Kebakaran Hutan dan Lahan Sebagai Konsekuensi Kerusakan Ekologi

Wahyu Eka Setyawan (Manajer Pendidikan Walhi Jatim)

Sumber: Kompas.com

Kebakaran Hutan dan Lahan (karhutla) di Indonesia benar-benar menjadi trending topic di banyak linimasa media. Pasca bulan Juli 2019, saat presiden dikalahkan aliansi masyarakat sipil dalam gugatan kasus kebakaran hutan di Kalimantan Tengah, angin segar dalam upaya untuk menghentikan karhutla mulai tumbuh. Kebakaran hutan di Indonesia sendiri bukanlah hal yang baru, sejak beberapa dekade hutan di Indonesia kerap terbakara, salah satunya hutan yang berada di lahan gambut. Menurut catatan dari Andres Chamorro, Susan Minnemeyer, dan Sarah Sargent dari WRI tertanggal 16 Februari 2017 dengan judul Riwayat Kebakaran di Indonesia untuk Mencegah Kebakaran di Masa Depan. Mengungkapkan jika di tahun 2015 merupakan periode terburuk kebakaran hutan di Indonesia, sekitar 2.6 juta hektar hutan terbakar. Mereka mengungkapkan jika penyebab kebakaran hutan dikarenakan faktor alam dan kesalahan manusia. Faktor alam diwakili oleh kondisi cuaca yang turut melatabelakangi kebakaran hutan, pasalnya di tahun 2015 merupakan fase cuaca kering akibat dari El-Nino. Dampak kebakaran hutan, khususnya di lahan gambut mengakibatkan peningkatan emisi gas rumah kaca.

Masih di tahun 2015 dalam data statistik kebakaran hutan yang dihimpun oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tercatat di 34 provinsi di Indonesia ada sekitar 2.6 juta hektar lahan yang terbakar. Angka paling parah berada di provinsi Kalimantan Tengah, Papua, Sumatra Selatan dan Riau. Pada tahun 2016 kemudian terjadi penurunan yang cukup signifikan dalam kebakaran hutan, yakni terdapat 438.3 ribu hektar hutan yang terbakar. Walaupun sudah menurun cukup tajam, namun tren kebakaran hutan di wilayah Sumatra, Kalimantan dan Papua masih cukup dominan, ditambah dengan wilayah Sulawesi terutama di bagian tengah yang tercatat ada sekitar 11.74 ribu hektar lahan yang terbakar.

Titik panas di Indonesia tahun 2018 (Sumber: Beritagar.id)

Kasus kebakaran hutan semakin menurun di tahun selanjutnya yakni pada 2017, tercatat area hutan yang terbakar hanya sekitar 165 ribu hektar. Di berbagai wilayah terutama di kawasan Sumatra, Kalimantan dan Papua mengalami tren penurunan kawasan yang terbakar. Tetapi, tren tersebut tidak bertahan lama, di tahun 2018 kebakaran hutan kembali meningkat, bahkan melebihi angka kebakaran hutan di tahun 2016. Tercatat ada sekitar 510 ribu hektar hutan yang dilahap oleh api, wilayah pulau Kalimantan mendominasi sebagai wilayah dengan titik kebakaran terluas, disusul oleh Papua. Di tahun 2019 dengan data terkumpul sampai bulan Mei, KLHK mencatatkan ada sekitar 135 ribu hektar hutan yang terbakar, dengan titik sebaran kebakaran masih didominasi wilayah Sumatra, Kalimantan dan Papua.

Walaupun mengalami penurunan yang cukup signfikan daripada tahun 2015, namun tren kebakaran hutan di Indonesia masih cukup tinggi, apalagi untuk di wilayah Sumatra, Kalimantan dan Papua. Pada konteks ini, Karhutla menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan kelestarian hutan di Indonesia, apalagi wilayah yang kawasan hutannya terbakar merupakan hutan hujan tropis. Selain itu wilayah yang terbakar juga merupakan tempat di mana banyak alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit, tambang dan hutan monokultur yang korelasional dengan industri. Sebagai contoh di wilayah Sumatra dan Kalimantan yang merupakan surga bagi para investor sejak era orde baru. Namun baru-baru ini di wilayah Papua juga mengalami tren kebakaran hutan dan lahan yang cukup tinggi, hal tersebut diduga sejalan dengan upaya investasi di wilayah tersebut, terutama dengan mulai dibukanya wilayah Papua untuk perkebunan sawit.

