Pada hari selasa (19/2/2019) yang cerah, sekitar 35 warga Sepat, Lidah Kulon, Lakarsantri menaiki mobil sewa untuk menuju Pengadilan Negeri Surabaya yang terletak di Jalan Arjuno. Mereka sudah sangat akrab dengan pengadilan ini, karena beberapa kali ‘bertarung’ dengan pihak Pemkot Surabaya dan Ciputra Surya untuk mempertahankan Waduk Sepat. Rata-rata yang mengikuti aksi ialah perempuan, sedangkan sisanya laki-laki. Mereka dengan bersemangat meneriakkan selamatkan Waduk Sepat!!! Kembalikan Waduk Sepat!!! Bebaskan Dian dan Darno!!!
Aksi ini sendiri merupakan bentuk pengawalan mereka atas nasib Waduk Sepat, yang pada hari tersebut sedang bergulir sidang perdana CLS (Citizen Law Suit). Tetapi sidang ini sendiri akhirnya ditunda minggu depan karena pihak tergugat tidak menghadiri sidang. Sehingga minggu depan terdapat dua agenda besar yakni, mengawal sidang gugatan CLS dan pra-peradilan dua warga yang dikriminalisasi (sidang akan dilaksanakan 25 Maret 2019 untuk pra-peradilan dan 26 Maret 2019 untuk lanjutan gugatan CLS).
Tercatat mulai dari tahun 2016 mereka sudah melakukan gugatan CLS atau warga negara yang menggugat pemangku kepentingan karena kelalaian atau tidak memenuhi hak warga negara. Gugatan tersebut diarahkan ke Pemkot Surabaya yang telah melakukan tindakan yang tidak benar, dengan melakukan alih fungsi kawasan lindung. Mereka melakukan ruislag (tukar guling kawasan) Waduk Sepat dengan kawasan milik Ciputra Surya di Surabaya Barat, untuk kepentingan pengembangan kawasan properti dan pembangunan Pusat Olahraga Surabaya (Surabaya Sport Center).
Alih fungsi tersebut dilakukan secara cacat, karena menyebutkan kawasan Waduk Sepat sebagai pekarangan. Tentu secara administratif telah terjadi penyelewengan, terlebih dengan diterbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) oleh BPN Kota Surabaya. Padahal wilayah seluas 6, 67 Ha tersebut tidak pernah berwujud pekarangan yang ada ialah berupa waduk. Tetapi secara gegabah majelis hakim menolak gugatan CLS tersebut, dengan dalih yang tak rasional serta berpihak pada kepentingan pelestarian lingkungan hidup dan warga. Kini mereka melakukan gugatan serupa, guna menegakkan keadilan atas kawasan yang menjadi identitas warga Sepat.
Perjuangan warga Sepat, Lidah Kulon, Lakarsantri memasuki babak baru, setelah sebelumnya dua pejuang mereka disidik oleh kejaksaan Negeri Surabaya dan harus mendekam di jeruji besi selama proses penyidikan. Sebelumnya, pada 27 Juli 2018, empat orang warga Sepat yaitu Rokhim, Darno, Suherna, dan Dian Purnomo dilaporkan ke Polda Jatim atas laporan memasuki pekarangan milik Ciputra Surya tanpa izin, serta tuduhan melakukan perusakan. Mereka dijerat menggunakan pasal 167 dan 170 KUHP. Setelah melalui proses panjang, pada akhirnya sekitar tanggal 7 November 2019, dua warga bernama Dian Purnomo dan Darno ditetapkan sebagai tersangka.
Perjuangan Belum Usai!!!
Kriminalisasi yang dialami oleh dua warga Sepat bernama Darno dan Dian Purnomo ini, berawal dari upaya mereka menghentikan pengeringan waduk oleh pihak-pihak yang ingin menghilangkan Waduk Sepat. Tentu ini sangat kontras, di mana dua warga negara yang berupaya melindungi waduknya, harus terancam nasibnya, terpisah dari keluarganya, akibat tindakan stakeholder yang benar-benar tidak memahami apa itu konstitusi serta aturan yang berlaku.
