*Catatan Walhi Jatim
Kawasan kelola Perhutani di Jawa Timur tergolong cukup luas, Kawasan hutan yang dikelola oleh Divisi Regional Jatim ini terdiri dari kawasan Hutan Lindung dengan luasan 314.720,50 Ha (23,07%), kawasan Hutan Konservasi dengan luasan 233.828,50 Ha (17,14%)dan Kawasan hutan produksi sekitar 815,062,02Ha (59,79%). Hal tersebut turut menjadi salah satu penyebab sulitnya masyarakat mengakses sumber daya hutan.
Apalagi setelah keluarnya UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Perhutani bertindak di luar batas, dengan tidak pernah menyetujui untuk mengeluarkan tanah-tanah masyarakat dari kawasan hutan, sehingga mengakibatkan sengketa sekaligus konflik berkepanjangan. Terjadi pemisahan secara sistematis antara masyarakat adat, masyarakat sekitar hutan dari akses sosial, ekonomi dan budaya. Selain itu Perhutani juga sering melakukan intimidasi, serta tidak pernah mengakomodir kepentingan masyarakat, kecuali ada potensi akumulasi profit.
Akibat tingginya potensi-potensi agresi yang mengakibatkan konflik di kemudian hari, beberapa elemen masyarakat pernah menyampaikan temuannya ke Menteri Kehutanan. Namun menurut Menteri Kehutanan lebih menganggap tidak ada persoalan dalam pengelolaan hutan di Jawa, bahkan Menteri Kehutanan menganggap Perhutani sudah baik dalam mengelola hutan.
Konflik yang terjadi di wilayah kelola Perhutani berdasakan riset lapangan yang telah dilakukan oleh WALHI Jawa Timur, menunjukan adanya keterkaitan antara pola-pola kejahatan yang dilakukan oleh Perhutani kepada warga sekitar hutan. Kejahatan tersebut tergambarkan dalam beberapa kesimpulan seperti:
- Tindakan yang merugikan, dengan melakukan tindakan di luar kesepakatan dan perlakuan semena-mena, seperti pembagian hasil yang tidak proporsional sehingga warga penggarap merugi.
- Pungutan dan penyalahgunaan wewenang, di mana ada kejadian-kejadian yang terungkap, seperti pungutan liar, pengalifungsian lahan kepada beberapa pihak di luar warga sekitar hutan.
- Intimidasi dan represi yang kerap dilakukan oleh pihak Perhutani dalam menghadapi warga sekitar hutan, bahkan digunakan untuk meneguhkan posisi kuasa Perhutani.
Ketiga poin kesimpulan tersebut merupakan hasil dari riset mendalam ke beberapa informan, sumber sekunder, dan pengamatan langsung ketika berada di beberapa wilayah riset. Pola-pola ini kemungkinan tidak hanya terjadi di tiga wilayah objek riset yaitu, Malang, Mojokerto dan Banyuwangi. Pada konteks kasus di Banyuwangi terdapat beberapa penyalahgunaan fungsi hutan, deforestasi untuk membuka lahan melalui mekanisme perubahan status dari Hutan Lindung ke Produksi, di samping itu ada peran dari kementerian terkait sebuah kebijakan yang mengakibatkan lepasnya Hutan Lindung Tumpang Pitu menjadi kawasan tambang.
Selain itu maraknya intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga sekitar hutan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan-kepentingan tertentu, semisal melindungi kejahatan yang mereka lakukan, bahkan untuk meneguhkan posisi mereka sebagai penguasa dan melanggengkan dominasi kepada warga sekitar hutan. Kondisi yang terjadi di Banyuwangi secara pola hampir sama dengan di Malang dan Mojokerto, namun pada konteks kasus di Malang memiliki corak khusus yaitu terjadi perebutan kelola lahan antara warga sekitar hutan dan pemerintah daerah setempat.
Sementara untuk di Mojokerto lebih bertendensi kepada klaim kepemilikan lahan, warga Sendi yang melakukan reklaiming memiliki bukti jika wilayah kelola Perhutani awalnya ialah desa, tetapi Perhutani percaya bahwa lahan yang ditempati oleh warga adalah wilayah miliknya, berdasarkan beberapa perjanjian.
Terjadinya konflik tersebut turut dilatarbelakangi oleh beberapa kejahatan Perhutani, tindakan semena-mena, pungutan liar hingga intimidasi turut mengkonstruksi konflik. Secara implisit tindakan konflik yang dilatarbelakangi oleh kejahatan Perhutani yang berawal dari kewenangan lebih dari Pemerintah, turut menciptakan instabilitas di warga, perampasan ruang ekonomi dan hak-hak dasar warga.
Pada satu titik kejahatan yang dilakukan merupakan praktik eksistensi, yang ingin menunjukan relasi kekuatan dalam meneguhkan posisi Perhutani sebagai penguasa lahan hutan. Hal ini menjadi preseden buruk dalam upaya menciptakan keadilan sosial yang komprehensif dan upaya untuk melestarikan hutan. Ditambah masih belum seriusnya KLHK dalam menyelesaiakan soal sengkarut kawasan hutan, dengan masih belum ada kebijakan yang signifikan dan spesifik membahas soal kelola hutan, yang berkeadilan sosial dan ekologis.