Kriminalisasi Warga Sepat, Melawan Ketidakadilan dan Mempertahankan Waduk Sepat

Wahyu Eka Setyawan

Pada hari Rabu 6 Juni 2018, warga Dukuh Sepat yang terdiri dari RW III dan RW V, mendengarkan aliran air yang cukup deras. Saat itu beberapa warga menunaikan sholat tarawih, di area dekat waduk sekitar pukul 19.00 WIB, beberapa warga curiga jika air tersebut berasal dari waduk Sepat. Sementara warga yang lainnya juga mendengarkan derasnya suara air yang diduga berasal dari waduk. Karena curiga ada upaya pengeringan paksa waduk oleh pihak Ciputra, maka setelah tarawih beberapa warga menelusurinya, ternyata suara deras air yang didengarkan sejak isya berasal dari waduk.

Selain itu, warga juga melihat jika debit air yang mengalir di selokan terlihat volumenya tinggi. Perlu diketahui jika selokan tersebut terhubung langsung dengan waduk, karena merupakan saluran pembuangan air ketika volume waduk mencapai batas maksimal. Lalu, karena mendengar suara air deras menyerupai banjir dan melihat selokan volumenya tinggi, pada pukul 20.30 WIB, warga memutuskan untuk memasuki area waduk. Kurang lebih ada sekitar 100 orang warga yang berbondong-bondong masuk area waduk.

Perlu diketahui jika warga masuk ke area waduk melalui pintu sebelah timur, berdekatan dengan area PKL yang disediakan oleh pihak Ciputra. Pintu sebelah timur tersebut dibuat oleh Ciputra sebagai bagian dari tawaran mereka, terkait rencana memberikan warga akses untuk berjualan di waduk Sepat. Kesepakatan tersebut ditolak oleh sebagian warga, karena mereka menginginkan waduk Sepat kembali seperti sedia kala.

Setelah melewati pintu sebelah timur yang dibuat oleh pihak Ciputra, warga menuju ke pintu atas yang merupakan akses utama menuju waduk. Pintu di atas tersebut telah terbuka sebelum warga memasuki area waduk. Menurut keterangan beberapa warga, terbukanya pintu tersebut karena ada penjaga waduk yang memasuki area tersebut. Penjaga berjumlah kurang lebih dua orang, mereka merupakan warga sekitar yang pro Ciputra.

Pada pukul 21.00 WIB, warga mengecek di mana keberadaan suara air yang meresahkan mereka sejak isya. Ternyata keberadaan suara air tersebut berasal dari pintu air waduk, yang setelah dilihat ternyata plat penahan air atau berfungsi sebagai pintu air, terpotong secara misterius. Hal tersebut tentunya menimbulkan kecurigaan warga, bahwa ada upaya pengeringan waduk secara paksa. Kondisi tersebut memunculkan inisiatif dari warga untuk menutup pintu air secepatnya, agar waduk Sepat tidak mengering.

Sebelum memasuki lokasi waduk, beberapa warga terlebih dahulu berkoordinasi dengan LPMK (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan) Lidah Kulon, sekitar pukul 21.00 WIB. Saat itu, setelah mendengarkan aduan warga RW III dan RW V, Ketua LPMK Lidah Kulon justru menyarankan untuk bertemu di lokasi waduk Sepat langsung. Atas dasar inilah, warga akhirnya berbondong-bondong memasuki waduk melalui pintu utama waduk. Setelah di dalam waduk, warga lalu menghubungi Polsek Lakasantri dan Camat Lakasantri untuk datang ke lokasi, guna koordinasi lebih lanjut. Tidak lama kemudian dari arah utara petugas Kepolisian Polsek Lakasantri, LPMK dan pihak kecamatan tiba di lokasi, tepatnya pada pukul 21.30 WIB.

Sesaat memasuki waduk dan mengecek pintu air waduk, warga menemukan bahwa memang pintu penutup air di bagian bawah ternyata sengaja dipotong, sehingga tidak bisa ditutup kembali. Melihat kondisi tersebut, warga lalu berkoordinasi dengan Polsek Lakasantri, Camat Lakasantri dan pihak Ciputra yang diwakili oleh pihak keamanannya. Pihak keamanan Ciputra, LPMK dan perwakilan kecamatan, kemudian berdialog dengan warga. Terjadi perdebata yang cukup alot, karena pihak keamanan Ciputra dan aparat terkait, menjanjikan akan menutupnya pada keesokan harinya. Dalih yang dipakai oleh pihak terkait ialah harusnya mencari plat pengganti, untuk menutup pintu air yang rusak tersebut. Namun warga menolak, mereka berargumen jika dibiarkan terbuka terus, melihat debit air yang cukup deras. Warga kuatir jika waduk akan mengering, sehingga mereka tetap pada pilihan yaitu pintu utama harus ditutup secepatnya.