Waduk Sepat, merupakan salah satu warisan budaya dan sejarah yang masih eksis di Surabaya, khususnya Surabaya Barat. Semenjak proses ruislag atau tukar guling yang dilakukan secara sepihak oleh Pemkot Surabaya, dengan pihak korporasi properti raksasa Ciputra Surya, telah mengusik ketenangan warga Sepat yang terletak di RW V dan RW III, Kelurahan Lidah Kulon Surabaya. Mereka terancam kehilangan identitas mereka, karena tindakan sembrono yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya.
Selain mengabaikan faktor sejarah, pihak Pemkot Surabaya juga mengabaikan fungsi waduk itu sendiri. Secara tidak langsung Pemkot Surabaya telah melanggar peraturan tentang konservasi wilayah, dan Rencana Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW) Kota Surabaya 2014-2034. Pasalnya dalam RTRW tersebut terutama di bagian ketentuan umum yang tercantum dalam pasal satu, pada poin ke 47 tercantum jika kawasan sempadan waduk atau bosem merupakan salah satu wilayah yang dilindungi, karena berfungsi sebagai wilayah perlindungan tangkapan air atau wilayah yang melindungi waduk (bosem).
Sementara dalam pasal 14 sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 13 a, menyebutkan jika waduk merupakan kawasan yang dilindungi karena fungsi resapannya. Selain pada konteks waduk, ruang terbuka hijau harus dijaga serta mengendalikan pembangunan agar tidak merusak fungsi kawasan resapan air. Jika ditelusuri lebih lanjut pada pasal 19 poin kelima, menyebutkan jika pusat lingkungan yang merupakan wilayah yang dicanangkan sebagai kawasan lindung, tercatat jika Lakarsantri masuk Unit Pengembangan Wilayah X Wiyung.
Kemudian hal tersebut dipertegas dalam pasal 41 poin pertama yang menyebutkan, jika wilayah waduk atau bosem merupakan unit yang dilindungi, tersebar di wilayah Unit Pengembangan I Rungkut, Unit Pengembangan V Tanjung Perak, Unit Pengembangan X Wiyung dan Unit Pengembangan XII Sambikerep. Selanjutnya Unit Pengembangan X Wiyung ini meliputi kawasan Karang Pilang dan Lakarsantri.
Penetapan wilayah tersebut bukan tanpa sebab, karena wilayah di Lakarsantri, Wiyung dan Karang Pilang banyak tersebar ruang terbuka hijau, kawasan sungai dan waduk. Wilayah tersebut menjadi penyangga untuk wilayah di bawahnya, sebagai salah satu penyeimbang lingkungan hidup yang fungsinya sangat penting, yakni sebagai kawasan pengendali bencana. Tentu hal tersebut sangat kontradiktif dengan perampasan ruang hidup yang kerap dilakukan oleh Pemkot Surabaya, melalui alih fungsi kawasan masif, sebagaimana yang terjadi di Waduk Sepat yang berada di wilayah Lakarsantri.
Selain berbicara tentang RTRW Kota Surabaya dalam UU Konservasi Nomor 5 Tahun 1990, menyebutkan jika suatu kawasan memiliki nilai penting, sebagai kawasan penyangga atau kawasan yang memiliki fungsi vital seperti untuk resapan air dan penampung air, seperti waduk merupakan wilayah yang harus dilestarikan dan dilindungi. Sudah jelas, bagaimana aturan-aturan tersebut sangat spesifik serta kontekstual. Secara tidak langsung Waduk Sepat merupakan kawasan yang harus dilindungi, dan Pemkot Surabaya tidak taat pada aturan tersebut, serta terkesan membiarkan alih fungsi kawasan.