dari proses pembakaran. Berdasarkan informasi yang dilansir The New York Times, telah terjadi aksi protes penolakan atas proyek pembangunan insenerator di Wuhan, Cina. Penolakan itu karena insenerator akan mengancam keselamatan hidup mereka.
Ida Wahyuningsih yang bergerak sebagai konsultan lingkungan, memaparkan penerapan insenerasi ini akan berpotensi menghasilkan emisi yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Seperti, kerusakan pada tanaman dan organ tubuh manusia.
“Insenerator selain menghasilkan gas yang bahaya untuk efek rumah kaca, juga punya output dioksin juga, terus kemudian dia ada debu juga, yang apabila terkena manusia akan menyebabkan kerusakan pada paru-paru, ada fly ash (debu dengan partikel lebih kecil) yang apabila terkena tanaman bisa mati semua,” paparnya.
Ida juga menegaskan kalau insenerasi pasti menghasilkan dioksin, meskipun terdapat alat penyaring di Insenerator.
Saat ditemui, Uswatul Choiriyah yang menjabat sebagai Pranata Laboratorium Kesehatan Ahli Madya di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Surabaya, menjelaskan bahwa dioksin sebagai hasil insenerasi, memiliki penyebaran masif memalui media udara.
“Udara akan terkontaminasi dengan emisi yang mengandung senyawa dioksin dari hasil insenerasi. Kemudian, udara yang sudah terkontaminasi itu bisa secara langsung berdampak atau juga bisa menjadi penghantar masuknya dioksin ke berbagai media lainnya, seperti tanah dan air. Tanah dan air itu yang akan menjadi media selanjutnya untuk menyebarkan dampak dioksin.” Jelasnya.
Uswatul mengatakan jika dioksin ini merupakan senyawa kimia yang tidak mudah untuk larut. Dioksin dapat mengendap pada tubuh manusia dan dampaknya bisa ke generasi setelahnya, melalui proses menyusui.
“Apabila dioksin masuk pada tubuh manusia, itu dapat mengendap dan kemudian dapat memicu kanker. Kemudian, ini (dioksin) yang mengendap juga bisa masuk ke bayi melalui ASI.” Pungkas Uswatul yang memiliki fokus keahlian di bidang kimia dan kesehatan lingkungan.