Perlindungan dan Pengesahan Masyarakat Hukum Adat Sendi, Sebagai Upaya Melindungi Rimba Terakhir

Rilis Media Masyarakat Hukum Adat Sendi & Walhi Jatim

Rabu 1 Agustus 2018, warga Desa Adat Sendi kembali melakukan aksi, menuntut pengakuan atas wilayah kelola mereka. Sejak awal 90an warga telah melakukan reclaiming, menempati kembali wilayah yang telah lama mereka tinggalkan, pasca agresi militer Belanda ke II pada periode 1948-1949. Berkali-kali warga Sendi melakukan berbagai upaya, salah satunya mendesak Pemkab Mojokerto dan Pemprov Jatim untuk mengakui mereka.

Namun, setelah melakukan berbagai upaya, sampai ada kunjungan Pemkab Mojokerto dan Pemprov Jatim. Hingga kini, wilayah Sendi masih belum diakui sebagai hukum adat. Sebelumnya, Pemkab Mojokerto selama beberapa tahun belakangan ini, melakukan persiapan untuk pembentukan Desa Adat Sendi. Selain itu, Pemkab di bawah arahan Bupati Mustofa Kamal Pasha, juga mengarahkan pada pengakuan masyarakat hukum adat Sendi.

Hingga akhirnya, pada 17 Juli 2018 Pemprov Jatim, melakukan penolakan atas pengakuan Desa Adat Sendi. Mereka berdalih dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 8, menyatakan bahwa pembentukan desa baru, harus minimal berpenduduk 6 ribu atau 1.200 kepala keluarga (KK). Sedangkan kondisi saat ini, jumlah penduduk di kawasan Sendi, Gotekan dan Ngepreh hanya sekitar 668 jiwa atau 323 KK. Dengan dasar itulah Pemprov Jatim menolak keberadaan Desa Adat Sendi, bahkan pengakuan masyarakat hukum adat juga mereka abaikan.

Menuntut Perlindungan dan Pengakuan Hukum Adat

Perlu diketahui, sejak tahun 1999 masyarakat Sendi telah berjuang menyelamatkan hutan, mata air, serta berupaya memulihkan kawasan yang genting dan rusak. Mereka juga peduli pada pelestarian situs-situs keramat. Lalu, secara kolektif masyarakat Sendi juga merawat lereng-lereng dengan menanami bambu. Upaya tersebut, semuanya untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan kehidupan.

Pada tanggal 1 Agustus ini, masyarakat Sendi akan menyambangi DPRD dan Pendopo Kabupaten Mojokerto, dengan nilai-nilai adatnya yang beradab. Karena memegang teguh prinsip adat merupakan warisan yang harus tetap dilestarikan, sampai anak cucu kelak. Mereka akan mendesakkan kewajiban para wakil rakyat, agar peka dan melek terhadap pentingnya pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat Sendi.

Dalam aksi ini, masyarakat Sendi akan datang dengan seperangkat identitas adat, yang terbingkai dalam budaya berkarakter khas adat Sendi. Mereka akan mendatangi Pemkab dan DPRD, dengan menbawakan tumpeng, lengkap dengan seluruh sesaji. Selain itu, ada juga seserahan berupa polo Pendem.

Selain membawa tumpeng, masyarakat sendi juga menyiapkan delapan peti utama yang disebut “GAWAN,” atau oleh-oleh untuk para penggede Pemkab serta institusi DPRD Mojokerto. Peti-peti berkarakter tersebut bukan berisi harta karun emas, permata dan perhiasan yang gemerlap. Tetapi peti itu berisi pusaka yang menjadi karakter masyarakat Sendi.

Pusaka dalam makna seutuh-utuhnya dan sangat berharga untuk masyarakat Sendi. Berisi sebuah jejak cerita, hak asal-usul, catatan kelembagaan, norma, silsilah adat, kearifan dan pengetahuan kolektif tentang bagaimana hidup beradab dan berbudaya. Baik antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam, manusia dengan alam roh dan manusia dengan Tuhannya.

