Walhi Jatim
Waduk Sepat terletak di Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya. Keberadaan waduk ini awal mulanya tercatat sebagai aset desa, dengan bentuk Tanah Kas Desa (TKD) atau bondho deso, yang merupakan hak kolektif masyarakat Dukuh Sepat. Tanah tersebut berupa waduk dengan luas sekitar 66.750 m2 terletak di wilayah RW III dan RW V Dukuh Sepat.
Pada 2003 pernah ada perjanjian sewa-menyewa waduk antara pengembang dan warga yang berakhir pada 2008. Waduk Sepat digunakan pengembang sebagai tempat penampungan air dan saluran pembuangan dari perumahan Citraland (PT Ciputra Surya Tbk). Sampai saat ini pembuangan itu masih terus berjalan meskipun pengembang tidak lagi membayar kepada warga.
Pada 2011 pihak Ciputra Surya Tbk pernah melakukan pembagian dana CSR (corporate social responsibility) Rp 3 miliar melalui Panitia 16. Panitia 16 adalah sebagian orang dari warga Dukuh Sepat sendiri yang mengklaim mewakili warga untuk mengambil dana tersebut dan membentuk panitia yang disetujui Lurah Lidah Kulon (Ahmad Supriyadi) dan Camat Lakarsantri (Minun Latif), berjumlah sekitar 16 orang. Warga Dukuh Sepat RW III dan RW V tidak mengakui panitia, sebab proses pembentukannya dipaksakan, tidak transparan, tidak melalui rapat warga, dan tidak melibatkan perangkat RT dan RW. Panitia 16, Kelurahan, dan pihak Kecamatan menjelaskan kepada warga bahwa pembagian dana itu adalah dana CSR yang tidak ada hubungannya dengan pelepasan Waduk Sepat. Tapi, ini berbeda dengan penjelasan Ciputra Surya. Dalam pertemuan warga dengan pihak pengembang Ciputra Surya yang difasilitasi DPRD Kota Surabaya menjelaskan bahwa dana itu memang bukan dana CSR, melainkan dana kompensasi pelepasan Waduk Sepat.
Pemkot Surabaya memang telah melepaskan tanah tersebut kepada PT Ciputra Surya, Tbk dengan Surat Keputusan Walikota Surabaya No. 188.45/366/436.1.2/2008, atas persetujuan DPRD Kota Surabaya dengan Surat Keputusan No. 39 Tahun 2008. Tanah waduk warga Dukuh Sepat itu termasuk menjadi objek tukar guling yang dilakukan Pemkot Surabaya (saat itu Walikota Bambang DH) dengan Ciputra Surya ini berdasarkan Perjanjian Bersama antara Pemerintah Kota Surabaya dengan PT Ciputra Surya, Tbk Nomor 593/2423/436.3.2/2009/Nomor 031/SY/sm/LAND-CPS/VI-09, pada 4 Juni 2009.
Menurut pihak Ciputra Surya, tanah Waduk Sepat tersebut merupakan bagian dari tanah tukar guling antara Ciputra Surya dengan Pemkot Surabaya, yakni ditukar tanah untuk membangun Surabaya Sport Centre (SSC) di Pakal. Saat itu, Pemkot Surabaya kekurangan lahan sekitar 20 ha. Sementara, tanah 20 ha di sekitar SSC adalah milik PT Ciputra Surya, Tbk. Setelah tukar guling tersebut pihak Ciputra Surya memperoleh sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah Waduk Sepat tersebut. Berdasarkan informasi warga, dalam sertifikat tersebut dijelaskan bahwa tanah Waduk Sepat itu merupakan “tanah pekarangan.” Pada 4 Juli 2011, pihak Ciputra Surya dibantu Kepolisian akan melakukan pemagaran lahan waduk Sepat, namun ditolak oleh warga.