Selang beberapa waktu, kurang lebih pada pukul 22.00 WIB, kemudian pihak kemanan Ciputra sepakat untuk membuatkan penutup pintu air yang sudah dipotong. Setelah menunggu hampir tiga jam, penutup pintu air tersebut tidak kunjung datang. Agar air di waduk tidak keluar terus menerus pada pukul 24.00  WIB, warga berinisiatif menutup sementara pintu air tersebut dengan tanah, yang ada di sekitar waduk sampai pintu air tertutup. Setelah berselang satu jam, tepatnya pada pukul 01.00 WIB, warga meninggalkan lokasi kejadian, karena pintu air yang semual terbuka sudah tertutup.

Perlu dicatat, jika tidak ada perusakan apapun yang dilakukan oleh warga saat berada di lokasi waduk. Ketika warga memasuki area waduk Sepat, baik pintu timur yang dibuat oleh Ciputra dan pintu atas yang merupakan akses menuju area waduk, sudah terbuka sebelum warga datang. Berdasarkan keterangan dari beberapa warga, keempat warga yang dijadikan saksi dan kini terdapat dua yang dijadikan tersangka, atas dalih perusakan pintu akses menuju waduk. Tidak melakukan perusakan apapun, karena saat memasuki area waduk, mereka melakukannya secara bersama-sama.

Saat kejadian berlangsung tidak ada peringatan apapun dari aparat terkait, malahan mereka diberi tahu oleh warga untuk berkoordinasi. Ketika memasuki area waduk aparat terkait juga tidak melarang, bahkan pasca penutupan pintu air waduk, tidak ada paksaan atau himbauan kepada warga, supaya keluar dari area waduk. Ketika memasuki area waduk mereka lakukan bersama-sama, saat keluar dari waduk pun mereka lakukan atas dasar inisiatif sendiri.

Pada tanggal 27 Juli 2018, empat warga Sepat yaitu Rokhim, Darno, Suherna dan Dian Purnomo, ternyata dilaporkan oleh pihak Ciputra ke Polda Jatim, atas tuduhan memasuki pekarangan orang tanpa izin dan perusakan. Pada tanggal ini, satu warga yakni Darno dipanggil sebagai saksi dan diperiksa. Pada tanggal 3 Agustus 2018, tiga warga yakni Dian Purnomo, Rokhim dan Suherna, kembali diperikas oleh Polda Jatim. Dua bulan berselang tepatnya pada tanggal 7 November 2018, Dian Purnomo dan Darno ditetapkan sebagai tersangka, atas delik tuduhan melakukan perusakan properti Ciputra di waduk berupa pintu.

Upaya Meneruskan Perjuangan Mempertahankan Waduk

Pada saat itu warga cukup resah dengan terbukanya pintu air waduk, sehingga mereka mencoba menutup saluran air yang terbuka. Aksi spontan tersebut sebenarnya dilandasi oleh keterikatan mereka dengan waduk Sepat, yang sampai sekarang ini masih dalam sengketa. Kasus ini berawal pada tahun 2008, ketika Walikota Surabaya era tersebut Bambang D.H, menerbitkan SK Walikota Surabaya Nomor 188.451.366/436.1.2/2008. SK tersebut kurang lebih berisi tentang, pemindahtanganan dengan cara tukar menukar terhadap aset Pemerintah Kota Surabaya berupa tanah eks. ganjaran/ bondo desa di Kelurahan Beringin, Kecamatan Lakarsantri, Kelurahan Jeruk, Kecamatan Lakarsantri, Kelurahan Babat Jerawat, Kecamatan Pakal, Kota Surabaya. Dengan Tanah Milik PT. Ciputra Surya.

Perlu diketahui jika pelepasan tanah kepada PT Ciputra Surya, Tbk sebagai bagian dari obyek tukar guling antara Pemerintah Kota Surabaya dan PT Ciputra Surya, Tbk berdasarkan Perjanjian Bersama Nomor 593/2423/436.3.2/2009 dan Nomor 031/SY/sm/LAND-CPS/VI-09, tertanggal 4 Juni 2009. Tukar guling ini sendiri merupakan bagian dari pembangunan Surabaya Sport Centre (SSC) di Pakal, kini menjadi stadion Gelora Bung Tomo. Di dalam sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang dikeluarkan oleh BPN Kota Surabaya, pasca terjadinya perjanjian tukar guling, waduk Sepat dicatat sebagai tanah pekarangan. Padahal kawasan tersebut hingga kini masih berfungsi sebagai waduk, yang menjadi tempat penampungan air di wilayah Lidah Kulon.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 pasal 25 menyebutkan jika, kawasan konservasi sumber daya air dilaksanakan pada sungai, danau, waduk, rawa, cekungan air tanah, daerah tangkapan air, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan kawasan pantai. Hal ini juga didukung oleh PP Nomor 37 Tahun 2010 di bagian keempat pasal 92 mengenai konservasi waduk. Sehingga secara hukum, waduk tersebut tidak dapat dialihfungsikan.

