Kamis pagi, 13 Desember 2018, dua orang warga Sepat, Lidah Kulon, Lakarsantri, Surabaya, harus memenuhi panggilan Polda Jatim, guna diperiksa setelah ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 6 November 2018. Pemanggilan dua orang warga tersebut, mendapatkan pengawalan dari warga Sepat dan jaringan Selawase (Selamatkan Waduk Sepat), dengan massa aksi kurang lebih 100 orang. Mereka menggelar aksi solidaritas, sekaligus rasa prihatin atas hukum yang masih tidak perpihak pada rakyat.
Pemanggilan ini merupakan spektrum panjang perlawanan warga. Berawal dari surat pemanggilan sebagai tersangka yang ditujukan langsung kepada bersangkutan, dan diharuskan ke Polda Jatim pada 12 November 2018, untuk pemeriksaan awal.
“Pemeriksaan pada tanggal 13 ini, merupakan babak baru perjuangan warga Sepat dalam mempertahankan waduknya. Mereka mendapatkan status sebagai tersangka atas laporan tidak wajar dari Ciputra.” Ungkap Rahmad selaku korlap aksi.
Dalam pelaporannya, pihak PT Ciputra Surya, Tbk membuat tuduhan bahwa warga pedukuhan Sepat telah memasuki pekarangan tanpa izin dan melakukan perusakan properti. Akibatnya dua orang warga bernama Darno dan Dian Purnomo ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Timur. Penetapan tersangka kepada dua orang ini jelas dapat dilihat sebagai upaya kriminalisasi atas dasar hal-hal berikut:
Pertama, Warga masuk ke area waduk karena mendengar suara air deras menyerupai banjir, saat sedang melakukan Sholat Tarawih di dekat waduk. Padahal saat itu kondisinya tidak sedang hujan. Selain itu, Debit air yang mengalir di selokan yang terhubung dengan waduk, arusnya terpantau deras. Hal ini tentunya menimbulkan kecurigaan warga, bahwa ada upaya pengeringan waduk secara paksa, sehingga membuat warga harus bertindak agar waduk Sepat tidak mengering.
Kedua, Sebelum memasuki lokasi waduk, warga terlebih dahulu berkoordinasi dengan LPMK (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan) Lidah Kulon. Ketua LPMK Lidah Kulon justru menyarankan untuk bertemu di lokasi waduk Sepat langsung. Dengan dasar ini, warga akhirnya berbondong-bondong memasuki waduk melalui pintu utama waduk. Setelah di dalam waduk, warga langsung menghubungi Polsek Lakasantri dan Camat Lakasantri untuk datang ke lokasi. Tidak lama kemudian petugas Kepolisian Polsek Lakasantri tiba di lokasi.
Ketiga, saat memasuki waduk dan mengecek pintu air waduk, warga menemukan bahwa memang pintu penutup air di bagian bawah sudah terpotong, sehingga tidak bisa ditutup kembali. Melihat hal tersebut, warga berkoordinasi dengan Polsek Lakasantri, Camat Lakasantri dan PT Ciputra Surya. Pihak Ciputra kemudian sepakat untuk membuatkan penutup pintu air yang sudah dipotong. Setelah menunggu hampir tiga jam penutup pintu air tersbut tidak kunjung datang, agar air di waduk tidak keluar terus menerus, warga berinisiatif menutup sementara pintu air dengan tanah yang ada di sekitar waduk sampai pintu air tertutup.
Keempat, tidak ada perusakan apapun yang dilakukan oleh warga saat berada di lokasi waduk, bahkan tidak ada paksaan atau himbauan supaya warga keluar dari waduk. Warga keluar dari waduk karena inisiatif mereka sendiri. Jika diilihat dari hal tersebut, maka tuduhan kejahatan atas warga berdasarkan pasal 167 KUHP dan 170 KUHP tersebut menjadi tidak terbukti.
Perlu diketahui Ciputra adalah pengembang yang terlibat dalam ruislag (tukar guling) waduk Sepat dengan Pemkot Surabaya pada tahun 2008. Namun pasca ruislag dengan lahan di Benowo yang kini menjadi Gelora Bung Tomo, Ciputra tak kunjung membangun perumahaannya, karena proses sedari awal menunjukan kecacatan. Waduk Sepat dalam dokumen ruislag dikatakan sebagai tanah pekarangan, sehingga secara logika material sudah menyalahi prosedur dan aturan. Warga Sepat khususnya dua orang warga, bernama Dian Purnomo dan Darno adalah pejuang yang ingin mempertahankan waduk Sepat.
Waduk Sepat yang diruislag kepada korporasi properti Ciputra, meski memiliki fungsi resapan yang penting (termasuk pengendalian banjir), namun pemerintah justru tetap melakukan tukar guling yang diduga kuat terindikasi maladministrasi, meski belum ada izin apapun serta analisa lingkungan yang memadai, namun fakta dilapangan waduk sudah mulai diuruk untuk perumahan. Padahal dalam Undang-undang No. 11 Tahun 1974 bagian ke VIII Pasal 13, menyebutkan jika waduk atau kawasan sumber air harus dilindungi dan dikonservasi.
Rere Christanto selaku Direktur Walhi Jatim, mengungkapkan jika perubahan status waduk Sepat sangat bertentangan dengan undang-undang, sehingga menyalahi konstitusi jika merujuk pada aturan yang berlaku. Upaya kriminalisasi terhadap warga yang sedang memperjuangkan kelestarian lingkungan dan ruang hidupnya ini tentu saja bertentangan dengan pasal No. 66 UU 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, memuat sebuah pasal yang berbunyi:
“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Tambah Rere.
Namun pasal tersebut kemudian tidak dilihat sebagai aturan pokok, yang mana seolah-olah tidak ada gunanya dalam konteks hukum terkini. Dian Purnomo selaku warga Sepat, mengungkapkan jika banyak warga pejuang yang dikriminalisasi atas tuduhan yang mengada-ada, pasal tersebut tak berlaku pada kuasa modal.
“Perlu ditekankan lagi, jika dalam konteks kejadian, warga sedang menyelamatkan waduknya agar tidak dikeringkan.” Cetus Dian Purnomo.
Sementara pada akhir aksi, Habibus salah satu pengacara publik dari LBH Surabaya selaku pendamping warga, menambahkan jika memang warga dikriminalisasi atas nama hukum, maka ini preseden buruk bagi penerapan dan penegakkan hukum di Indonesia. Di mana tidak melihat secara historis dan sosio-legal, hanya melihat dari satu perspektif. Sehingga hukum hanya berpihak pada segelintir orang yang mempunyai kekuasaan.
*Laporan Aksi Wahyu Eka Setyawan