Pada 14 April 2015 pihak Ciputra Surya dibantu oleh pasukan Kepolisian melakukan eksekusi atau pengosongan paksa lahan Waduk Sepat tersebut, sehingga beberapa warga mengalami luka-luka dan terdapat barang-barang milik warga di lokasi yang dirusak. Selanjutnya lahan waduk Sepat tersebut dipagar. Sebenarnya ada solusi-solusi yang pernah ditawarkan warga, yaitu, Pemkot Surabaya mewacanakan menawarkan membeli kembali lahan Waduk Sepat tersebut dari Ciputra Surya, namun perusahaan itu menolak. Komnas HAM melalui komisionernya Imdadun Rahmat pernah menyampaikan ide: tanah Waduk Sepat tetap menjadi hak Ciputra Surya, namun pengelolaannya ada pada warga, tapi warga menolaknya. Ciputra Surya memberikan opsi: disisakan sekitar 6.000 m2 untuk waduk yang akan dikelola warga, namun warga tetap menolak.
Permohonan sengketa informasi ini diajukan karena permintaan informasi yang diajukan WALHI Jatim sejak tanggal 4 Mei 2015 kepada Walikota Surabaya tidak mendapatkan tanggapan dan surat keberatan yang dikirimkan pada tanggal 3 Juni 2015 juga kembali tidak di gubris sama sekali. Pada 26 Februari 2016, putusan sidang KIP Jatim memerintahkan Walikota untuk membuka informasi yang diminta warga dan Walhi Jatim.
Pada 11 Mei 2016, warga Dukuh Sepat, Lidah Kulon, melakukan upaya litigasi dengan mengajukan gugatan citizen law suit (CLS) kepada Walikota Surabaya dan Ketua DPRD Kota Surabaya di Pengadilan Negeri Kota Surabaya. Gugatan ini merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh warga untuk memperjuangkan hak atas lingkungannya, hak atas sanitasi, dan hak ekonomi, sosial, serta budayanya. Gugatan CLS sendiri merupakan gugatan warga negara, masuk ke dalam ranah hukum acara perdata. Tentu, tuntutan warga di dalam gugatan ini bukanlah ganti rugi materiil, tetapi memastikan bahwa SK Walikota Surabaya Nomor 188.451.366/436.1.2/2008 tentang “Pemindahtanganan Dengan Cara Tukar Menukar Terhadap Aset Pemerintah Kota Surabaya Berupa Tanah Eks. Ganjaran/ Bondo Desa di Kelurahan Beringin, Kecamatan Lakarsantri, Kelurahan Jeruk, Kecamatan Lakarsantri, Kelurahan Babat Jerawat, Kecamatan Pakal, Kota Surabaya. Dengan Tanah Milik PT. Ciputra Surya” batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Perlu diketahui, kasus Waduk Sakti Sepat berawal dari Surat Keputusan Walikota Surabaya No. 188.45/366/436.1.2/2008 yang melepaskan tanah tersebut kepada PT Ciputra Surya, Tbk sebagai bagian dari obyek tukar guling antara Pemerintah Kota Surabaya dan PT Ciputra Surya, Tbk berdasarkan Perjanjian Bersama Nomor 593/2423/436.3.2/2009 dan Nomor 031/SY/sm/LAND-CPS/VI-09, tertanggal 4 Juni 2009. Tukar guling ini sendiri merupakan bagian dari pembangunan Surabaya Sport Centre (SSC) di Pakal. Dalam sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang dikeluarkan pasca tukar guling tersebut, wilayah Waduk Sepat dinyatakan sebagai “tanah pekarangan”, padahal hingga kini, kawasan tersebut masih berfungsi sebagai waduk.
Pada 10 Agustus 2016 Dian Purnonomo selaku perwakilan warga, bertindak sebagai pelapor, melaporkan adanya dugaan peristiwa pidana pemalsuan surat otentik. Yakni, memalsukan keterangan data fisik Waduk Sepat dalam Sertifikat No 4057/Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya, Surat Ukur pada 21-12-2010 Nomor 641/Lidah Kulon/2010, Luas 59.857 M2 atas nama Ciputra Surya yang tertulis sebagai “tanah pekarangan”.