Kebakaran Hutan di Jawa Timur

Wilayah Jawa Timur pada rentang bulan Juli dan Agustus ini beberapa titik wilayah hutan mengalami kebakaran yang cukup luas. Wilayah tersebut meliputi hutan di wilayah Kabupaten Tuban, Bondowoso, Situbondo, Madiun, Nganjuk, Malang dan Batu. Tercatat beberapa kawasan terbakar dengan luasan yang cukup masif, yakni wilayah Gunung Panderman, Arjuno dan Welirang yang masuk dalam kawasan Malang Raya (Batu, Malang, sebagian Mojokerto dan Pasuruan). Total luasan kawasan hutan yang terbakar untuk di Panderman 2.452 hektar, lalu untuk Arjuno sekitar hampir 3.000 hektar. Sementara untuk data dari KLHK sepanjang tahun 2019 dengan data terkumpul sampai bulan Mei, ada sekitar 2.452 hektar hutan yang terbakar.

Kebakaran kawasan hutan di Jawa Timur cukup stabil, artinya tidak ada penurunan yang cukup signifikan, kecuali pada tahun 2016 yang tidak ada kebakaran kawasan hutan. Pada tahun 2014 ada sekitar 4.995 hektar kawasan hutan yang terbakar, lalu meningkat menjadi 7.996 hektar di tahun 2015. Setelah tidak ada kebakaran kawasan hutan di tahun 2016, pada tahun selanjutnya yakni di 2017 tercatat ada sekitar 5.116 hektar hutan yang terbakar. Angka tersebut kembali naik di tahun 2018 dengan luasan area hutan yang terbakar sekitar 7.279 hektar. Menariknya di tahun ini ada beberapa kawasan lindung yang terbakar, yakni kawasan Taman Nasional Baluran di Situbondo dan beberapa kawasan hutan di Probolinggo dan Pasuruan.

Data Deforestasi di Indonesia 2016-2017

Berbeda dengan kawasan hutan di Sumatra, Kalimantan dan Papua yang wilayah hutannya terbakar karena faktor alih fungsi untuk kawasan perkebunan dan tambang, untuk wilayah hutan yang terbakar di Jawa Timur umumnya karena faktor cuaca kering, kala siklus El-Nino menghinggapi Indonesia. Di tambah musim kemarau, terjadi peningkatan suhu yang mengakibatkan beberapa wilayah hutan yang kering rentan terbakar. Selain faktor cuaca dan suhu, juga terdapat faktor kelalaian manusia, baik secara individu ataupun disengaja. Faktor individu misalnya, hutan yang terbakar karena kelalaian manusia dengan meninggalkan putung rokok sembarangan atau bekas pembakaran sampah yang dibiarkan begitu saja. Untuk di wilayah gunung beberapa faktor kebakaran juga dipicu oleh kelalaian pendaki gunung yang meninggalkan bekas api unggun atau putung rokok, sehingga menjadi stimulan dari kebakaran hutan di beberapa kawasan hutan.

Rata-rata hutan yang terbakar di kawasan wilayah hutan Jawa Timur berada dalam kekuasaan dan pengelolaan Perhutani, khususnya untuk hutan lindung dan produksi. Selanjutnya berada di kawasan BKSDA terutama di wilayah Cagar Alam dan Suaka Marga Satwa dan kawasan kelola Balai Taman Nasional yang di bawah KLHK. Kebakaran hutan yang menyasar kawasan-kawasan hutan baik lindung maupun produksi merupakan suatu fenomena, di mana kebakaran hutan merupakan indikasi jika lingkungan hidup di sekitar kita mulai mengalami degradasi. Peningkatan suhu, pada dasarnya diakibatkan oleh gas efek rumah kaca yang membuat lapisan ozon rusak. Gas rumah kaca ini diakibatkan oleh berkurangnya kawasan hutan, serta masifnya eksploitasi atas lingkungan hidup.