Apalagi jika melihat legalitas yang ada, keabsahan rencana pembangunan waduk Sepat menjadi perumahan, hingga kini masih cacat prosedur. Hal ini terungkap pada 7 September 2017, ketika Pemkot Surabaya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA dengan nomor perkara 111PK/TUN/2017 kepada Walhi Jatim. Setelah beberapa waktu berselang, pada Senin 18 Desember 2017, melalui panitera PTUN Surabaya memberitahukan jika gugatan PK oleh Pemkot Surabaya dengan pemohon Walikota Surabaya ditolak oleh MA.

Pasca keluarnya putusan MA terkait sengketa informasi publik, maka Pemkot Surabaya harus membuka dokumen terkait waduk. Namun pasca putusan dokumen tak kunjung dibuka oleh pihak Pemkot Surabaya. Pada tanggal 25 Januari 2018, warga menggelar aksi guna meminta Pemkot Surabaya membuka dokumen izin dan lain-lain terkait Ciputra. Namun, pemkot melalui Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Eddy Christijanto dan Kepala bagian Hukum, Ira Tursilowati, mengatakan bahwa dokumen yang diminta tersebut tidak ada. Hal ini menunjukan bahwa Ciputra tidak berhak mengubah apapun yang ada di waduk Sepat, termasuk melakukan pemagaran di area waduk.

Waduk Sebagai Entitas Penting untuk Warga

Waduk Sepat sendiri bukan satu-satunya waduk atau embung yang hilang di kawasan Kecamatan Lakarsantri dan khususnya Surabaya. Sebelumnya, terdapat sebuah waduk yang dikenal masyarakat dengan nama Waduk Jeruk, yang kini sudah menghilang. Realitasnya waduk Jeruk telah bertransformasi menjadi kawasan permukiman elit. Padahal, menilik dari segi fungsi waduk yang ada di Surabaya, khususnya wilayah Lakarsantru tersebut merupakan kawasan yang harus dilindungi.

Di dalam perspektif ekologis, waduk menjadi habitat alamiah bagi berbagai jenis ikan dan burung lokal maupun migrasi. Keberadaan waduk sebagai bagian dari sistem pengairan yang selama ini digunakan juga turut membantu mengatasi banjir dan kekeringan bagi pertanian di sekitarnya.

Secara ekonomi, keberadaan waduk yang juga difungsikan sebagai pertanian dan area pemancingan juga turut mendongkrak ekonomi warga di sekitarnya. Sementara itu, secara sosio-kultural, waduk telah menjadi pengikat kultural dalam masyarakat. Secara turun temurun masyarakat di Dukuh Sepat telah membentuk ikatan tradisi dengan wilayah tersebut. Hal ini nampak, misalnya, pada ritual bersih desa di tempat tersebut yang dilakukan di wilayah Waduk Sepat. Menghilangkan waduk-waduk tersebut pada dasarnya adalah menghilangkan kehidupan masyarakat itu sendiri.

Beberapa kali Walikota Surabaya Tri Rismaharini mengungkapkan keresahannya soal banjir di Kota Surabaya, dengan menyampaikan statement tentang wacana pembuatan waduk baru. Kemudian dalam visi yang ditonjolkan oleh Walikota selalu mengusung pendekatan yang “berwawasan lingkungan” dalam pembangunan kota, berlarut-larutnya kasus Waduk Sepat akan menjadi pertanyaan besar terhadap komitmen visi kota berwawasan lingkungan dan demokratis.

Walaupun proses tukar guling lahan terjadi di era sebelum Risma menjadi walikota, yakni saat Bambang D.H menjabat. Tetapi rencana pelenyapan waduk Sepat terjadi selama Risma menjabat menjadi Walikota, jelas sangat kontradiktif dengan wacana Surabaya “berwawasan lingkungan” yang dijadikan visi era pemerintahannya selama ini. Padahal sebelumnya Risma telah ikut menanam pohon di kawasan waduk sepat, serta berjanji kepada warga untuk mengembalikan waduk Sepat sesuai fungsi semula.  Secara tidak langsung, di tengah sikap ambivalen Walikota, secara tersirat  menunjukkan bahwa Walikota menyadari pentingnya kawasan Waduk Sepat bagi kepentingan sosial ekologis secara luas.

Sehubungan dengan hal tersebut, warga yang berada di RW III dan RW V, akan melakukan terus berjuang untuk mempertahankan kelestarian waduk Sepat. Warga akan terus menagih janji dan melawan baik secara hukum maupun non-hukum, agar Walikota Surabaya dan PT. Ciputra Surya, Tbk untuk mengembalikan fungsi Waduk Sepat dan menyerahkan  pengelolaan Waduk Sepat kembali kepada masyarakat. Karena waduk Sepat merupakan salah satu aset komunal yang digunakan untuk bersama, sebagai salah satu waduk terakhir Kota Surabaya yang harus dijaga keberadaannya.