“Padahal dalam kenyataannya Waduk Sepat sejak dari dulu hingga saat ini masih berupa waduk,” jelas Dian Purnomo dalam laporannya. Terhadap laporan tersebut diterbitkan Tanda Bukti Laporan Polisi Nomor : LPB/911/VIII/2016/UM/JATIM, pada 10 Agustus 2016. Selanjutnya Polda Jatim melakukan penyelidikan dan pernah diterbitkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) ke-1 No: B/1057/SP2HP-1/VIII/2016/Ditreskrimum pada 30 Agustus 2016. Penyelidik Polda Jatim memberitahukan bahwa laporan Dian Purnomo tersebut telah diterima di Unit III Tanah Subdit II Harda Bangtah Ditreskrimum Polda Jatim dan selanjutnya akan dilakukan penyelidikan.
Pada 28 September 2016, Putusan persidangan menyatakan gugatan ditolak. Majelis hakim memutuskan bahwa gugatan Citizen Law Suit warga sepat tidak diterima. Alasannya, bentuk gugatannya tidak memenuhi syarat sebagai sebagai gugatan Citizen Law Suit. Hal ini tentu membuahkan kekecewaan terhadap warga Sepat serta LBH Surabaya selaku kuasa hukum warga sepat.
Berawal dari keputusan Mahkamah Agung (MA) No. 438K/TUN/2016 yang secara jelas menolak kasasi Walikota Surabaya terhadap gugatan informasi publik, yang sebelumnya telah dimenangkan oleh WALHI Jatim. Melalui keputusan tersebut WALHI Jatim selaku pihak yang memenangkan gugatan perkara, meminta Pemerintah Kota Surabaya (Pemkot) untuk mematuhi keputusan MA. Namun hingga putusan yang ditetapkan pada 13 Oktober 2016, Pemkot selaku pihak tergugat tidak kunjung membuka dokumen terkait tukar guling (ruislag) serta alih fungsi Waduk Sepat. Pada 6 Maret 2017 diadakan gelar perkara awal di Ruang Kasubdit II Harda Bangtah dengan hasil, terhadap perkara sebagaimana Laporan Polisi Nomor: LPB/911/VIII/2016/UM/JATIM, pada 10 Agustus 2016 tersebut dapat ditingkatkan dari proses penyelidikan menjadi proses penyidikan. Selanjutnya, pada 8 Maret 2017 tersebut Polda Jatim menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/520/III/2017.Ditreskrimum, pada 8 Maret 2017.
Selanjutnya Dian Purnomo menerima SP2HP Ke-8 (delapan) Nomor: B/843/SP2HP-8/V/2017/Ditreskrimum, pada 29 Mei 2017, yang pada pokoknya Penyidik memberitahukan kepada Dian Purnomo selaku palapor. Isi suratnya: “bahwa proses penyidikan tindak pidana pemalsuan surat/memalsukan surat dan menggunakan sebagaimana dimaksud Pasal 263 KUHP yang diduga dilakukan oleh Sdr. Ir. Muh. Adi Dhramawan, M.Eng.Se adalah sebagai berikut: melengkapi administrasi penyidikan, melaksanakan pemeriksaan saksi sebanyak 8 (delapan) orang saksi, melaksanakan gelar perkara, dari hasil penyidikan diperoleh fakta hukum bahwa perkara yang saudara laporkan bukan merupakan tindak pidana sebagaimana unsur pasal yang disangkakan.
