Rilis Media: Heri Budiawan Menuntut Keadilan

Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria-TEKAD GARUDA

Empat tahun dibawah kekuasaan rejim Jokowi-JK, ruang hidup rakyat hampir di seluruh kepulauan Nusantara terlihat terus semakin menciut. Kawasan-kawasan penting yang menjadi jantung ekonomi, sosial, budaya, dan ekologi rakyat telah berubah menjadi pusat-pusat akumulasi kapital dalam berbagai bentuk (perkebunan, pertambangan, properti, infrastruktur, dsb). Dampaknya, penyingkiran, perampasan, intimidasi, dan represi terhadap rakyat dan ruang hidupnya terus meningkat tajam. Potret kebrutalan yang demikian salah satunya dapat terlihat secara jelas di Jawa Timur.

Dalam catatan akhir tahun Walhi Jatim 2016, misalnya, didapatkan satu temuan yang cukup mencengangkan terkait bagaimana industri pertambangan sangat mendominasi dalam pencaplokan ruang hidup rakyat dalam kurun waktu 4 tahun belakangan (2012-2016). Dalam temuan tersebut dengan merujuk pada data Korsup KPK (Kordinasi-Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk pertambangan Mineral dan Batubara, didapatkan keterangan bahwa luas lahan pertambangan di Jawa Timur mengalami peningkatan yang cukup ekstrim, yaitu dari 86.904 hektar pada tahun 2012 menjadi 551.649 hektar pada tahun 2016.

Angka ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 4 tahun telah terjadi peningkatan luas lahan pertambangan sebanyak 535 persen. Dan jika angka ini dikonversi dengan luas keseluruhan wilayah daratan provinsi Jawa Timur yang berjumlah 4.792.200 hektar, maka dapat disimpulkan sementara bahwa 11,5 persen luas daratan Jawa Timur kini telah beralih fungsi menjadi kawasan pertambangan.

Angka ini belum ditambahkan dengan angka pencaplokan wilayah pesisir dan lautan Jawa Timur yang juga sama-sama dikuasai oleh industri migas. Walhi Jatim mencatat, saat ini terdapat 63 Wilayah Kerja Pertambangan dengan pembagian 31 Wilayah Kerja Pertambangan berstatus eksploitasi atau KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama), dan 32 Wilayah Kerja Pertambangan berstatus eksplorasi. Tak heran apabila kini laju krisis sosial-ekologis dan konflik agraria tak hanya meluas di daratan, namun juga terus meningkat di kawasan pesisir, ataupun pulau-pulau kecil, khususnya bagian pesisir selatan maupun utara Jawa Timur, yang mencakup kepulauan Madura dan sekitarnya.

Meluasnya industri ekstraktif di pesisir selatan Jawa Timur ini, terus memicu laju krisis sosial-ekologis semakin meningkat tajam dalam bentuk yang kompleks dan rumit. Hal ini salah satunya dapat kita temui dalam kasus perjuangan warga Sumberagung dan sekitarnya melawan industri pertambangan di Gunung Tumpang Pitu-Banyuwangi.
Sejak beroperasinya kegiatan industri pertambangan di gunung Tumpang Pitu-Banyuwangi, yang dilakukan oleh PT. Bumi Suksesindo (PT. BSI) dan PT. Damai Suksesindo (PT. DSI) dari sejak tahun 2012, beragam krisis sosial-ekologis dan sejumlah persoalan keselamatan ruang hidup rakyat dapat terlihat di Desa Sumberagung, dan 4 desa tetangga sekitarnya, di wilayah kecamatan Pesanggaran. Salah satu diantaranya yang masih membekas cukup kuat dalam benak warga desa Sumberagung dan sekitarnya adalah bencana lumpur yang terjadi pada Agustus 2016 silam.

Selain telah merusak sebagian besar kawasan pertanian warga, bencana lumpur tersebut juga telah menimbulkan beberapa persoalan penting lainnya, yakni telah membuat kawasan pesisir pantai Pulau Merah dan sekitarnya berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Bahkan baru-baru ini, karena kerusakan tersebut ditemukan sejumlah fakta bahwa beberapa jenis kerang, ikan dan beberapa biota laut lainnya mulai menghilang dari pesisir desa Sumberagung dan sekitarnya. Dan sejumlah kelompok binatang seperti monyet dan kijang mulai turun memasuki lahan pertanian warga karena rusaknya habitat mereka. Begitu juga dengan beberapa sumur milik warga diduga mulai tercemar dan terasa kecut karena penurunan kualitas lingkungan. Hal ini belum ditambahkan dengan sejumlah peningkatan pencemaran dan polusi tanah, udara, suara yang juga cukup signifikan.

