Suara Gugatan Perempuan Korban Lapindo: Apa Yang Terjadi Pada Tubuh Kami ? Di mana Tanggung Jawab Negara ?

Reportase: Wahyu Eka. S

Selasa 29 Mei, sekitar puluhan korban Lapindo yang mayoritas didominasi oleh para perempuan, berkumpul di titik 25 tanggul penahan lumpur Lapindo untuk memperingati 12 tahun semburan lumpur Lapindo. Mereka bersuara menggugat negara, yang mana problem penuntasan kasus Lapindo hingga saat ini masih belum tuntas. Beberapa warga membawa foto dan hasil pemeriksaan kesehatan, sebelumnya mereka telah melakukan pemeriksaan kesehatan jauh-jauh hari, karena merasakan sesak nafas serta beberapa ganguan kesehatan lainnya. Para korban Lapindo ini ingin menunjukkan realitas faktual, jika selama ini masih ada persoalan kesehatan “serius” yang selama ini tidak terjangkau dari pengamatan pemerintah, spesifiknya dalam penyelesaian problem berkepanjangan Lapindo.

Persoalan belum selesainya persoalan Lumpur Panas Lapindo, menurut Koordinator aksi Harwati, sampai sekarang dalam urusan yang berkaitan dengan kasus Lapindo selalu hanya berhenti diurusan penyelesaian ganti-rugi korban Lapindo saja, padahal ada urusan mengenai hak-hak korban yang hilang pasca semburan lumpur Lapindo, sehingga sekarang masih banyak yang belum terselesaikan.

“Ada banyak kasus kehilangan hak korban Lapindo yang sampai sekarang tidak pernah mendapat perhatian pemerintah, dalam urusan kesehatan misalnya, banyak sekali muncul gejala-gejala penyakit berat seperti kanker, jantung dan ISPA sekarang harus diderita oleh korban Lapindo, sementara tidak ada sama sekali jaminan kesehatan yang dikhususkan untuk korban Lapindo. Ini menyebabkan korban Lapindo harus mengeluarkan biaya ekstra untuk ongkos kesehatan mereka di rumah sakit” kata Harwati di sela-sela aksi.

Salah satu problem sistemik penyebab meningkatnya eskalasi kasus kesehatan warga, ialah akibat degradasi kondisi lingkungan di wilayah semburan lumpur Lapindo. Rere Christanto selaku Direktur WALHI Jatim menyebutkan, jika merujuk penelitian yang telah dilakukan sejak 2008 oleh WALHI Jatim, dapat disimpulkan bahwa tanah dan air di area sekitar lumpur panas mengandung PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) hingga 2000 (dua ribu) kali di atas ambang batas normal. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyatakan bahwa PAH adalah senyawa organik berbahaya yang bersifat karsiogenik (pemicu kanker). Sedang menurut laporan tim kelayakan permukiman yang dibentuk Gubernur Jatim, level pencemaran udara oleh Hydrocarbon mencapai tingkat 8 ribu – 220 ribu kali lipat di atas ambang batas.

Lalu, pada penelitian tahun 2016, level tinggi kandungan logam berat juga ditemukan dalam tubuh biota, terutama ikan yang hidup di sungai Porong. Perlu diketahui jika, sungai Porong ini dijadikan saluran pembuangan semburan lumpur Lapindo, sebelum menuju hilir untuk bermuara di Laut Utara. Secara lebih spesifik penelitian WALHI Jatim, menemukan jika di dalam tubuh udang ditemukan kandungan Timbal (Pb) 40-60 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan, lalu ada juga kandungan Kadmium (Cd) 2-3 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan.

Dari penjabaran argumentasi di atas, secara manifes mengkonfirmasi penelitian lain yang mengatakan adanya kandungan logam berat Timbal dan kadmium di atas ambang batas yang diperbolehkan, terutama pada tubuh ikan yang berada di sungai dan tambak sekitar Porong.

“Besaran angka kontaminasi logam berat dalam tubuh udang dan ikan ini sangat mengkhawatirkan, mengingat dalam rantai makanan, akumulasi logam berat dalam tubuh biota akan semakin banyak terkumpul pada organisme yang lebih tinggi. Artinya jika pada tubuh biota sekitar semburan lumpur Lapindo ditemukan unsur logam berat yang tinggi, ancaman adanya logam berat yang terakumulasi dalam tubuh manusia juga akan tinggi,” ungkap Rere saat menjelaskan persoalan dampak lingkungan kepada khalayak.