Maka untuk kepastian hukum, proses penyidikannya dihentikan dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Nomor: SPPP/520.A/V/2017/Ditreskrimum, tanggal 29 Mei 2017 dan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan Nomor: S/Tap/71/V/2017/Ditreskrimum, tanggal 29 Mei 2017.” Terhadap SP3 yang diterbitkan oleh Polda Jatim tersebut, maka Dian Purnomo yang diwakili Tim Hukum dari LBH Surabaya dan WALHI Jatim mengajukan permohonan praperadilan ke PN Surabaya pada 28 Februari 2018 dengan register perkara nomor 14/Pid.Pra/2018/PN.Sby.
Pada 8 Maret 2017, WALHI Jatim, LPBP dan LBH Surabaya mencoba mengingatkan Pemkot Surabaya melaui surat yang ditujukan ke Balai Kota Surabaya. Isi surat tersebut pada intinya menghimbau agar Pemkot Surabaya membuka dokumen-dokumen publik yang diminta sesuai putusan MA. Namun pada faktanya hingga batas waktu 7 x 24 jam maksimum, Pemkot Surabaya tetap tidak bergeming dengan mengabaikan himbauan yang telah disampaikan. Kemudian atas tidak kooperatifnya Pemkot, WALHI Jatim, LPBP dan LBH Surabaya pada tanggal 23 Maret 2017 mendatangi Balai Kota Surabaya, dengan tujuan mengingatkan Pemkot Surabaya agar segera membuka dokumen-dokumen publik proses alih fungsi Waduk Sepat, sebagaimana yang diamanahkan oleh MA selaku pemegang kekuasaan hukum tertinggi di ranah Yudikatif.
Pada 7 September 2017, Pemkot Surabaya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA dengan nomor perkara 111PK/TUN/2017 kepada Walhi Jatim. Setelah beberapa waktu berselang, pada Senin 18 Desember 2017, melalui panitera PTUN Surabaya memberitahukan jika gugatan PK oleh Pemkot Surabaya dengan pemohon Walikota Surabaya ditolak oleh MA. Sehingga dengan keluarnya putusan ini, maka langkah hukum sudah mengikat bahwasanya Pemkot harus mematuhi keputusan ini. Sebagai pihak yang kalah dalam gugatan sengketa informasi publik, selain itu Pemkot juga harus segera membuka dokumen terkait, sebagai bentuk penghormatan atas hukum yang berlaku di Republik Indonesia.
Pasca itu warga menggelar aksi pada 25 Januari 2018, guna meminta Pemkot Surabaya membuka dokumen izin dan lain-lain terkait Ciputra. Namun, pemkot melalui Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Eddy Christijanto dan Kepala bagian Hukum, Ira Tursilowati, mengatakan bahwa dokumen yang diminta tersebut tidak ada.
Pada 28 Februari, Tim Advokasi Waduk Sepat Surabaya mendatangin pengadilan Negri surabaya untuk mengajukan gugatan pra-pradilan terhadap kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Timur yang sebelumnya telah melakukan penghentian penyidikan atas pelaporan perkara dugaan tindak pidana pemalsuan surat otentik. Terkait dugaan pemalsuan keterangan data fisik Waduk Sepat dalam sertifikat No/4057 Kelurahan Lidah Kulon, kecamatan Lakarsantri, kota Surabaya.
Pada 27 Maret 2018, Majelis tunggal Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Dwi Winarko menolak permohonan praperadilan yang diajukan warga Pedukuhan Sepat Surabaya. Dalam putusannya, hakim Dwi Winarko berpendapat bahwa terbitnya SP-3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) oleh Polda Jatim sudah sesuai prosedur. Proses penghentian penyidikan yang dilakukan Polda Jatim sudah transparan dan sesuai prosedur. Menolak pengajuan praperadilan yang diajukan pemohon.
Pada 27 Juli 2018, warga Dusun Sepat, Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, bernama Darno dipanggil ke Polda Jatim untuk diperiksa sebagai saksi. Tidak hanya Darno saja, masih ada tiga lainnya. Mereka adalah Rochim, Erna dan Dian Purnomo, mereka kini menunggu giliran untuk diperiksa sebagaimana Darno.
