Bank Dunia Adalah Aktor Perampasan Lahan, Pemerintah Harus Batalkan Utang Proyek Percepatan Reforma Agraria

Pernyataan Pers Bersama

Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur

(Jakarta, 24 Juli 2018) Pada 18 Juli 2018 lalu, International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), dari World Bank Group menyetujui utang baru untuk Program Percepatan Reforma Agraria (Kebijakan Satu Peta) yang membutuhkan biaya sebesar 240 juta USD, di mana 200 juta USD tersebut berasal dari World Bank dan 40 juta USD dari Pemerintah Indonesia. Proyek ini akan berlangsung pada tahun 2018 sampai dengan 2023.

Pembiayaan utang baru sebesar 200 juta USD dari Bank Dunia untuk Program Percepatan Reforma Agraria ini, berada di bawah ranah kerja Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN), sungguh tidak dapat ditolerir. Utang ini sesungguhnya akan meneruskan proyek Land Administration Project, tentu keberadaan proyek tersebut akan mengakselerasi komodifikasi tanah, menjadikan kebijakan agraria menjauh dari amanat UUPA dan semakin memperluas ketimpangan. Proyek ini pun, bisa dipastikan akan masuk dalam kategori tidak efektif (bad-debt).

Bahwa memang benar untuk kepentingan Reforma Agraria diperlukan one-map policy, sehingga berkelindannya klaim atas lahan dapat dihindari di tingkat pemerintah, lalu masyarakat Publik dapat memantau penataan tapal batas lahan dan klaim atas lahan di atas lahan yang mereka kuasai. Sehingga memang pemetaan lahan perlu dengan memakai prinsip partisipasi. Namun, proyek yang memiliki tiga komponen utama ini, hanya bagus di judul dan tujuan saja. Tetapi tidak pernah dijelaskan bagaimana proyek ini akan diimplementasikan dan ditransmisikan. Ketiga komponen proyek dari utang ini adalah sebagai berikut:

  • Component 1; Participatory Mapping and Agrarian Reform, (US$202 million including US$162 million from IBRD and US$40 million from National Budget)
  • Component 2; Geospatial Data Infrastructure for Environmental and Natural Resource Management, US$10 million
  • Component 3; Project Management, Institutional Development and Monitoring, US$28 million.

Alokasi utang terbesar sebesar 162 juta USD, terdapat pada komponen 1 dengan judul “participatory mapping agrarian reform” yang tujuannya adalah untuk menghasilkan peta perbatasan (parcel boundary maps), merekam semua klaim atas lahan, dan memfasilitasi aturan hak-hak atas lahan dan registrasi ke dalam sistem administrasi lahan elektronik (e-land).

Kami memandang bahwa tujuan dari komponen 1 di atas adalah sangat baik, namun cara untuk mencapai tujuan itu tidak pernah dijelaskan dengan baik, sehingga potensi untuk gagal sangat tinggi. Karena selama ini memang tugas Kementerian ATR/BPN-lah yang harus melakukan pendataan hak atas tanah termasuk penataan batas tanah. Mengapa baru sekarang dilakukan, ketika program Reforma Agraria sedang dan akan bergulir.

Di atas kertas, proyek-proyek Bank Dunia tidak pernah lepas dari kata “Participatory” atau “Partisipasi”. Akan tetapi, pada faktanya, pelanggaran terhadap azas partisipasi selalu terjadi. Walaupun pada komponen 1 memakai judul “participatory mapping agrarian reform,” ternyata tidak pernah dijelaskan terkait bagaimana suatu proses yang partisipatif akan dijalankan. Apalagi Kementerian ATR/BPN terbukti tidak pernah menunjukkan iktikad baik dalam hal transparansi, terutama dari segi pengoperasiannya.

Simak saja dalam kasus HGU perkebunan Kelapa Sawit, Kementerian ATR/BPN tak kunjung membuka data HGU ke publik, padahal sudah ada Putusan Mahkamah Agung No. 121 K/TUN/2017 yang memenangkan gugatan Forest Watch Indonesia (FWI) atas Kementerian ATR/BPN. Bagaimana sebuah kementerian yang tidak menaruh hormat akan hak publik atas informasi dan tidak taat hukum, dimandatkan untuk mengelola program yang berbasis “participatory mapping agrarian reform” ini?

Pemerintah Pusat seharusnya dapat melaksanakan Program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dengan menggunakan dana APBN, tanpa harus bergantung pada utang luar negeri. Semangat TORA yang diusung Presiden Joko Widodo dengan keterlibatan masyarakat sekarang ini, bukanlah konsep yang digadang-gadang oleh Kementerian ATR/BPN dan Bank Dunia melalui skenario utangnya. Dengan menyetujui skema utang untuk Program Percepatan Reforma Agraria, ini sekaligus menjadi indikasi bahwa pemerintah ingin kembali mengekor pada ideologi Neoliberal yang ditawarkan oleh Bank Dunia, dengan menjadikan tanah sebagai barang komersial. Tentu hal tersebut tidak sejalan dengan semangat Reforma Agraria, yang lebih menekankan bahwa tanah adalah hak.

Pemerintah sudah seharusnya ingat bahwa Bank Dunia juga berkontribusi atas praktik perampasan tanah, melalui pembiayaan yang diberikan terhadap proyek-proyek infrastruktur dan investasi berbasis lahan. Terhitung sejak adanya utang Bank Dunia dengan Orde Baru hingga kini, diantaranya adalah proyek raksasa Kedung Ombo; Regional Infrastructure Development Fund (RIDF); National Slum Upgrading Project (NSUP); atau proyek pembangunan lain yang kini dilaksanakan PT. Indonesia Infrastructure Finance (IIF) ataupun PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI).

Utang baru ini akan terus berjalan sampai tahun 2023, melebihi masa jabatan Menteri yang menyetujui utang ini. Karena itu, sudah sewajarnya utang ini harus dibatalkan, serta menghimbau agar Kementerian ATR/BPN segera bertaubat, dengan melakukan tugas dan fungsinya sesuai dengan Peraturan Presiden No. 17 tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Hormat kami,

Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur

Edo Rakhman (Eksekutif Nasional WALHI) 081356208763

Diana Goeltom (debtWATCH Indonesia) 08159202737

Siti Aminah Tardi (ILRC) 081908174177

Moh. Reza Sahib (KRUHA) 081370601441

Rahmawati (TuK Indonesia) 081310607266

Kurniawan Sabar (INDIES) 08112011868

Tigor Hutapea (KIARA) 081287296684

Andi Muttaqien (ELSAM) 08121996984