Bagi nelayan Desa Sumberagung, Banyuwangi, keberadaan Bukit Tumpang Pitu memiliki setidaknya dua peran penting. Pertama, Bukit Tumpang Pitu adalah ‘tetenger’ bagi mereka saat melaut. Setiap pagi, ketika mereka berada di laut lepas, titik yang mereka cari untuk menentukan arah adalah pulau Nusa Barong di sebelah Barat, Gunung Agung di sebelah Timur dan Gunung Tumpang Pitu ditengah-tengahnya. Jika Bukit Tumpang Pitu menghilang maka bisa dipastikan, mereka akan kehilangan salah satu tetenger daratan yang menjadi acuan arah.

Kedua, Bukit Tumpang Pitu adalah benteng bagi perkampungan komunitas nelayan yang tinggal di pesisir teluk Pancer dari ancaman angin Tenggara yang terkenal ganas pada musim-musim tertentu. Selain itu ia juga berfungsi sebagai benteng utama terhadap bahaya ancaman gelombang badai tsunami. Sebagaimana pernah dicatat, pada tahun 1994, gelombang tsunami telah menyapu kawasan pesisir Pancer dan merenggut nyawa sebanyak 200 orang. Bagi warga, saat itu keberadaan Bukit Tumpang Pitu, dikatakan mampu meminimalisasi jumlah angka korban, sehingga cukup dipastikan jika Tumpang Pitu menghilang, ancaman ini akan berpotensi besar dalam merenggut jumlah korban yang lebih banyak pada masa mendatang. Dampak secara ekonomi akibat kerusakan ini adalah pendapatan nelayan, petani dan pegiat pariwisata rakyat Desa Sumberagung dan sekitarnya mengalami penurunan secara drastis.

Gunung Tumpang Pitu merupakan kawasan penting bagi penduduk Sumberagung dan desa-desa sekitarnya. Selain berfungsi sebagai pusat mata air yang mampu mencukupi kebutuhan pertanian dan konsumsi rumah tangga, di sanalah sebagian besar penduduk, khususnya kaum perempuan, mencari beberapa tanaman obat-obatan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan secara turun temurun.
Namun, pasca beroperasinya PT. BSI dan PT. DSI, yang keduanya adalah anak perusahaan PT. Merdeka Copper Gold Tbk, relasi antara warga dan bukit Tumpang Pitu menjadi terputus. Apalagi sejak ditetapkannya kawasan pertambangan Tumpang Pitu menjadi Objek Vital Nasional pada 2016 melalui SK Menteri Nomor: 631 K/30/MEM/2016.

Selain persoalan di atas, kehadiran industri pertambangan di gunung Tumpang Pitu juga memicu sejumlah persoalan lainnya yang tak kalah penting, yakni meningkatnya tindak represi terhadap warga Sumberagung dan sekitarnya oleh aparat keamanan negara dalam kurun waktu 5 tahun (2012-2017) belakangan ini. Setidaknya dari data yang berhasil kami kumpulkan, telah terjadi sedikitnya 5 bentuk kasus kriminalisasi terhadap warga Sumberagung dan sekitarnya karena berusaha berjuang mempertahankan dan menyelamatkan lingkungannya dengan cara menolak hadirnya kegiatan industri tambang di Tumpang Pitu. Dari 5 bentuk kriminalisasi tersebut, salah satu diantaranya adalah kasus penetapan 4 warga Sumberagung sebagai tersangka yang terjadi pada awal April 2017 lalu.

Kasus ini bermula dari aksi pemasangan spanduk “tolak tambang” yang dilakukan oleh warga desa Sumberagung dan sekitarnya pada tanggal 4 April 2017 di sepanjang pantai Pulau Merah-Sumberagung hingga kantor Kecamatan Pesanggaran. Satu hari pasca aksi tersebut (5/4), muncul beberapa pernyataan dari pihak aparat keamanan Banyuwangi (TNI/Polri), bahwa di dalam spanduk “tolak tambang” milik warga itu terdapat logo yang diduga mirip palu arit.
Padahal menurut keterangan warga dan temuan lapangan yang berhasil kami kumpulkan bahwa tidak satupun spanduk yang terpasang terdapat logo yang dituduhkan oleh pihak aparat keamanan.

