Sudah setahun lamanya semenjak aksi terakhir ketika Budi Pego divonis bersalah, melalui pengadilan yang tidak menunjukan keadilan. Isu Tumpang Pitu berangsur-angsur hilang dari linimasa, sontak hanya beberapa pegiat saja yang rutin menyuarakan ‘tolak tambang emas Tumpang Pitu.’ Merdeka Cooper Gold melalui PT. Bumi Suksesindo, tampak sumringah dengan penurunan eskalasi perlawanan, dengan aneka cara mereka ingin melenyapkan mereka yang bersuara untuk selamatkan Tumpang Pitu. Intimidasi, kriminalisasi dan gelontoran bantuan semu, telah memecah gerakan massa hingga berdiaspora. Namun itu bukan kendala, tugas berat menanti selain PT. Bumi Suksesindo nantinya akan ada PT. Damai Suksesindo dan anak turunan lainnya yang siap melahap gunung Tumpang Pitu.
Kini keadaan Tumpang Pitu semakin mengenaskan, dari landscape awal yang tampak hijau berseri-seri berubah menjadi kuning kecoklatan, sebagai pertanda jika hutan di Tumpang Pitu telah dipotong habis untuk areal pertambangan. Dengan situasi demikian, maka akan ada fungsi yang hilang yakni Tumpang Pitu sebagai kawasan vegetasi alami. Dampaknya akan begitu dahsyat, seperti hilangnya beberapa flora dan fauna endemik, hingga daya dukung lingkungan yang berangsur-angsur mengalami degradasi. Hal ini akan mengakibatkan disfungsi alamiah, metabolisme alam terganggu keberadaannya, fungsi-fungsi alamiahnya secara filosofis akan hilang berserta suara-suara jeritan pohon, hewan dan manusia.
Gambar-gambar tiga dimensi di atas merupakan hasil dari proyeksi citra satelit, yang menggambarkan kondisi Tumpang Pitu kini. Sebagai bagian dari penyadaran dan pembelajaran kami mencoba mengulik lebih dalam maksud dari gambar ini. Wawancara kali ini akan meminta pendapat dari Nanang Edy Sularso atau dikenal Nanang Ndo, ia merupakan salah satu pegiat konservasi di Jawa Timur, dan juga Dewan Daerah Walhi Jatim representasi dari Klub Indonesia Hijau Regional Jatim.
Ada gambar dari citra satelit yang menunjukan kerusakan di Tumpang Pitu, apa sebenarnya maksud dari gambar itu?
Dari gambar 3 Dimensi yang dihasilkan citra satelit ini, kita bisa punya gambaran tentang apa yang sedang dilawan oleh tambang emas Tumpang Pitu, Banyuwangi. Tambang ini sedang melawan hukum alam.
Melawan hukum alam, mungkin bisa dijelaskan lebih lanjut?
Kawasan berlereng curam yang berjarak 2-3 Kilometer dari pemukiman penduduk dan lokasi pariwisata ini mestinya dikonservasi. Namun yang terjadi justru sebaliknya, vegetasi berkayu keras yang berfungsi sebagai pencengkeram lereng malah dihabisi demi emas yang kelak akan habis alias tak berkelanjutan. Tak cukup dirobohkan pohonnya, Tumpang Pitu juga dibom.
Bagaimana bisa Tumpang Pitu yang seharusnya jadi kawasan penyangga, tapi kok malah di eksploitasi masif?
Gunung Tumpang Pitu ini dulunya berstatus sebagai hutan lindung. Namun, demi kepentingan beroperasinya tambang emas, statusnya diturunkan jadi hutan produksi. Menteri Kehutanan RI, Zulkifli Hasan, lewat Surat Nomor SK.826/Menhut-II/2013 yang ditanda tanganinya pada 19 November 2013, menurunkan status Tumpang Pitu, dari hutan lindung menjadi hutan produksi. Zulkifli Hasan menurunkan status Tumpang Pitu, setelah ada usulan dari Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas. Usulan Bupati Anas tersebut tertuang dalam surat nomor 522/635/429/108/2012, tanggal 10 Oktober 2012.
Jelas ada kerugian di sini dengan penurunan status, ketika konservasi itu urung dilakukan dan malah mengeksploitasinya. Lantas sejatinya, peran vital apa yang dimiliki oleh Tumpang Pitu?
Gunung Tumpang Pitu ini dibutuhkan warga karena fungsinya sebagai benteng alami dari tsunami. Dengan fungsinya yang demikian, seharusnya Tumpang Pitu dipertahankan utuh, apalagi jika mengingat status pesisir selatan Banyuwangi sebagai Kawasan Rawan Bencana (KRB). Kebijakan penguasa menghadirkan tambang di KRB adalah kebijakan yang tidak bijak, dan meminggirkan aspek keselamatan warga.
Jadi, Tambang Emas ini benar-benar melawan hukum alam dengan merusak fungsi alamiah Tumpang Pitu, begitu ya?
Selain merapuhkan fungsi Tumpang Pitu sebagai benteng alami dari daya rusak tsunami, keberadaan tambang emas tersebut teramat dekat dengan pemukiman dan fasilitas ekonomi warga, seperti Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
Seperti apa gambarannya, mengenai terancamnya wilayah di sekitar Tumpang Pitu?
Tambang ini dekat dengan kampung nelayan Pancer (Pancer adalah nama dusun yang berada dalam Desa Sumberagung). Jarak antara Gunung Tumpang Pitu dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pancer kurang lebih 8,3 km. Sementara jarak (calon) kolam penampungan limbah tambang ke TPI Pancer kurang lebih 6,7 km. Sedangkan lokasi tambang itu sendiri berjarak kurang lebih 3 km dari pemukiman penduduk.
Selain permukiman, apa lagi yang terancam dengan adanya tambang emas ini?
Garis batas wilayah konsesi tambang ini juga begitu dekat dengan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Dan yang perlu digarisbawahi, tak cukup dengan mengeksploitasi Gunung Tumpang Pitu, korporasi tambang ini juga mengincar Gunung Salakan yang berada di barat Tumpang Pitu.
Terakhir, apa yang bisa kita lakukan sekarang untuk menyelamatkan Tumpang Pitu?
Akankah kita diam dengan kerakusan ini? Hanya satu kata, “lawan”. Mari kita lawan kombinasi pemodal-penguasa yang telah melawan hukum alam ini.