Nuris Hisyam (UAPM Kavling 10 Universitas Brawijaya)
Mendengar suara derung bus mendekat, satu persatu warga mulai beranjak menyambut kami di teras sebuah rumah di Desa Sumberagung Kecamatan Pesanggaran Banyuwangi. Di tengah mereka, seorang pria berkaos hitam dan bertubuh kekar perlahan menurunkan gadis cilik yang sedari tadi bergelayut di tangan kirinya. “Monggo masuk,” sapanya kepada kami. Ia adalah Budi Heriawan atau lebih dikenal dengan nama Budi Pego. Sehari-hari ia bekerja sebagai petani buah naga.
Nama Budi mencuat di belantara media nasional akhir-akhir ini. Pada 16 Oktober 2018 kemarin Mahkamah Agung (MA) memberinya putusan hukuman empat tahun penjara sebagai buntut kasus dugaan penyebaran ideologi komunisme yang menjeratnya sejak tahun lalu. Budi dituduh melanggar Pasal 107a UU No 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab UU Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara tentang Penyebaran Ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme.
Kasus ini bermula ketika ia bersama puluhan warga menggelar demonstrasi pada 4 April 2017. Berarak-arak dari Pulau Merah menuju Kantor Camat Pesanggaran, mereka membawa spanduk penolakan tambang emas. Foto yang beredar menunjukkan salah satu spanduk bertuliskan “Karyawan BSI Dilarang Lewat Jalur Ini”, dengan bubuhan logo palu arit di sebelah kiri. Spanduk berlatar belakang putih itu ditulis dengan pilox warna merah. Budi tidak pernah mengira upaya aspirasinya hari itu bakal mengantarnya―bersama tiga warga lain Cipto Andreas, Trimanto, dan Dwi Ratna Sari―ditetapkan menjadi tersangka.
Lewat putusan Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi 23 Januari 2018, ia dijatuhi hukuman 10 (sepuluh) bulan oleh PN Banyuwangi. Upaya banding di Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur tetap menghasilkan vonis yang sama. Tak puas atas putusan PT Jawa Timur, tim kuasa hukum Budi mengajukan kasasi pada MA melalui PN Banyuwangi pada 25 April 2018. Diluar dugaan, MA menolak permohonan kasasi Budi dan justru menambah hukuman menjadi empat tahun.
Budi Pego sedang menghadapi situasi yang disebut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur Rere Christanto sebagai upaya kriminalisasi. WALHI menyebut sejumlah 723 kasus kriminalisasi telah terjadi di bawah pemerintahan Joko Widodo sejak 2015 hingga saat ini. Dari angka tersebut, 63 kasus yang tersebar di 11 provinsi ditangani WALHI, dengan status dalam proses persidangan, ditetapkan tersangka atau sedang ditahan. Tindak kriminalisasi dan intimidasi yang marak menurutnya mengancam hak aspirasi warga negara, terutama dalam memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Menolak Tambang Emas Tumpang Pitu
Akhir Juli lalu (30/7/2018), saya berkesempatan bertemu langsung dengan Budi Pego. Menumpang rombongan NGO (Non-governmental organization) 11.11.11 (Triple Eleven) yang memboyong sekitar dua puluh orang dari Belgia, kami menempuh sekitar tiga jam perjalanan dari Ketapang menuju kediaman Budi. Memasuki Dusun Pancer, jalan berdebu dan tak beraspal menggoncang-goncang bus kami. Di bahu kiri jalan, kami melewati kompleks perusahaan tambang emas PT Bumi Suksesindo (BSI), yang operasinya ditolak Budi dan warga. Hari itu menandai belum genap sebulan ia berkumpul kembali dengan istri dan kedua anaknya, setelah menuntaskan masa penahanan selama 10 bulan (4 September 2017-1 Juli 2018).
Siang itu, Direktur WALHI Jatim Rere Christanto menjadi penghubung dialog antara Budi Pego dengan rombongan 11.11.11. Budi Pego berkisah sepenggal demi sepenggal, Rere menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada Kris Vanslambrouck (Asia Program Coordinator 11.11.11) yang kemudian mengisahkan ulang pada timnya―yang mayoritas berasal dari komunitas flanders, warga Belgia berlidah Belanda.
“Kami melakukan penolakan karena merasa aktivitas tambang ini menimbulkan dampak pada masyarakat petani dan nelayan. Saya sendiri mulai merasakan dampak mulai 2014, waktu itu saya ditangkap di rumah setelah aksi di dalam area tambang, ada enam truk saya dibawa ke Polres. Anak saya sekarang umur 4 tahun kurang, waktu itu anak saya umur 6 hari,” tutur Budi.
Penuturan Budi, warga mulai merasakan dampak keberadaan tambang sejak 2014 lalu. Rumah-rumah warga kerap “bergetar” akibat peledakan (blasting) yang dilakukan di area tambang. Hal ini membuat kaca pecah serta dinding retak hingga runtuh. Bulan Agustus 2016 lalu terjadi banjir lumpur di Pulau Merah yang berlangsung hingga dua minggu lebih. Insiden yang diduga akibat aktivitas tambang ini sempat melumpuhkan aktivitas perekonomian warga sektor pariwisata.
