PRESS RELEASE EKSAMINASI PUTUSAN KASUS BUDI PEGO “Pejuang Lingkungan Hidup Banyuwangi yang Dikriminalisasi Karena Melawan Industri Tambang”

Panitia Eksaminasi:
HRLS Universitas Airlangga, WALHI Jatim, LBH Surabaya, Kontras Surabaya, ForBanyuwangi

Selain telah memicu terjadinya krisis ekologis, hadirnya industri pertambangan di gunung Tumpang Pitu, Desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi, yang dilakukan oleh PT. Bumi Suksesindo (PT. BSI) dan PT. Damai Suksesindo (PT. DSI) dari sejak tahun 2012, juga telah mendorong terjadinya tindakan represi terhadap warga yang menolak kehadiran tambang. Salah satunya adalah kriminalisasi terhadap Heri Budiawan, seorang warga Tumpang Pitu asal Desa Sumberagung.

Sebagaimana diketahui, pada 16 Oktober 2018, Heri Budiawan, divonis 4 tahun oleh Mahkamah Agung (MA), dengan tuduhan telah menyebarkan ajaran komunisme dengan media spanduk. Ia dijerat dengan pasal 107a UURI No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. Sebelumnya karena tuduhan tersebut, ia telah menjalani hukuman selama 10 bulan pasca terbitnya putusan Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi dan Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur. Namun, karena tak terima dengan putusan PN dan PT, Heri Budiawan dan tim kuasa hukumnya mengajukan Kasasi di MA. Tapi, dalam perjalanannya, hakim MA malah menaikkanya menjadi 4 tahun.

Terkait putusan MA tersebut, sejumlah kalangan akademisi dari berbagai universitas dan organisasi masyarakat sipil menginisiasi untuk melakukan eksaminasi atas putusan hakim PN dan PT. Sebelumnya dalam eksaminasi ini, juga akan dilakukan pembacaan atas putusan kasasi yang berasal dari hakim MA. Namun, hingga saat ini, Heri Budiawan dan tim kuasa hukum belum menerima salinan putusan tersebut.

Catatan Penting Eksaminator

Rabu (27/2) sore, beberapa pakar hukum dari berbagai universitas berkumpul di Ruang Pusat Studi, HRLS, Gedung C, Fakultas Hukum Universitas Airlangga guna melakukan eksaminasi putusan Heri Budiawan.

Adapun dalam eksaminasi ini, ada 4 orang yang bertindak sebagai eksaminator. Mereka adalah Dr. Joko Ismono, SH, MH (akademisi Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra), Dr. M. Tavip, SH, MH (akademisi Fakultas Hukum Universitas Tadulako), Dr. Hananto Widodo, SH, MH (akademisi Fakultas Hukum, Universitas Negeri Surabaya), Dr. Herlambang P Wiratraman (akademisi Fakultas Hukum Universitas Airlanggga).

Joko Ismono, dalam catatannya mengatakan bahwa persoalan kriminalisasi terhadap pejuang HAM dan lingkungan hidup, telah dilindungi oleh pasal 66 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Ia menambahkan bahwa apa yang menimpa Heri Budiawan adalah kriminalisasi, karena tidak adanya bukti yang dihadirkan di setiap persidangan. Menurutnya penerapan pasal kejahatan terhadap keamanan negara yang dituduhkan terhadap Heri Budiawan tidak tepat.

“Hakim berpikir formalisitik, tidak melihat konteks bahwa itu adalah perbuatan memperjuangankan lingkungan hidup,” tegasnya.

Ia juga mengatakan, bahwa kasus Heri Budiawan telah menjadi sorotan publik secara luas. Seharusnya dengan demikian, hakim harus lebih hati-hati dalam memutuskan perkara ini. Namun ia cukup kaget dan menangkap sejumlah keanehan, karena hakim MA malah memperberat hukuman terhadap Heri Budiawan. Sehingga ia menduga bahwa dalam kasus Heri Budiawan ini ada indikasi tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan.

“Karena berdasarkan KUHAP, kewenangan hakim MA dalam tingkat kasasi hanya untuk memeriksa apakah judex facti melampaui kewenangan, apakah judex facti salah dalam penerapan materilnya dan formilnya,” ungkapnya.

M. Tavip, selaku eksaminator, juga memberikan catatannya. Ia mengatakan bahwa dalam kasus Heri Budiawan ini, ia tidak melihat adanya unsur melawan hukum.