Sejauh ini, kami dan warga menduga bahwa tuduhan tersebut memiliki tujuan untuk melemahkan gerakan penolakan tambang yang sedang berlangsung yang terus bertahan hingga saat ini. Selain itu kami juga menduga, tuduhan tersebut hanyalah untuk memecah belah persatuan perjuangan yang terus meluas.
Empat orang warga tersebut kini dikenakan pasal 107 huruf a, UU Nomor 27 tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.

Adapun bunyi pasal 107a dalam UU ini adalah: Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Atas tuduhan itu, salah satu dari tersangka tersebut, yang bernama Heri Budiawan alias Budi Pego, divonis hukuman 10 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi pada Selasa, 23 Januari 2018.

Terkait dengan putusan PN Banyuwangi yang jauh dari nilai keadilan tersebut, selanjutnya, tim kuasa hukum warga yang tergabung dalam Tekad Garuda melakukan upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya. Namun, dalam perkembangannya, majelis hakim PT Surabaya, juga memutuskan perkara tersebut dengan hukuman yang sama (10 bulan penjara).

Melihat perkembangan tersebut, Tekad Garuda kini sedang melakukan upaya hukum kasasi di tingkat Mahkamah Agung (MA). Dan hingga saat ini-menjelang habisnya masa hukuman yang dijatuhkan oleh PN Banyuwangi dan PT Surabaya terhadap Heri Budiawan (berakhir pada tanggal 1 Juli 2018), MA juga belum mengeluarkan putusan atas kasus tersebut. Walaupun kasus ini sedang berjalan di tingkat kasasi, namun terhitung sejak masa awal penahanannnya (4 September 2017), dan merujuk pada putusan PN Banyuwangi dan PT Surabaya, Heri Budiawan seharusnya akan bebas pada tanggal 1 Juli 2018. Namun, tanpa disangka, Senin (25 Juni 2018), Heri Budiawan mendapatkan surat perpanjangan penahanan yang berasal dari MA, yang berbunyi:

“Memperpanjang waktu penahanan terdakwa Heri Budiawan, dalam rumah tahanan negara untuk paling lama 60 (enam puluh) hari, terhitung mulai tanggal 01 Juni 2018”.

Surat dari MA tersebut, tentunya mengundang kekecewaan yang cukup mendalam bagi keluarga dan rekan-rekan Heri Budiawan. Dan di sisi lain sekaligus menunjukkan betapa tumpulnya keadilan hukum di negeri ini. Dalam perkembangannya terakhir, pasca munculnya surat perpanjangan penahanan dari MA tersebut, beragam protes dan keberatan dari berbagai organisasi masyarakat sipil pun mulai berdatangan.

Dan kini, atas dukungan dari berbagai pihak, Heri Budiawan kembali mendapatkan penjelasan dari Kalapas Banyuwangi, bahwa dirinya akan tetap bebas sementara dari Lapas Banyuwangi pada tanggal 1 Juli 2018, sembari menunggu hasil putusan MA.
Sekali lagi, kami menganggap bahwa kasus kriminalisasi ini hanya untuk mengalihkan perhatian publik atas persoalan utama yang sedang dihadapi masyarakat Sumberagung dan sekitarnya. Yakni ancaman krisis sosial-ekologis yang ditimbulkan oleh hadirnya pertambangan di Tumpang Pitu yang memiliki fungsi besar bagi masyarakat sekitar.

Untuk itu kami (TEKAD GARUDA), menyatakan:

  • Mendesak Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk segera memutuskan perkara Heri Budiawan.
  • Mendesak Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk segera membebaskan Heri Budiawan.
  • Mendesak penyelenggara negara Republik Indonesia, untuk menghentikan segera dan mencabut ijin kegiatan industri pertambangan di Tumpang Pitu-Banyuwangi.
  • Mengutuk keras segala bentuk kriminalisasi terhadap seluruh gerakan rakyat yang berjuang demi terwujudnya keadilan agraria dan keselamatan ruang hidup.

Kontak:
0878-5395-2524 (LBH Surabaya)
0838-5764-2883 (WALHI Jatim)