Catatan untuk Siaran Pers
Pusat Studi Hukum HAM FH UNAIR (HRLS) dan SEPAHAM Indonesia
Heri Budiawan alias Budi Pego, seorang warga penolak tambang emas di Tumpang Pitu Banyuwangi. Hakim memutuskan Budi ‘terbukti menyebarkan ajaran komunisme atau Marxisme–Leninisme’ sebagaimana didakwakan Pasal 107a KUHP. Ini terkait muncul spanduk berlogo palu arit dalam aksi penolakan pertambangan emas Tumpang Pitu, 4 April 2017.
Menyimak Putusan 559/Pid.B/2017/PN.Byw jo. Putusan 174/PID/2018/PTSBY menjelaskan bahwa putusan atau perkara ini cenderung dipaksakan. Putusan hakim yang hanya mengabulkan tuntutan JPU dari 7 (tujuh) tahun penjara menjadi 10 (sepuluh) bulan penjara, memperlihatkan putusan tidak cukup meyakinkan untuk menghukum. Sementara putusan MA (yang hingga kini belum didapat salinan putusannya), justru menghukum lebih tinggi dan kini Budi Pego menghadapi eksekusi atas putusan tersebut.
Pertama, Kasus Budi Pego, merupakan refleksi konservatisme sekaligus lemahnya imajinasi keadilan, sehingga kerap hakim justru mengambil putusan yang bertentangan dengan keadilan. Dalam buku _‘Judge against Justice’_, Lee Epstein et all (2012) menyatakan ada hubungan antara ideologi dan perilaku hakim, dimana psikologi untuk berada dalam ‘zona nyaman’ dan aman dengan putusan yang cenderung normativisme, justru berperan melemahkan imajinasi.
Kedua, Kasus ini merefleksikan bagaimana dunia peradilan semakin jauh dari rasa keadilan publik. Pencari keadilan yang berusaha mempertahankan ruang hidup dan kehidupannya dari pihak lain (perusahaan tambang emas), justru dihukum dengan cara menyesatkan publik, yaitu memindahkan fokus dari kasus agraria/sumberdaya alam yang dieskploitasi eksesif menjadi kasus politik dengan narasi ‘komunisme’. Sementara pokok kasus, Budi Pego sedang berupaya mempertahankan tanah dan ruang hidupnya termasuk kehidupan warga kampungnya, justru diabaikan.
Ketiga, Putusan Peradilan sama sekali tak memperhitungkan konteks kasus, bahwa Pasal 66 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, seharusnya bisa digunakan untuk melindungi Budi Pego.
Keempat, memenjarakan Budi Pego sesungguhnya ancaman serius bagi upaya perjuangan hak asasi manusia yang sekaligus melemahkan elemen Negara Hukum Indonesia, sebagai mandat pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Putusan tersebut, menjustifikasi hukum dan mekanisme hukum sebagai penindasan dengan menggunakan ‘instrumentasi demokrasi’, yakni kekuasaan kehakiman.
Kelima, kami berpandangan bahwa menegakkan kekuasaan kehakiman tidak cukup soal pasal-pasal, prosedur formal dan wewenang yang dijaminkan, melainkan pula tantangan mencipta akses keadilan substantif, yang ukurannya bukan penegakan aturan, melainkan penegakan hukum yang lebih efektif dan berkeadilan sosial, sekaligus melipatgandakan integritas dan keteladanan. Kasus Budi Pego, merupakan kemunduran yang menciderai dua hal sekaligus, keadilan bagi warga bangsa yang memperjuangkan hak konstitusinya, sekaligus integritas kekuasaan kehakiman.
Dengan itu, kami bersama akademisi Serikat Pengajar HAM Indonesia (SEPAHAM Indonesia), mendesak para pemangku kepentingan saling mendukung untuk melepaskan Budi Pego dari jeratan hukum, menyegerakan memulihkan nama baiknya, dan sekaligus mengembalikan ruang hidupnya! Melindungi Budi Pego, melindungi Indonesia!
Jakarta, 14 Desember 2018
Dr. Herlambang P. Wiratraman
Ketua Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Pengurus Serikat Pengajar HAM Indonesia (SEPAHAM)
herlambang@fh.unair.ac.id
+6282140837025