“Yang dipakai oleh hakim tingkat PN untuk memutuskan putusan terhadap kasus Heri Budiawan adalah unsur melawan hukumnya hanyalah aksi yang tidak memiliki ijin. Hakim agak kacau, karena instrumen untuk aksi adalah pemberitahuan, bukan ijin,” tegasnya.

Hananto Widodo, eksaminator ketiga dalam eksaminasi ini, juga memberikan catatan kritisnya. Ia menegaskan bahwa kasus Heri Budiawan tidak memenuhi unsur melawan hukum dan terkesan dipaksakan. Menurutnya, ia menduga adanya unsur rekayasa agar Heri Budiawan kehilangan hak-haknya. Bahkan ia menambahkan kasus ini hanya untuk mengalihkan isu terkait pertambangan yang ditolak oleh warga Tumpang Pitu.

“Bahwa sebenarnya pasal 107a bisa digunakan terhadap Heri Budiawan, jika ia paham dengan ajaran komunisme. Sehingga dengan kasus ini, untuk ke depan pasal ini bisa menjadi pasal rawan. Pihak penegak hukum hanya mendasarkan bukti formal saja dalam kasus ini,” tutupnya.

Dalam eksaminasi ini, Herlambang Wiratraman juga memberikan catatan menarik. Menurutnya dalam putusan hakim PN dan PT, ia melihat bahwa nalar hukum hakim tidak merujuk pada satupun tradisi aliran filsafat hukum.

“Dalam filsafat hukum terdapat 6 aliran, yakni: aliran historis, naturalis, positivisme, soiological jurisprudence, utilitarianisme, realisme. Dalam kasus ini, tidak satu pun hakim merujuk pada aliran filsafat hukum tersebut,” ungkapnya.

Dalam eksaminasi ini, para eksaminator juga mengundang Fachrizal Afandi, pengajar fakultas hukum Universitas Brawijaya yang tengah menempuh pendidikan doktoral diVan Vollenhoven Institute, Belanda untuk turut bergabung memberikan catatannya.

Dalam pernyataannya melalui telepon, ia mengatakan bahwa dalam kasus Heri Budiawan ini ia tidak melihat adanya bukti yang dituduhkan. Sehingga menurutnya, unsur pidananya tidak terpenuhi.Bahkan unsur penggulingan pemerintahan yang sah sebagaimana tertuang dalam UURI No. 27 Tahun 1999 yang dituduhkan terhadap Heri Budiawan juga tidak ada. Sehingga menurutnya, putusan hakim PN dan PT cuma copy paste dari jaksa dan BAP pihak kepolisian.

Jalan Berliku Kasus Heri Budiawan

Senin (4/9/2017) pagi, Heri Budiawan, seorang warga pejuang lingkungan Tumpang Pitu asal desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi kembali mendatangi kantor kepolisian Resor Banyuwangi (Polres Banyuwangi).

Kedatangannya guna memenuhi surat panggilan Polres Banyuwangi sehubungan dengan perkara tuntutan yang ia hadapi sebagai tersangka yang diduga melakukan tindak pidana melakukan penyebaran dan mengembangkan ajaran komunisme, marxisme-leninisme di muka umum dengan media tulisan (spanduk). Ia dijerat dengan pasal 170a UURI No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.

Tanpa terduga sebelumnya, pasca pemeriksaan itu di Polres Banyuwangi, Heri Budiawan langsung digiring ke mobil kepolisian untuk selanjutnya dibawa ke kantor Kejaksaan Negeri (Kajari) Banyuwangi. Setibanya di Kajari, ia kembali menjalani beberapa pemeriksaan selama 1 jam.

Usai itu, ia yang didampingi oleh 2 orang pengacara dari Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria (Tekad Garuda) mendapatkan keterangan dari pihak Kajari Banyuwangi bahwa dirinya akan langsung ditahan.

Jika dirunut kembali ke belakang, pasal ini dituduhkan pasca berlangsungnya aksi pemasangan spanduk “tolak tambang” oleh Heri Budiawan bersama warga Sumberagung dan sekitarnya di sepanjang jalan pantai Pulau Merah-Sumberagung hingga kantor kecamatan Pesanggaran pada 4 April 2017.

Satu hari pasca aksi tersebut (5/4/2017), aksi itu dituduh oleh pihak aparat keamanan telah menggunakan logo mirip palu arit di spanduk aksinya. Kasus itu semakin mencuat, saat salah seorang petinggi perusahaan tambang yang ditolak warga melaporkan aksi warga tersebut ke pihak kepolisian.

