Penahanan Kembali Dian Purnomo dan Darno Melanggar Hukum

Tim Advokasi Waduk Sepat yang terdiri dari LBH Surabaya, WALHI Jawa Timur dan KONTRAS Surabaya, dalam hal ini selaku Penasihat Hukum dari Dian Purnomo, menyatakan bahwa Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur telah melakukan pelanggaran prosedur dalam penetapan penahanan terhadap aktivis lingkungan hidup Dian Purnomo dan Darno. Berikut kronologi proses hukumnya:

1. Para terdakwa tersebut telah dikeluarkan demi hukum dari Rutan Klas I Surabaya di Medaeng, Sidarjo pada tanggal 27 Mei 2019, dengan alasan bahwa lamanya pidana penjara yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Surabaya (Perkara No. 768/Pid.B/2019/PN.Sby., tanggal 23 Mei 2019 telah sama dengan masa penahanan yang dijalani oleh para terdakwa tersebut, yakni 2 (dua) bulan 15 (lima belas) hari. (softcopy Berita Acara Pengeluaran Tahanan Demi Hukum, terlampir).

2. Pada tanggal 31 Mei 2019 para terdakwa didatangi oleh Jaksa dari Kejaksaan Negeri Surabaya yang melakukan eksekusi Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur No. 608/PEN.PID/2019/PT.Sby., tanggal 24 Mei 2019 tersebut.

3. Berdasarkan isi Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur No. 608/PEN.PID/2019/PT.Sby., tanggal 24 Mei 2019 tersebut, para terdakwa ditahan atas perintah penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur tersebut terhitung sejak tanggal 23 Maret 2019 sampai dengan tanggal 21 Juni 2019.

Analisa Hukum

Jika dilihat proses diatas, kami berpendapat bahwa Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur, yakni Sdr. H. Abdul Kadir, S.H.,M.H. telah melakukan perbuatan penyalahgunaan kewenangan dan tidak profesional atau setidak-tidaknya tidak cakap dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, dengan alasan perkara tersebut diputuskan oleh Hakim Pengadilan Negeri Surabaya pada tanggal 23 Mei 2019 (putusan No. 768/Pid.B/2019/PN.Sby.).

Berdasarkan Pasal 233 ayat (2) KUHAP, waktu untuk mengajukan banding bagi para terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum adalah paling lama 7 (tujuh) hari setelah putusan diucapkan atau setelah putusan diberitahukan kepada para pihak tersebut. Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding pada tanggal 23 Mei 2019, sedangkan para terdakwa baru mengajukan banding pada tanggal 29 Mei 2019, melalui penasihat hukumnya.

Penasihat Hukum yang mengajukan banding untuk para terdakwa tersebut tidak diberikan Akta Banding dengan alasan pejabat Panitera sudah pulang dan dijanjikan setelah libur Hari Raya Idul Fitri. Namun demikian dari proses tersebut dapat disimpulkan bahwa berkas perkara tersebut belum dikirimkan atau dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi terhitung sejak tanggal 23 Mei 2019 sampai dengan sekarang, sebab kami belum diberikan akta banding terhadap banding yang kami ajukan.

Berdasarkan Pasal 238 ayat (3) KUHAP, “Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara banding dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa.” Artinya, meskipun dalam perkara ini Jaksa Penuntut Umum banding pada tanggal 23 Mei 2019 sehingga kewenangan penahanan beralih kepada Pengadilan Tinggi Jawa Timur sejak tanggal 23 Mei 2019, namun untuk mengeluarkan Penetapan Penahanan maka Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur harus patuh kepada Pasal 238 ayat (3) KUHAP, yakni baru mengeluarkan penetapan penahanan setelah berkas perkara diterimanya.

Bagaimana mungkin Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur sudah menerima pelimpahan berkas perkara dari Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 24 Mei 2019, padahal pada saat ini masih dalam jangka waktu pikir-pikir atau masih dalam tenggang waktu banding, terhitung tanggal 23 Mei sampai dengan tanggal 30 Mei 2019. Pada kenyataannya para terdakwa baru mengajukan banding tanggal 29 Mei 2019.

Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur tersebut memberlakukan surut penetapan Penahanan yang dikeluarkannya tanggal 24 Mei 2019, namun menetapkan masa penahanan terhitung sejak tanggal 23 Mei 2019. Hal tersebut adalah tendensius dan melanggar hak kebebasan para terdakwa yang hak asasinya dijamin secara konstitusional.

Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur melampaui kewenangannya dengan melanggar prinsip pedoman Mahkamah Agung RI, yakni: Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032/SK/IV/2007 tentang Memberlakukan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, pada Bagian Petunjuk Pelaksanaan.

Penyelenggaraan Administrasi dan Teknis Peradilan di Lingkungan Pengadilan Umum Perkara Pidana: pada angka 16.4 ditentukan: Apabila masa penahanan telah sama dengan pidana penjara yang diputuskan oleh Pengadilan, maka terdakwa dikeluarkan dari tahanan demi hukum. (Buku II tersebut, halaman 251).

Dalam perkara ini Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur berlaku sebagai dewa yang seolah mengetahui masa depan bahwa para terdakwa akan dijatuhi hukuman lebih dari 2 (dua) bulan 15 (lima belas) hari di mana para terdakwa telah menjalani lamanya penahanan lebih dari lamanya hukuman penjara yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya tersebut. Perbuatan Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur tersebut adalah pelanggaran yang sangat kasar dan menerobos prosedur serta tidak menghargai hak asasi manusia.