Eksploitasi Alam dan Perubahan Iklim

Peningkatan suhu di bumi salah satu implikasi logisnya ialah mengakibatkan perubahan iklim (climate change), menurut riset NASA (The National Aeronautics and Space Administration) maupun NOAA (The National Oceanic and Atmospheric Administration) yang merupakan badan independen pemerintah Amerika Serikat, mengatakan jika ada tren kenaikan suhu sejak tahun 2010 sebesar 1 derajat celcius. Hal tersebut juga sama dengan hasil riset dari IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang menyatakan sejak era revolusi industri pertama hingga saat ini, telah terjadi peningkatan suhu sebesar 1-1.5 derajat celcius. Hal inilah yang mengilhami beberapa negara-negara yang tergabung di IPCC untuk sepakat menjaga suhu di bumi dengan berbagai pendekatan, salah satunya melawan deforestasi dan menerapkan aturan ketat terhadap korporasi.

Grafik peningkatan suhu Bumi

Maka dari itu, faktor kebakaran hutan tak sepenuhnya karena fenomena alam. Dominasi kuasa manusia dalam melakukan eksploitasi turut menjadi faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, tidak terkecuali di wilayah Jawa Timur. Karena peningkatan suhu di bumi diakibatkan oleh perubahan iklim, yang dideterminasi oleh alih fungsi masif kawasan hutan untuk akumulasi kapital. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bellamy Foster dalam artikel berjudul Capitalism’s Enviromental Crisis-Is Technology the Answer yang diterbitkan oleh Monthly Review pada Desember 2000. Ia menyatakan bahwa perkembangan kapitalisme, menciptakan teknologi terbaru untuk mereduksi dampak eksploitasi dari alam, dengan produk-produk yang diklaim lebih efisien. Seperti substitusi energi dari fosil ke biofuel, mendaur ulang sumber daya dan membuat reformasi di bidang lingkungan.

Namun karena dari awal sifat kapitalisme adalah melakukan akumulasi profit, maka perkembangan teknologi tersebut tak jauh-jauh dari kamuflase hijau. Artinya walau melakukan substitusi energi, perubahan tata aturan dan melakukan proses-proses daur ulang, tetapi jika masih menekankan pada akumulasi, maka di satu sisi proses penghancuran metabolisme alam akan terus berlanjut, sampai mengalami krisis dan bencana. Faktor akumulasi inilah yang menjadi dasar mengapa banyak kawasan yang beralih fungsi, salah satu cara untuk melakukan proses tersebut ialah dengan melakukan pembakaran hutan. Selain itu kebakaran hutan juga diakibatkan oleh implikasi dari perubahan iklim.

Foster dan Magdoff dalam buku Lingkungan Hidup dan Kapitalisme di bagian ‘Krisis Ekologi Skala Planet,’ menyatakan jika salah satu penyebab degradasi lingkungan hingga mengkibatkan bumi mengalami fase kritis, juga diakibatkan oleh semakin ekspansifnya kapitalisme dengan perkembangan teknologi yang semakin destruktif, hingga sistem ekonomi akumulatif yang tak kenal batas. Sehingga menyebabkan degragasi ekologi masif, baik di tingkat lokal, regional maupun global, bahkan pada satu titik meluas hingga skala planet. Mengakibatkan terancam punahnya peradaban, hal ini ditandai dengan semakin banyaknya pencemaran dalam skala luas, mulai menurunnya daya dukung lingkungan dan meningkatknya suhu di bumi.

Oleh karena itu faktor kerusakan lingkungan hidup, terutama kebakaran hutan dan lahan bukan dikarenakan faktor yang cenderung parsial, atau situasi yang terpisah-pisah dan berdiri sendiri, seperti kesalah individu atau faktor alam. Tetapi pada realitasnya ada faktor yang saling korelasional antara satu penyebab dengan penyebab lainnya, sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan secara masif hingga mengakibatkan bencana yang meluas, dalam konteks ini akan memicu krisis ekologi skala planet.

Referensi

Foster, J. B. (2000). Capitalism’s environmental crisis–is technology the answer?. Monthly Review, 52(7), 1.

Foster, J. B dan Magdoff, F. (2018). Lingkungan Hidup dan Kapitalisme: Sebuah Pengatar. Terj Pius Ginting. Marjin Kiri: Tangerang Selatan.

Sumber Rujukan

http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran
https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4645687/bpbd-jatim-sebut-99-kebakaran-hutan-disebabkan-ulah-manusia
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/07/09431641/bnpb-sebut-kebakaran-hutan-dan-lahan-di-sekitar-gunung-arjuno-telah-padam
https://climate.nasa.gov/vital-signs/global-temperature/
https://www.ipcc.ch/sr15/