Perlu diketahui keempat warga dilaporkan oleh PT. Ciputra Surya terkait memasuki pekarangan dan pengerusakan properti milik PT Ciputra Surya. Keempat warga yang dilaporkan oleh pihak Ciputra adalah Darno, Suherna, Rokim, dan Dian Purnomo. Atas laporan tersebut keempat warga dipanggil oleh POLDA Jawa Timur, untuk dimintai keterangannya sebagai saksi.
Sebagaimana laporan dari Ciputra, pihak kepolisian memakai pasal terkait tindak pidana memasuki pekarangan orang lain tanpa ijin yang berhak dan melakukan perusakan barang milik orang lain secara bersama-sama. Pemanggilan keempat warga ini jelas merupakan salah satu bentuk usaha kriminalisasi, terhadap perjuangan warga Sepat yang menolak rencana perubahan Waduk Sepat menjadi perumahan oleh PT Ciputra Surya. Upaya pemaksaan kriminalisasi ini bisa dilihat dari kejanggalan-kejanggalan sebagai berikut:
Pertama, Warga masuk ke area waduk karena mendengar suara air deras menyerupai banjir, saat sedang melakukan Sholat Tarawih di dekat waduk. Padahal saat itu kondisinya tidak sedang hujan. Selain itu, Debit air yang mengalir di selokan yang terhubung dengan waduk, arusnya terpantau deras. Hal ini tentunya menimbulkan kecurigaan warga, bahwa ada upaya pengeringan waduk secara paksa, sehingga membuat warga harus bertindak agar waduk Sepat tidak mengering.
Kedua, Sebelum memasuki lokasi waduk, warga terlebih dahulu berkoordinasi dengan LPMK (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan) Lidah Kulon. Ketua LPMK Lidah Kulon justru menyarankan untuk bertemu di lokasi waduk Sepat langsung. Dengan dasar ini, warga akhirnya berbondong-bondong memasuki waduk melalui pintu utama waduk. Setelah di dalam waduk, warga langsung menghubungi Polsek Lakasantri dan Camat Lakasantri untuk datang ke lokasi. Tidak lama kemudian petugas Kepolisian Polsek Lakasantri tiba di lokasi.
Ketiga, saat memasuki waduk dan mengecek pintu air waduk, warga menemukan bahwa memang pintu penutup air di bagian bawah sudah terpotong, sehingga tidak bisa ditutup kembali. Melihat hal tersebut, warga berkoordinasi dengan Polsek Lakasantri, Camat Lakasantri dan PT Ciputra Surya. Pihak Ciputra kemudian sepakat untuk membuatkan penutup pintu air yang sudah dipotong. Setelah menunggu hampir tiga jam penutup pintu air tersbut tidak kunjung datang, agar air di waduk tidak keluar terus menerus, warga berinisiatif menutup sementara pintu air dengan tanah yang ada di sekitar waduk sampai pintu air tertutup.
Keempat, tidak ada perusakan apapun yang dilakukan oleh warga saat berada di lokasi waduk, bahkan tidak ada paksaan atau himbauan supaya warga keluar dari waduk. Warga keluar dari waduk karena inisiatif mereka sendiri. Jika diilihat dari hal tersebut, tuduhan kejahatan atas warga berdasarkan pasal 167 KUHP dan 170 KUHP tidak terbukti.
Pada 7 November 2018, terjadi peningkatan status dua warga, dari saksi menjadi tersangka dengan tuduhan perusakan properti waduk. Dua warga tersebut yakni Dian Purnowo dan Darno. Babak baru dimulai, dua pejuang yang setia mempertahankan Waduk Sepat sebagai salah satu ruang hidup yang tersisa, mulai mengalami kriminalisasi. Dan, ini merupakan preseden buruk bagi penegakkan Hak Asasi Manusia.