Patut ditambahkan, spanduk aksi tolak tambang tersebut memang dibuat di rumah Heri Budiawan pada Selasa pagi, 4 April 2017. Dan dalam pembuatannya, disaksikan oleh aparat keamanan (TNI/Polri) serta beberapa orang jurnalis.

Maka, ia menjadi terheran-heran saat muncul kasus tersebut, karena ia yakin tak ada satupun spanduk yang ia buat bersama rekan-rekannya terdapat logo palu arit, sebagaimana yang dituduhkan oleh aparat keamanan.

“Jika kami membuat spanduk ada logo palu aritnya, maka dari sejak pagi kami sudah ditangkap. Karena aparat keamanan turut menjadi saksi saat kami membuat spanduk aksi tolak tambang. Bahkan ikut mengawal aksinya juga,” ungkapnya.

Menurut pengakuan Heri Budiawan kasus itu telah menyebabkan 22 orang warga Sumberagung diperiksa secara marathon, dan berujung kepada penetapan 4 orang menjadi tersangka (salah satunya adalah dirinya).

Dalam perjalanannya, walaupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kajari Banyuwangi tidak pernah mampu menghadirkan bukti fisik spanduk yang dituduhkan dalam setiap persidangan, Heri Budiawan tetap divonis bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi pada Selasa, 23 Januari 2018.

Dirinya divonis 10 bulan penjara oleh majelis hakim PN Banyuwangi yang diketuai oleh Putu Endru Sonata. Atas putusan tersebut, Heri Budiawan dan tim kuasa hukum mengajukan upaya hukum banding di tingkat Pengadilan Tinggi (PT). Begitu juga dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kajari Banyuwangi juga mengajukan banding.

Akan tetapi, dalam perjalanan yang cukup berliku itu, pada tanggal 14 Maret 2018, majelis hakim PT Jawa Timur yang diketuai oleh Edi Widodo memutuskan menerima permintaan banding JPU Kajari Banyuwangi. Dan memutus pidana penjara selama 10 bulan terhadap Heri Budiawan. Atas putusan PT Jatim tersebut tim kuasa hukum Heri Budiawan mengajukan upaya hukum Kasasi di tingkat Mahkamah Agung (MA).

Dalam penantian yang cukup panjang, putusan Kasasi yang dinanti pun datang. Akan tetapi, MA melalui amar putusannya, pada tanggal 16 Oktober 2018, memutuskan menolak permohonan kasasi Heri Budiawan. Bahkan MA mengubah putusan PN Banyuwangi dan PT Jawa Timur, mengenai pidana penjara Heri Budiawan menjadi 4 (empat tahun). Adapun tim hakim MA yang memutus perkara tersebut adalah: H. Margono, SH., MH., MM, Maruap Dohmatiga Pasaribu, SH., M.Hum, dan Prof. DR. Surya Jaya, SH., M.Hum. Terkait putusan MA tersebut, Heri Budiawan dan tim kuasa hukumnya tengah mempersiapkan beberapa langkah strategis untuk perjuangan selanjutnya.

Dan kini dalam perkembangannya, Jumat, 7 Desember 2018 lalu, Heri Budiawan mendapatkan sepucuk surat kembali dari Kajari Banyuwangi (Surat Panggilan Terpidana), yang bertujuan untuk pelaksanaan putusan MA tersebut (eksekusi I).

Namun anehnya, pasca terbitnya surat eksekusi I tersebut, tim kuasa hukum dan Heri Budiawan belum menerima salinan putusan Kasasi. Bahkan dalam perkembangannya, Jumat, 21 Desember 2018, Heri Budiawan kembali mendapatkan surat panggilan eksekusi tahap II, yang akan jatuh pada Kamis, 27 Desember 2018. Dan sekali lagi hingga hari ini, tim kuasa hukum dan Heri Budiawan tetap belum menerima salinan putusan Kasasi.

Cerita ini mengantarkan kita pada kisah pilu sang pejuang lingkungan di Indonesia. Sekaligus merobek-robek nilai dan semangat yang telah tertuang dalam pasal 66 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Sebagaimana diketahui bunyi pasal 66 tersebut adalah “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.

Selain itu patut ditambahkan, Heri Budiawan dan 3 rekannya tersebut merupakan korban pertama dari berlakunya UURI No. 27 Tahun 1999, produk hukum yang justru dikeluarkan pada eral awal reformasi.