Ikan Makan Sampah, Kita Makan Ikan?

Oleh: Zulfikar Hardiansyah, Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UB, Staff Litbang LPM Perspektif

DetikNews.com

Ungkapan tanya yang menjadi judul di atas, merupakan sebuah refleksi kritis atas apa yang terjadi pada kondisi ekosistem lingkungan di kelautan kita saat ini. Ancaman kerusakan ekosistem di laut Indonesia semakin mengalami eskalasi seiring berjalannya waktu. Ancaman tersebut, salah satunya berasal dari keberadaan sampah platik yang ada di laut Indonesia. Indonesia tahun ini menghasilkan sampah sekitar 67 Juta Ton, dengan 15 persen di antarnya merupakan sampah plastik. Sampah plastik itu yang kemudian dapat berpotensi bermuara di laut Indionesia (AA.com, 2019).

Masalah sampah plastik merupakan masalah global, bahwa setidaknya terdapat 2,5 Milliar metrik ton sampah yang dihasilkan 192 negara, di mana 10 persen di antaranya adalah sampah plastik. Berdasarkan jumlah sampah plastik itu, terdapat 8 juta metrik ton sampah plastik telah mencemari laut. Indonesia sendiri kemudian menghasilkan sampah plastik di laut dengan dengan jumlah 0.48–1.29 juta metrik ton per tahun (Jambeck, 2015). Fakta berikutnya dari hasil riset tersebut menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat kedua dari 192 negara sebagai penyumbang sampah plastik ke lautan.

Jika ditinjau dari konsep environment dalam human security, keberadaan sampah plastik dalam bentuk mikro dan nanoplastik di dalam laut Indonesia menjadi sangat berbahaya dan dapat mengancam kelangsungan hidup manusia. Sampah plastik di laut Indonesia berpotensi menyebabkan adanya keterbatasan akses untuk memperoleh ekosistem lingkungan yang ramah dan berkelanjutan (Debiel, 2006).  Ancaman dari keberadaan sampah plastik di laut dapat timbul karena ukurannya yang bisa sangat kecil, sehingga bisa dengan mudah dimakan oleh biota laut dari yang berukuran sangat kecil hingga besar.

Ancaman ini dapat dilihat dari terganggunya ekosistem rantai makanan karena terkontaminasi sampah plastik (Pusat Oseanografi LIPI, 2017). Plankton bisa memakan mikroplastik dari sampah plastik. Padahal, plankton tersebut merupakan makananan bagi ikan kecil, dan ikan kecil nantinya dimakan oleh ikan besar. Yang mana, ikan besar tersebut akan dikonsumsi oleh masyarakat. Hal itu yang kemudian dapat menimbulkan potensi berbahaya bagi lingkungan dan mengancam keamanan masyarakat Indonesia kedepannya (Axworthy, 2001).

Besarnya keberadaan sampah plastik di laut Indonesia disebabkan adanya serangkaian aktivitas dari berbagai pihak (masyarakat, pemerintah, dan perusahaan). Masyarakat belum memahami urgensi dalam menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah plastik di lautan. Masyarakat masih memiliki paradigma pengelolaan sampah secara praktis, sehingga sampah langsung dibuang wilayah perairan terdekat (sungai atau selokan) dan akhirnya sampah itu bermuara ke laut. Sebagian besar sasyarakat belum memiliki kesadaran untuk mengolah atau setidaknya membuang sampah plastik  ke tempat sampah (NationalGeographic.grid.id, 2018). Selain itu, permasalahan keberadaan sampah plastik yang berada di laut Indonesia juga disebabkan oleh semakin tingginya tingkat konsumsi makanan kemasan-kemasan plastik dari berbagai produk (TimesIndonesia.co.id, 2016).

Hal ini kemudian menunjukkan bagaimana adanya relasi antara perusahaan yang menghasilkan suatu produk kemasan plastik dengan keberadaan sampah plastik di Laut Indonesia. Pemerintah sendiri selaku penyelanggara negara, kurang serius dalam memberlakukan undang-undang tentang pengelolaan sampah, baik di level nasional maupun daerah. Hal ini seperti yang dipaparkan oleh Indonesian Center for Environmental Law (2019) tentang kondisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Secara garis besar Undang-Undang tersebut mengamanatkan untuk adanya pengaturan pelaksanaan tentang pengelolaan sampah lebih lanjut, dari peraturan menteri, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah. Namun, Undang-Undang yang telah berlaku 11 tahun itu, hingga kini masih banyak amanat di dalamnya yang tak kunjung tuntas.

Karena itu, keberadaan sampah plastik di laut Indonesia tidak dapat hanya dipersalahkan pada salah satu pihak karena terdapat relasi dari banyak aktor. Menurut penulis, diperlukan adanya mekanisme upaya bersama untuk mengelola sampah plastik di laut. Mengingat, potensi berbahaya dan kerugian dari adanya sampah plastik di lautan dapat menyebar ke wilayah lain dan sumber masalah itu dihasilkan dari relasi banyak aktor.

Menurut Rosenau (dalam Finkelstein, 1995) tata kelola global memiliki arti sistem tata kelola di semua tingkat aktivitas manusia, dari keluarga hingga organisasi internasional, yang mana dalam mengejar tujuannya melalui pelaksanaan kontrol yang memiliki dampak transnasional. Setiap kegiatan dari berbagai tingkat tersebut dimaksudkan untuk mengontrol dan mengelola common affairs seperti kesehatan, pendidikan, kemiskinan, lingkungan dan lain sebagainya.

Secara garis besar, pengelolaan dalam tata kelola global dapat dikategorikan ke dalam tiga bagian aktor, yakni Government, Multinational Corporation (MNC), dan Non Governmental Organization (NGO). Adapun upaya yang dilakukan aktor tersebut dapat berupa incentives dalam mengelola common affairs, maksudnya adalah ketiga bagian aktor itu kemudian dapat memproduksi regulasi, nilai, norma, kebijakan mengenai pengelolaan common affairs untuk mempengaruhi dan memberikan rekomendasi aktivitas apa yang harus dilakukan pada aktor lainnya. Tetapi kemudian, government memiliki wewenang lebih untuk dapat melakukan pemaksaan akan berlakunya suatu kebijakan yang telah diproduksi, di mana aktivitas itu masuk pada fungsi coercion (Inge Kaul, 2013).

Oleh karena itu, jika  government tidak bisa menuntaskan regulasi yang dapat mengatur pengelolaan sampah maka upaya menciptakan kelestarian lingkungan akan lebih sulit tercapai. Keberadaan sampah plastik di laut Indonesia  seperti bom waktu yang setiap saat dapat merusak ekosistem di dalamnya. Keberadaan sampah plastik, harus segera ditangani untuk mencegah kerusakan yang lebih luas lagi di dalam laut. Diperlukan keseriusan dari berbagai aktor untuk menangani persoalan keberadaan sampah plastik di laut sebagai common problem. Jika tidak segera ditangani, kerusakan tidak hanya terjadi pada ekosistem di dalam laut saja, tapi juga dapat mengancam kelangsungan hidup umat manusia. Apakah kita mau makan sampah di kemudian hari?