Oleh: Sutriyuwono (Mahasiswa UIN Sunan Ampel)*
Conference of the Parties (COP) ke-21 di Paris telah berlalu lebih dari tiga tahun. Konferensi yang dihadiri oleh perwakilan dari 146 negara itu menghasilkan draft kesepakatan. Hal itu tentunya disertai dengan tuntutan negara-negara untuk menaatinya. Seluruh delegasi sepakat untuk menjaga suhu global agar tetap di bawah 2°C, sesuai dengan rekomendasi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Indonesia sendiri berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen pada 2030. Di tingkat nasional, pemerintah bergerak mengimplementasikan kesepakatan itu melalui skema Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API). Sementara di Tingkat daerah berbentuk Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK).
Komitmen pemerintah daerah, khususnya pemerintah Provinsi Jawa Timur dipertanyakan, mengingat dengan mudahnya beberapa perusahaan tambang dalam memenangkan alih fungsi lahan menjadi lahan tambang, yang mengancam krisis ekologis di beberapa wilayah Jawa Timur. Dalam RAN API 2014, Jawa Timur masuk sebagai salah satu lokasi percontohan adaptasi perubahan iklim bersama lima provinsi lain. Sementara Blitar, Malang, Batu dan Kabupaten Malang masuk dalam kabupatan/kota yang menjadi percontohan.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Timur pun mendapatkan donor dari Japan Coperation Agency (JICA) dalam melakukan sosialisasi di Jawa Timur (Sekretariat Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim, 2015). Sosialisasi itu juga dihadiri oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur. Sosialisasi itu dilakukan pada tanggal 17 November 2014. Sementara tanggal 4 Desember diadakan sosialisasi di empat kabupatan/kota terpilih di Jawa Timur. Itu artinya, RAN ini sudah dilakukan setahun sebelum COP ke-21 di Paris dilaksanakan.
Ironisnya, di provinsi yang dijadikan sebagai daerah percontohan nasional untuk kesiapan menghadapi perubahan iklim ini masih banyak praktik yang bertolak belakang sebagai daerah “Panutan”. Sebagai contoh, di Pesisir Selatan, pemberian izin tambang emas Tumpang Pitu di Banyuwangi, tambang emas Blok Silo di Jember dan Tambang Emas di Trenggalek dilakukan dengan mudah, padahal itu telah jelas-jelas akan merusak lingkungan.
Pengalihfungsian lahan dan eksploitasi sumber daya alam di pesisir selatan Jawa Timur terkesan “dipermudah” oleh sejumlah payung hukum yang menaunginya. Sebuat saja Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) No. 1204 K/30/MEM/2014 Tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Pulau Jawa dan Bali, UU No. 41 Tahun 1999, dan Pemerintah No. 24 Tahun 2010 dan PP Nomor 105 tahun 2015 yang mengatur tentang Kehutanan dan Penggunaaan kawasan Hutan. Selain itu, pengalihfungsian lahan juga diperkuat dengan adanya rencana strategis kementrian ESDM tahun 2015 hingga 2019. Singkatnya dalam renstra tersebut juga menunjukkan bahwa bagian Selatan Jawa Timur termasuk dalam survey potensi sumber daya energi fosil, konvensional dan non konvesional (Afandi, 2016).
Tambang emas di Banyuwangi, Jember dan Trenggalek mempunyai akumulasi luas lahan cukup besar, seperti yang dituturkan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, F. Tri Jambore Christanto. Banyuwangi mempunyai luas lahan dengan akumulasi mencapai total 11.000 hektare. Dengan rencana dialokasikan untuk pertambangan emas sebesar 22.600 hektare. Sementara untuk Blok Silo (Jember) mencapai 5000 hektare. Terbesar adalah di Trenggalek yang hampir mencapai 30.000 hektar, dengan konsesi pertambangan masih dalam bentuk eksplorasi. Yang mencengangkan adalah jumlah itu mencapai seperempat dari luas keseluruhan kabupaten Trenggalek yang mencapai 120.000 hektare.
Bupati Jember sudah menolak untuk pendirian tambang di wilayahnya, namun beliau kalah dengan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat yang pro terhadap pengeksploitasian tersebut. WALHI Jawa Timur sendiri sedang melakukan advokasi di ketiga titik itu (Christanto, 2018). Berkaca dari berbagai kasus di atas, Pemerintah Provinsi Jawa Timur tidak konsisten dalam menjalankan amanat konferensi di Paris pada tahun 2015.
Inkonsistensi itu terlihat dengan pemberian izin “pengrusakan” lingkungan. Daerah yang menjadi percontohan kesiapan menghadapi perubahan iklim ini seolah tidak pantas menjadi “panutan” di tingkat nasional. Pemerintah pusat pun, seperti kementrian ESDM malah mendorong adanya eksploitasi lingkungan melalui sejumlah regulasi yang mereka ciptakan. Tapi kita tetap harus berjuang agar terciptanya suatu kebijakan yang berkeadilan bagi lingkungan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Referensi
Afandi, M. (2016). Banyuwangi, Riwayatmu Kini. [Online]. Diakses dari http://walhijatim.or.id/2016/09/banyuwangi-riwayatmu-kini/.
Sekretariat Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim. (2015). 1 (Satu) Tahun Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim. Jakarta: Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional.
Wawancara dengan Rere Christanto pada Agustus 2018.
* Penulis adalah mahasiswa magang Walhi Jatim 2018