2017 lalu, PT BSI mulai melakukan pemagaran area konstruksi tambang. Warga yang menggantungkan hidup dari hasil hutan Tumpang Pitu mulai dari rotan, bambu dan buah-buahan merasa dirugikan. Apalagi sejumlah wilayah pertanian garapan warga kini masuk dalam area tambang. Sungai yang menjadi tumpuan warga untuk irigasi pertanian juga berada di dalam area pagar dan kini difungsikan untuk pembuangan limbah. Budi menyebut wabah cacar mulai rajin menyerang kebun buah naga warga setelah adanya tambang, meski ia tidak yakin apakah wabah ini memang bagian dari dampak tambang atau tidak.
Bagi Budi, perjuangan warga menolak tambang di Gunung Tumpang Pitu memiliki tujuan jangka panjang demi anak cucu mereka kelak. Mereka berupaya menjaga ekosistem alam di sekitar mereka tetap lestari dan mempertahankan kampung halaman mereka dari kerusakan.
“Kami takutnya nanti selain dari dampaknya kami juga akan tergusur dari tanah kelahiran kami ini. Bupati pernah ngomong, udah memberikan instruksi ke Dusun Pancer ini, tidak boleh menambah bangunan atau membuat bangunan baru. Berarti dari kami berarti menilai bahwa daerah sini sudah mau dimatikan, karena daerah kalau sudah tidak boleh menambah atau membuat bangunan baru berarti desa kami mau dimatikan,” ungkap Budi.
Banyak Lawan daripada Kawan
Sambil memangku putrinya, Budi berkisah lebih jauh soal kasus yang menjeratnya. Seingat ia, total sebelas spanduk yang dibuatnya bersama warga, dan tak satu pun bergambar palu arit. Proses pembuatan spanduk itu bahkan dikawal oleh aparat Polsek Pesanggaran dan Dandim Banyuwangi hingga selesai. Hal ini membuat warga mencurigai PT BSI sengaja melakukan rekayasa, terlebih pelapor kasus tersebut merupakan seorang Manajer PT BSI.
Sebelum putusan PN Banyuwangi muncul, sudah empat kali ia dilaporkan oleh PT BSI. Menurutnya, perusahaan terlihat ngoyo menggeretnya ke ranah hukum setelah empat kali upaya sebelumnya gagal. “Yang empat kali itu gagal, itu enggak. Cuma dua malam, dua hari kita keluar, yang ini sampai 10 bulan. Saya 7 bulan dituntut tapi vonisnya 10 bulan,” ujarnya.
“Orang saya itu saya spanduk megang aja enggak sebenarnya, apa lagi membuat. Pembuatannya juga didokumentasikan kepolisian, ada Pak Rudi Wakapolsek. Itu kenapa saya kok jadi didakwa sebagai penyebar komunis padahal tidak pernah saya lakukan, dan saya tidak pernah mengerti ajaran komunis sebenarnya,” tambahnya.
Riwayat kasus yang Budi alami membuat warga mulai jerih. Upaya mencari solusi atas keresahan mereka lewat aksi selalu dibenturkan dengan arogansi aparat dan ancaman pidana. Mengadu pada instansi pemerintah―mulai dari desa, kecamatan, kepolisian, dinas lingkungan hidup hingga pejabat legislatif dan Bupati―tidak juga memberikan jawaban.
“Banyak makanya dulu warga yang terimbas dari perusahaan masalah demo itu ada beberapa warga yang tertembak peluru tajam waktu itu, tapi dari situ nggak ada media yang mengekspose atau pemerintah yang memperhatikan hak-hak warga itu untuk haknya masyarakat,” keluh Budi.
Dibuntuti dua orang intel, selepas diskusi Budi dan puluhan warga lain mengajak kami mengintip area pertambangan dari atas bukit Gua Macan. Lima belas menit mendaki di tengah terik siang bolong, kami sampai di puncak. Beberapa warga mengaku baru pertama kali melihat area pertambangan dari atas bukit. “Itu yang kelihatan gundul ada area penambangannya, ada yang dipakai pengolahan limbah juga,” celetuk seorang warga.
Dihubungi via telepon (29/12), Rere menyebut Budi Pego bersama kuasa hukum saat ini masih menunggu salinan lengkap putusan dari MA. Keputusan kasasi MA yang keluar 16 Oktober dan diterima Budi 16 November lalu baru berupa kutipan, sehingga eksekusi hukuman seharusnya baru dapat dilaksanakan ketika salinan lengkap putusan telah diterima Budi dan kuasa hukumnya. Meski begitu, kejaksaan negeri Banyuwangi sudah tak sabar melaksanakan eksekusi. Menurut Rere, kejaksaan sudah dua kali mengirim surat panggilan kepada Budi, tanggal 27 Desember kemarin merupakan batas panggilan kedua.
“Kutipan itu hanya menyebutkan soal berapa jumlah hukuman yang sekarang dikeluarkan oleh MA, enggak disebutkan soal perintah untuk menahan. Kan masih ada upaya hukum selanjutnya, peninjauan kembali. Kuasa hukum juga tidak bisa memulai langkah peninjauan kembali kalau salinan putusan belum diterima,” papar pria yang menjabat Direktur WALHI Jatim sejak 2016 ini.
*Sebelumnya telah dimuat di web UAPM KAVLING 10