Perempuan dalam Ancaman Rezim Ekstraktivisme

Wahyu Eka. S (Manajer Pendidikan Walhi Jatim)

Perampasan ruang hidup di Jawa Timur semakin masif dan ekspansif, terutama di wilayah pesisir selatan dan utara. Mulai dari pertambangan migas, mineral logam maupun non logam, hingga infrastrukur penunjang ekspansi industri. Tidak ada lagi ruang yang benar-benar tersisa, semuanya telah dikapling untuk kepentingan kapital. Rakyat dalam entitas luas, semakin terpinggirkan dan terancam kehidupannya akibat dampak dari ekspansi industri berbasis ekstraktivisme.

Keselamatan rakyat, terutama yang bertempat tinggal di wilayah selatan dan utara sangat terancam keberadaannya. Seperti kelompok petani dan nelayan, yang rentan kehilangan ruang produksi ekonominya. Penting untuk dilihat, jika keberadaan industri berbasis ekstraktivisme ini membutuhkan ruang yang sangat luas, terutama untuk mengintegrasikan lini per lini mereka (konektivitas), untuk mewujudkan kelola manajerial yang efisien (murah dan keuntungan banyak).

Pada acara Jambore Perempuan Tolak Tambang yang diadakan oleh Walhi Jatim di Porong, Sidoarjo, pada tanggal 14-16 Februari 2019. Mengungkapkan jika secara kenampakan topografi wilayah Jawa Timur, mengalami perluasan perampasan ruang oleh rezim ekstraktivisme, yang sangat berimbas pada keselamatan ruang hidup rakyat, serta memiliki dampak yang sistemik pada keberlanjutan wilayah kelola rakyat dan juga memiliki dampak yang deterministik pada kehidupan perempuan.

Ekstraktivisme Sebagai Wujud Maskulinitas

Ekstraktivisme dalam konteks pertambangan adalah industri yang patriarki atau maskulin. Patriarki ialah situasi yang menindas, di mana ada satu tatanan yang mana laki-laki memiliki kuasa lebih atas hidup perempuan. Kondisi ini hasil dari konstruksi budaya yang menggungulkan jenis kelamin laki-laki, sehingga memunculkan struktur kultur, di mana pembagian peran dalam kehidupan (gender) berkoherensi dengan diskursus subordinasi yang mengarah pada domestifikasi. Patriarki sendiri merupakan wajah yang menindas, karena bersumber dari eksploitasi masif yang otoriter.

Dalam salah satu diskusi panel yang membahas terkait perempuan dan tambang. Menurut Khalisa Khalid dari eksekutif nasional Walhi, patriarki dengan rezim ekstraktivisme, seperti dalam kontek tambang ialah sifatnya yang eksploitatif. Watak eksploitasi itu berwatak patriarki, pada konteks ini ada proses marjinalisasi. Seperti pada substansi eksploitasi korporasi atas suatu lingkungan hidup, telah memarjinalisasi fungsi alam dan ekosistem. Cenderung abai dan tidak mau melihat resiko bencana masif.

“Patriarki adalah sistem yang menindas dengan mengambil keuntungan dari yang lain secara terus menerus.” Jelas Khalisa

Ketika melihat rezim patriarki ini harus benar-benar analitis dan holistis. Menurut Khalisa, ada suatu sisi yang coba dibelokkan dalam melihat upaya emansipasi. Seperti suatu korporasi yang menunjukan wajah emansipasi, namun hanya dalam kerangka luarnya saja, tetapi jika dilihat secara mendalam maka sebenarnya berwatak eksploitatif. Misal suatu korporasi mengklaim telah berperspektif gender.

“Ada indikator sesat di mana Bakrie sebagai perusahaan berkeadilan gender, namun di satu sisi berperan memarjinalisasi hidup orang melalui eksploitasi terutama perempuan. Indikator yang dilakukan hanya membuka pekerjaan kepada perempuan.” Terang Khalisa

Perampasan ruang-ruang hidup, semakin rusaknya ekosistem. Menjadi hal yang cukup serius untuk dilihat, tidak hanya melihat dalam satu dimensi namun harus dalam proposisi multidimensi. Karena, penindasan akhirnya tidak hanya berbicara soal hak atas kesetaraan, namun berimplikasi logis pada proses penambahan beban bagi perempuan dan semakin menjauhkan dari upaya transformatif ke ranah emansipasi untuk keadilan.

Perempuan dalam Ancaman Perampasan Ruang

Mengapa Perempuan? Karena kelompok Perempuan dalam budaya patriarki menjadi salah satu entitas yang benar-benar merasakan perubahan situasi dan kondisi suatu ekosistem. Mereka menjadi sosok yang tertindas secara kultural, merasakan dampak dari perampasan ruang. Beban mereka bertambah, selain harus setara dalam membangun suatu perekonomian keluarga, tugas ganda menjadi pekerja rumah tangga yang mengurusi seluk beluk urusan keluarga, menjadikan mereka semakin tertindas oleh perubahan ekosistem yang ada.

Seperti perempuan nelayan, mereka akan memiliki tugas ganda. Selain menyiapkan makan dan minum untuk keluarga, juga harus mengolah hasil tangkapan ikan dari suaminya. Di sektor lain yakni pertanian, banyak dari perempuan petani yang sehari-hari membantu suaminya bertani, bahkan porsinya lebih banyak dalam merawat lahan pertanian. Harus tersubordinasi dengan menjadi pekerja yang melayani semua kebutuhan suami. Dengan adanya perampasan ruang-ruang hidup yang berimbas rusaknya ekosistem, misal semakin berkurangnya air atau tidak tentunya perekonomian, membuat perempuan semakin rentan dan teropresi.

“Dalam setiap upaya penyelesaian masalah, perempuan selalu tidak dilibatkan. Seperti dalam kasus Lapindo, perempuan tidak dianggap dan laki-laki selalu diutamakan. Padahal seperti dalam melawan Lapindo ini bapak-bapak cenderung diam dan lunak, sementara hak adalah hak yang harus diperjuangkan. Maka perempuan harus memperjuangkannya, agar hak itu terpenuhi.” Jelas Harwati salah satu pejuang perempuan dari Porong.

Dalam struktur masyarakat patriarki, perempuan selalu dianggap liyan, tidak pernah dianggap setara. Harwati telah menjelaskan bagaiman situasi dan kondisi rezim ektraktivisme selain merampas kehidupan warga, seperti dengan menciptakan bencana Lumpur Lapindo yang mengekslusi ribuan manusia. Juga menjadi bukti nyata bagaimana subordinasi dan domestifikasi pada perempuan terjadi. Selain itu juga menunjukan bagaimana penindasan terhadap perempuan terjadi, ketika mereka harus menanggung beban ganda dan selalu dimarjinalkan.

Sehingga jelas dalam upaya menuju emansipasi, adanya perampasan ruang hidup telah menghambat upaya akselerasi mewujudkan tatanan yang adil, di mana tidak ada penindasan dari laki-laki ke perempuan. Serta mendorong upaya tatanan struktur fungsi masyarakat yang benar-benar adil dan setara, sebagai suatu wujud pengejahwatahan dari paradigma emansipasi itu sendiri.