Selain harta pusaka, peti kedua berisi pengetahuan dan jejak asal usul. Juga telah disiapkan serta dibawakan laporan perkembangan masyarakat adat Sendi, dalam 6 bulan hingga 1 tahun terakhir.

Kemudian peti ketiga, berisi tentang contoh-contoh produk pengetahuan dan produk kebijakan. Dokumen-dokumen itu lebih berisi, mengakui dan melindungi masyarakat hukum adat di seluruh Indonesia.

Dan yang terakhir, peti keempat berisi usulan (draft) terkait naskah akademik dan Raperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Sendi. Empat peti inilah yang akan digandakan menjadi dua. Untuk kemudian diserahkan masing-masing, kepada DPRD dan Pemkab di pendopo Kabupaten Mojokerto.

Pengakuan Hukum Adat untuk Menyelamatkan Rimba Terakhir
Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 telah menjamin keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum yang berbeda dengan subyek hukum lainnya. Hal ini sudah tampak sejak UUD 1945 periode pertama di mana pada bagian penjelasan UUD 1945 terdapat penjelasan mengenai “persekutuan hukum rakyat” yaitu masyarakat hukum adat yang keberadaannya sudah ada sebelum proklamasi Republik Indonesia.

Setelah amandemen UUD 1945, setidaknya terdapat tidak tigaketentuan utama yang dapat menjadi dasar bagi keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Tiga ketentuan tersebut yaitu Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Ketiga pasal tersebut memberi penegasan bahwa masyarakat hukum adat, mempunyai sistem pengurusan diri sendiri termasuk didalamnya pengelolaan wilayah adat.

Pengakuan hukum terhadap hak untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dari masyarakat hukum adat merupakan penghargaan khusus, terhadap mereka yang memang telah mempunyai pemerintahan secara adat, sebelum negara membentuk pemerintahan.

Bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sebetulnya merupakan rangkaian bangunan-bangunan kecil (kleine republiken), dari masyarakat hukum adat. Untuk itu, sudah selayaknya Indonesia memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap hak masyarakat hukum adat dalam mengatur dan mengurus diri sendiri dan wilayah kelolanya, termasuk di dalamnya kawasan hutan adat.

Sendi merupakan wilayah yang menjadi basis masyarakat adat, yang benar-benar secara lokalitas memiliki wawasan untuk mengelola dan melindungi wilayahnya. Hutan-hutan dijaga, dikelola secara kolektif dan benar-benar menerapkan hukum yang tersinkronisasi dengan alam. Secara kenampakan, wilayah Sendi dapat dikatakan sebagai wilayah rimba terakhir.

Rimba terakhir, bukan soal hutan yang lebat. Namun lebih kepada bagaimana hutan yang lestari, bersama masyarakat yang memiliki wawasan terhadap perlindungan alamnya. Masyarakat Sendi merupakan penjaga rimba, di mana manusia dan alam bisa selaras dalam lokalitas adat yang ada.

Oleh karena itu, penting kiranya Pemkab dan DPRD Mojokerto melihat kepentingan masyarakat Sendi. Guna perlindungan kawasan hutan, budaya dan menunjang kesejahteraan rakyat. Pemkab dan DPRD Mojokerto harus segera mengesahkan, “Perlindungan dan Pengesahan Masyarakat Hukum Adat Sendi.”

Rahayu, Rahayu, Rahayu, Sagung Dumadi

Info lebih lanjut, silahkan menghubungi narahubung:

Pak Cipto – 081249346038 (Lurah Desa Adat Sendi)

Mbah Toni (Ki Demang Adat sendi – Dewan Adat dan Kasepuhan Masyarakat Hukum Adat Sendi)

Wahyu Eka – 082234448928 (Manajer Pendidikan dan Pengembangan Jaringan, Walhi Jatim)