Persoalan lainnya yang mendera warga sekitar semburan lumpur, ialah adanya kontaminasi logam berat di dalam sumur warga di desa-desa sekitar semburan lumpur Lapindo. Berdasarkan observasi dari dua desa sekitar semburan lumpur yaitu: Gempolsari di kecamatan Tanggulangin dan Glagaharum di Kecamatan Porong, ternyata ditemukan kandungan timbal (Pb) sebesar 2-3 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan, lalu ada juga kandungan kadmium (Cd) yang jumlahnya hingga 2 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan. Kondisi tersebut mengakibatkan degradasi kualitas air sumur di sekitar semburan lumpur Lapindo, sehingga secara kualitas baku mutu air, sumur tersebut tidak layak untuk sebagai konsumsi untuk air minum warga.

Tingkat Cemaran Tinggi, Area Lapindo Krisis Lingkungan

Merujuk temuan logam berat, gas dan PAH pada wilayah sekitar semburan lumpur Lapindo, secara kenampakan sudah menunjukkan tingkat pencemaran yang begitu mengkhawatirkan, hal tersebut memunculkan sebuah hipotesis, jika pencemaran tersebut memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada kualitas kesehatan warga, yang masih beraktivitas di sekitar semburan lumpur Lapindo.

Rere mengatakan bahwa logam berat dapat mempengaruhi kondisi kesehatan mereka yang bersinggungan secara langsung baik melalui air, sedimen lumpur, maupun udara. Dari dua unsur logam berat yaitu Kadmium (Cd) dan Timbal (Pb), telah ditemukan oleh WALHI Jatim di wilayah sekitar semburan lumpur Lapindo diketahui dapat mempengaruhi kualitas kesehatan.

“Timbal di dalam darah kita dapat menyebabkan gangguan kronis dan akut pada ginjal serta memicu penyakit jantung seperti hipertensi atau iskemia, sementara Kadmium didalam tubuh manusia juga dapat menyebabkan gangguan ginjal dan kekakuan paru-paru,” Terang Rere.

Ada korelasi antara logam berat dan kesehatan korban Lapindo bisa dilihat berdasarkan pemeriksaan kesehatan, yang telah dilakukan sebelumnya. Dari hasil pemeriksaan kesehatan terhadap 20 korban lapindo yang dilakukan dengan metode random sampling, ditemukan 10 korban lapindo (50%) mengalami kelainan pada pemeriksaan darah dan urine, sedangkan 4 korban lapindo (20%) mengalami kelainan pada pemeriksaan toraks. Temuan tersebut menguatkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Menular (BTKL PPM), kemudian pada tahun 2010 yang menemukan 81% sampel warga di Desa Besuki, Glagah Arum, Gempol Sari, Kali Tengah mengalami gangguan restriksi paru-paru.

“Kami hendak mempertanyakan dimana tanggung jawab Negara melihat situasi kesehatan korban Lapindo seperti sekarang ini. Munculnya berbagai gejala penyakit berat yang sebelumnya tidak pernah ada menunjukkan ada yang berubah pada tubuh kami. Negara harusnya hadir untuk memastikan ada jaminan keselamatan pada warganya, jika warga dibiarkan tinggal di wilayah yang telah rusak dan beracun tanpa jaminan kesehatan apapun, maka sama saja mereka membunuh kami perlahan-lahan” Harwati mengungkapkan kontra wacananya.

Pemerintah seharusnya lebih imperatif kepada Lapindo, guna mengakomodasi kepentingan warga, dengan tujuan prioritas mengembalikan hak-hak warga yang telah terampas dan tercerabut pasca melubernya lumpur panas. Dari banyak penelitian, serta pembuktian ilmiah merupakan akibat dari eksplorasi sumur Banjar Panji-1 yang tidak memenuhi prasyarat kelayakan keselamatan. Maka dari itu, pemerintah harus mulai mereview skema penyelesaian kasus Lapindo dengan memasukkan pemenuhan sepenuhnya hak-hak korban Lapindo, menjadi isu arus utama yang wajib dituntaskan. Karena tugas negara untuk memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan hak-haknya.

Tidak hanya itu warga harus dilibatkan secara aktif, sebagai kontrol atas kebijakan, sebagaimana marwah demokrasi partisipatoris. Ketidakmampuan negara dalam menjamin hak-hak korban Lapindo, akan semakin menegaskan asumsi bahwa pada kasus semburan lumpur Lapindo, negara telah dikuasai oleh segelintir elite yang mengalienasi warga dari haknya. Demokrasi telah diabaikan dalam konteks kejahatan lingkungan, yang diakibatkan oleh korporasi ekstraktif.

*Kontak Media:
Rere Christanto – 083857642883 (Direktur Eksekutif WALHI Jatim)
Harwati – 081332281826 (Warga Siring/Kelompok Belajar Perempuan Ar Rohma)